Jumat, Oktober 24, 2025

Bandung Bukan Sekadar Kenangan

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling. Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang.
- Advertisement -

Bandung bukan sekadar kota di ketinggian yang dikelilingi pegunungan. Ia adalah ruang hidup tempat sejarah, budaya, dan perjuangan bangsa berpadu dalam satu napas panjang yang belum selesai.Kota ini kerap dipandang hanya dari sisi permukaannya—udara sejuk, kuliner khas, dan deretan kafe estetik. Tapi di balik aroma kopi dan hiruk-pikuk Factory Outlet, Bandung menyimpan sesuatu yang lebih dalam: jiwa kebangsaan yang dibangun di atas ilmu, iman, dan perjuangan.

Jejak Kolonial dan Ingatan Kota

Cobalah berjalan di Jalan Braga. Dulu, di masa Hindia Belanda, kawasan itu dijuluki Parijs van Java—tempat kaum kolonial menampilkan kemewahan dan gaya hidup Eropa di tanah jajahan. Kini, Braga dipenuhi anak muda yang sibuk mencari angle terbaik untuk media sosial. Ironisnya, pesonanya tak hilang. Di tengah perubahan, Braga menolak tua. Ia tetap menjadi ruang di mana sejarah dan gaya hidup modern berdialog tanpa saling meniadakan.

Tak jauh dari sana berdiri Gedung Sate, bangunan ikonik yang dibangun tahun 1920-an. Dulu ia menjadi kantor pusat pemerintahan kolonial, kini menjadi kantor Gubernur Jawa Barat. Hanya ornamen tusuk sate di atapnya yang tetap sama, menjadi simbol kontinuitas—bahwa sejarah tidak pernah benar-benar berlalu, hanya berganti peran.

Dari Dago ke Asia-Afrika: Ruang, Waktu, dan Identitas

Bandung memang kota dengan banyak lapisan waktu. Di Dago, vila-vila peninggalan Belanda yang dulu menjadi tempat bersembunyi dari panas tropis, kini berubah menjadi kafe berkonsep vintage-industrial. Orang datang bukan lagi untuk mencari keteduhan fisik, tapi keteduhan batin—healing, kata mereka.Namun di balik itu, Dago tetap menjadi cermin: bahwa kota ini selalu mampu menyesuaikan diri, tanpa kehilangan karakter.

Sejarah Bandung tidak hanya berhenti pada romantisme kolonial. Tahun 1955, dunia menoleh ke kota ini ketika Konferensi Asia-Afrika digelar di Gedung Merdeka. Dari Bandung, semangat anti-kolonialisme menggema, menandai babak baru solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika.Bandung tidak hanya menjadi kota perjuangan nasional, tetapi juga kota diplomasi global. Dari sinilah lahir semangat Bandung Spirit—suara moral dunia ketiga melawan hegemoni kekuasaan besar.

Bandung dan Jejak Intelektualisme Islam

Namun, di balik gegap gempita sejarah politik dan diplomasi, Bandung juga memiliki akar spiritual dan intelektual yang kuat. Di Sukabumi, KH Ahmad Sanusi mendirikan Persatuan Ummat Islam (PUI) sebagai wadah perjuangan keagamaan dan kebangsaan. Di Ciparay, Cikalong, dan Sumedang, para ulama mendirikan pesantren sebagai pusat penyadaran moral terhadap penjajahan.Melalui pengajian dan madrasah, mereka menanamkan keyakinan bahwa memperjuangkan kemerdekaan adalah bagian dari keimanan—izzul Islam wal Muslimin menjadi semangat perlawanan yang menembus batas agama dan kebangsaan.

Bandung merupakan epicentrum bagi pergerakan Islam seperti Persatuan Islam atau Persis yang didirikan oleh Haji Zam Zam dan Kiagus Muhammad Yunus. Organisasi ini bermula dari perkumpulan para saudagar Bandung keturunan Palembang yang sering mengadakan perkumpulan untuk mengkaji Islam. Pergerakan ini mencapai puncaknya ketika tokoh sekaliber A. Hassan dan M. Natsir bergabung dengan organisasi ini.

Sementara di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB), Sukarno muda belajar teknik sipil, tapi juga belajar tentang kemerdekaan. Ia mungkin belajar tentang beton dan jembatan, tapi di pikirannya, ia sedang membangun jembatan menuju Indonesia merdeka.Dari sinilah pertemuan menarik antara dua dunia terjadi: intelektual sekuler dan ulama religius—dua arus besar yang berbeda, namun bertemu di satu titik: keyakinan bahwa penjajahan bertentangan dengan keadilan dan ajaran Tuhan.

Kota yang Menolak Lupa

Kini, Bandung mungkin lebih dikenal dengan coffee shop, festival musik, atau wisata kulinernya. Tapi sejarah tidak pernah benar-benar pergi. Ia berbisik pelan di bangunan tua, di jalan-jalan yang dulu dilalui pejuang, dan di kursi kayu Warung Kopi Purnama yang berdiri sejak 1930. Di sana, secangkir kopi hitam bukan hanya minuman, tapi kenangan yang diseduh ulang oleh waktu.

Bandung, dengan segala paradoksnya—modern tapi sarat ingatan, sejuk tapi penuh gelora—adalah cermin dari Indonesia. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tak boleh memutus akar budaya; bahwa modernitas tanpa kesadaran sejarah hanya akan menjadikan kita pengunjung di tanah sendiri.

- Advertisement -

Maka, ketika kita berjalan di Braga atau Asia-Afrika, berhentilah sejenak. Dengarkan bisikan masa lalu yang tersisa di antara langkah kita. Karena bisa jadi, yang sedang kita lewati bukan sekadar jalan, tapi jejak bangsa yang terus belajar menjadi dirinya sendiri.

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center Research of Islamic Studies (CRIS) Foundation. Pecinta Studi al-Qur`an, ilmu Sosial dan Sejarah Islam juga Indonesia. Penikmat kopi susu dan travelling. Dosen di perguruan tinggi Islam kota Tangerang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.