- Advertisement -
Pernahkah Anda membayangkan ada sebuah wilayah di negeri ini yang rasanya seperti “bukan Indonesia”?. Bayangkan sebuah kawasan industri raksasa di Sulawesi Tengah. Di sana, ada bandara khusus. Pesawat jet bisa mendarat mulus, membawa tenaga kerja dan bos-bos besar langsung dari luar negeri. Penjagaannya ketat, pagarnya tinggi, dan aksesnya terbatas. Bagi sebagian orang, pemandangan di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) ini memicu satu pertanyaan menggelitik yaitu “Sebenarnya, siapa yang berkuasa di tanah itu?”. Pertanyaan inilah yang kemudian menjadi bensin bagi api politik kita hari ini.
Mitos “Negara dalam Negara”
Belakangan ini, isu soal bandara khusus di Morowali kembali hangat. Narasi yang beredar di warung kopi hingga grup WhatsApp yang narasinya cukup seragam dengan mengatakan bahwa kawasan itu adalah “Negara dalam Negara”. Katanya, petugas Imigrasi dan Bea Cukai kita tak berkutik di sana. Katanya, itu pintu gerbang penyelundupan manusia. Tentu saja, cerita seram begini laku keras. Siapa yang tidak panas hatinya mendengar tanah airnya seolah-olah dikooptasi asing? Ketakutan ini tidak muncul dari ruang hampa. Sentimen “Anti-China” atau anti-investasi Tiongkok memang menjadi tombol paling mudah untuk ditekan demi membakar emosi massa dan di sinilah para politisi masuk “bermain”.
Gorengan Politik yang Renyah
Bagi partai politik—terutama yang sedang berada di barisan oposisi atau yang mengusung bendera nasionalisme religius—isu Morowali adalah “gorengan” yang renyah.
Kenapa? Karena menyerang kebijakan investasi pemerintah dengan data ekonomi itu rumit dan membosankan. Tapi, menyerang dengan isu “Kedaulatan Kita Diinjak-injak”? Itu seksi. Itu emosional dan bahkan bisa mendatangkan suara. Kita sering mendengar politisi berteriak lantang soal “serbuan tenaga kerja asing”. Mereka menunjuk bandara khusus itu sebagai bukti bahwa pemerintah terlalu lembek pada Beijing. Tujuannya jelas: membangun citra bahwa merekalah satu-satunya pembela rakyat pribumi, sementara pemerintah dianggap “antek asing”. Tapi, apakah teriak-teriak itu menyelesaikan masalah? Belum tentu. Seringkali, isu ini hanya ramai saat musim politik, lalu senyap ketika kursi jabatan sudah didapat.
Fakta vs Perasaan
Mari kita bicara jujur sejenak, melepaskan kacamata politik. Apakah benar Morowali sudah “dijajah”? Jika kita melihat data, narasi “banjir TKA” sebenarnya agak berlebihan. Faktanya, hampir 90% pekerja di sana adalah orang Indonesia. Hanya sekitar 10-12% yang merupakan Tenaga Kerja Asing (TKA). Jadi secara jumlah, kita masih tuan rumah. Namun mengapa kebencian itu tetap ada?. Jawabannya adalah kecemburuan sosial. Rakyat marah bukan karena jumlah TKA-nya banyak, tapi karena perlakuan yang “jomplang”. Pekerja lokal kita melihat dengan mata kepala sendiridimana TKA yang mengerjakan hal yang sama bisa digaji dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi. Mereka melihat fasilitas asrama TKA yang nyaman ber-AC, sementara pekerja lokal harus berdamai dengan debu dan fasilitas seadanya. Ditambah lagi isu keselamatan kerja (K3) yang sering memakan korban jiwa dari pihak kita. Inilah luka yang sebenarnya, luka ini bukan soal ideologi komunis atau ketakutan bandara itu jadi pangkalan militer. Ini soal keadilan perut dan harga diri.
Berhenti Teriak, Mulai Bekerja
Sentimen anti-China pada bandara IMIP adalah campuran antara fakta ketidakadilan di lapangan dan bumbu penyedap dari para politisi. Kita tidak butuh politisi yang hanya jago memanasi suasana dengan isu rasial demi elektabilitas. Yang kita butuhkan adalah politisi yang berani mendesak regulasi: Pastikan transfer teknologi berjalan, samakan standar gaji untuk beban kerja yang sama, dan pastikan pengawasan bandara itu transparan.
Jangan sampai buruh kita hanya dijadikan komoditas politik; dibela saat kampanye, tapi dibiarkan tetap timpang kesejahteraannya saat pemilu usai. Morowali adalah bagian dari Indonesia. Merah Putih harus tetap tegak di sana, bukan hanya benderanya, tapi juga keadilan bagi pekerjanya.
