Berbicara tentang kelestarian alam artinya kita berbicara tentang bagaimana cara mempertahankan eksistensi ummat manusia agar dapat lebih lama lagi hidup dengan tenang di muka bumi.
Sebuah kisah dari negeri antah berantah akan mengawali ulasan penulis kali ini. Syahdan disebuah kerajaan yang kaya dan mashur hiduplah seorang istri raja yang cantik jelita. Karena saking cantik dirinya, apapun yang diinginkannya selalu dipenuhi oleh sang raja.
Suatu ketika, sang permaisuri kesayangan raja dikabarkan mengandung. Seperti umumnya, ketika kaum perempuan mengandung maka mereka akan mengalami sedikit keistimewaan yakni keinginan mencicipi sesuatu yang sebenarnyan (stigma orang) itu adalah keinginan sang jabang bayi (nyidam).
Tapi aneh, nyidamnya sang permaisuri sangatlah mustahil. Sang permsuri ingin mencicipi Apel suci (Apel dengan pohon yang sangat besar dan siapapun sulit memanjatnya dan hanya berbuah 10 tahun sekali yang buahnya terletak di pucak pohonnya). Konon Apel ini telah hidup selama ratusan tahun dan dianggap sakral karena mampu menangkal berbagai macam wabah yang memasuki negeri ini hingga keistimewaan Apel suci kini diagung – agungkan di berbagai penjuru negeri.
Namun, karena didorong rasa cinta yang begitu mendalam dari sang raja kepada permaisuri, akhirnya raja menggelar sayembara. “Barangsiapa yang berhasil memanjat Apel suci dan mempersembahkan kepada permaisuri, maka akan dihadiahkan separuh wilayah kerajaannya”. Sontak kabar sayembara ini tersebar hingga ke berbagai pelosok negeri dan tak sedikit pemanjat ulung yang turut serta mengikuti sayembara ini. Namun, tak satupun berhasil memanjat pohon Apel suci ini.
Namun, karena didorong rasa cinta kepada permaisuri cantik yang terus menginginkan Apel suci ini, raja akhirnya memerintahkan untuk menebang pohon Apel suci. Hingga Apel suci inipun harus ditumbangkan demi hasrat sang permaisuri dan wabah mematikanpun menerjang negeri makmur ini.
Permaisuri cantik adalah analogi dari kemewahan, Apel suci adalah gambaran dari hutan yang mengelilingi malang raya.
Beginilah kira-kira gambaran nasib hutan yang mengelilingi Malang Raya akhir-akhir ini. Hanya dengan hasrat sang Konglomerat, rakyat harus menanggul lara. Kehilangan ketenangan hidup, selalu waspada ketika langit mulai mendung.
Hutan Pinus dan pepohonan rindang tempat burung-burung berkicau dan menari kian hari-kian berkurang. Kawasan hutan negara diberi atensi untuk dibabat oleh si serakah atas nama Pengelolaan Hutan Sosial. Pinus beganti sayur-mayur. Hijau hutanpun raib digundul atas nama pariwisata.
Kala alam mengamuk, nyawa-nyawa tak bersalah jadi tumbal. Saat banjir bandang tiba, harta benda terbawa hingga tersisa baju di badan. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan? apakah pemerintah? ataukah rakyat?
Perumahan-perumahan megah berdiri menantang langit. Pemukiman terus bertambah hingga penahan erosi tanah tak lagi dibutuhkan.
Media tempo beberapa waktu lalu sempat merilis sebuah berita dengan judul yang cukup menggelitik. “Banjir di Hulu, Petaka di Hilir”. Narasi yang juga menggambarkan keserakahan manusia merusak hutan dan malah menjadi momok bagi masyarakat yang bermukim dibawah gunung.
Memang betul, meningkatnya populasi manusia memberi efek domino terhadap pembabatan hutan untuk dibukanya pemukiman penduduk yang baru. Lantas karen populasi manusiakah sehingga bencana alam ini terjadi? Jawabannya adalah bukan. Justru diluar hal urgensi ini masih banyak penebangan dan pengrusakan hutan yang dilakukan demi memenuhi kepuasan konglomerat. Semua dengan kebutuhan dalih pariwisata.
Desa Sumberbrantas merupakan desa yang berlokasi tepat dibawa Arjuna dan berdekatan dengan Gunung Welirang. Kawasan desa yang juga memiliki kekayaan alam yang memukau karen disini terdapat permandian air panas (air belerang) Cangar serta menjadi penghasil sayur, bunga dan buah.
Desa yang dulu dikenal asri dengan udara yang sangat sejuk ini dalam beberapa tahun terakhir tampak mengalami kemajuan pesat lantaran menjadi penghasil sayur unggulan di Kota Batu serta menjadi sentral kuliner baik lapak kuliner dan kafe.
Dari segi naluri ekonomi maka kawasan ini bisa dikatakan kawasan produktif dan berkembang pesat karena perekonomian penduduk terus meningkat. Tapi, se-materialistiskah itu kita menilai? tentu saja tidak. Haruskan kita menyimpulkan segala sesuatu hanya dengan logika tanpq melibatkan rasa? dan haruskan alam kita korbankan agar kita dapat bertahan hidup?
Dalam pendekatan disiplin ilmu filsafat, segala persoalan harus diawali dengan pertanyaan dan diakhir dengan jawaban. Namun jawaban tersebut bukan akhir dari proses berpikir namun membutuhkan pertanyaan baru dan jawaban baru hingga semuanya berakhir dengan bijaksana.
Kawasan hutan yang dinaungi Perhutanan Nasional Indonesia (PERHUTANI) yang mengelilingi wilayah Malang Raya akhir-akhir ini mungkin luput dari pengawalan masyarakat. Bahwa ratusan hektare pinus telah sirna dan diganti dengan kawasan wisata, perkebunan hingga perumahan.
Hal ini terjadi karena getah pinus mungkin dianggap tak seberapa memberikan keuntungan bagi para petugas (matri) perhutani. Solusinya adalah berselingkuh dengan investor dan hitung-hitungan tentang keuntungan IPHPS dan HGH. Dengan begitu pemasukan tetap dengan nominal yang fantastis akan terus berlanjut.
Apakah benar demikian? iya, ini adalah narasi empiris. Kawasan Wisata Coban Rais, Coban Talun, Selecta dan beberapa kawasan hutan kini dialihfungsikan dan penuh dengan bangunan beton.
Lantas, apa solusinya? Pada November 2018 lalu penulis pernah menjadi saksi keseriusan Perhutani dalam melakukan penghijauan kembali. Dengan menghadirkan Kapolda Jawa Timur dan Emha Ainun Najib, program dan kampanye penghijauan telah dilakukan dengan tajuk “Ruwat Bumi Arema”. Tapi sayang, kampanye hanya berlangsung seremonial dan akhirnya kita kembali pada sifat hitam kita yakni keserakahan.
Solusinya adalah kita harus kembali dan menanyakan kepada diri kita, apakah yang kita wariskan kepada anak keturunan kita adalah bencana banjir bandang akibat keserakahan kita? apakah yang kita wariskan kepada orang-orang setelah kita adalah gunung-gunung menjulang tanpa pepohonan?