“Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan bukan perbedaan” – Gus Dur
Tak ada yang pernah mengira perayaan Hari Santri Nasional 2018 di Garut berubah menjadi awan panas nan kelabu. Hari yang seharusnya membangkitkan semangat nasionalisme di antara santri malah jadi ajang saling hujat di antara muslim Indonesia setelah terjadi pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hawa perpecahan mengemuka meramaikan jagat dunia maya. Adu kilah terjadi jua antara yang menyayangkan pembakaran bendera dan yang membenarkan tindakan itu.
Walaupun tiga partisan Banser yang membakar bendera ‘tauhid’ itu sudah meminta maaf, kejadian pembakaran ini pun terus digoreng menjadi isu penistaan agama. Kurang lebih seiras dengan kasus penistaan agama oleh Ahok.
Amarah di antara mereka yang menentang pembakaran ini tak terbendung. Protes dan tentangan langsung mereka layangkan di beberapa kota termasuk di Solo dan Jakarta bertemakan ‘Aksi Bela Tauhid.’ Dengan cepat beberapa kalangan merespon isu ini hingga tagar #BubarkanBanser pun dengan cergas naik menjadi trending.
Tetapi, perlu kita tenggelamkan diri kita ke dalam isu yang disuarakan ‘pembela bendera tauhid’ ini. Apakah betul rongrongan suara mereka berkumandang murni membela tauhid atau terboncengi drama politik akhir-akhir ini ? Demonstrasi ‘Bela Tauhid’ di Jakarta menjadi bukti maujud aksi ini juga jadi ajang mendendangkan bunyian ‘Ganti Presiden’ (26/10).
Tak bisa kita elakan bahwa beberapa organisasi teroris fundamentalis yang juga menggunakan kalimat tauhid dalam bendera mereka. Misalnya saja Al-Qaeda, Taliban, Al-Shabaab, dan termasuk ISIS/ISIL. Bendera mereka sama-sama berwarna dasar hitam dikenal dengan istilah The Black Banner atau The Black Standard.
David Cook dalam Studies in Muslim Apocalyptic (2002) menjelaskan dalam terminologi Arab biasa The Black Banner ini biasa disebut al-rayat as sawda atau al-rayat al-uqab yang berarti panji elang atau hanya ar-rayah yang berarti panji. Selanjutnya Dr. Ben MacQueen menuturkan bahwa The Black Banner ini sudah mulai digunakan sekitar tahun 1990-an, yang sering juga digunakan oleh kelompok separatis Cechnya, sebelum digunakan ISIS dan kelompok teroris lain.
Secara simbol, tidak ada yang silap dengan bendera yang mereka gunakan. Bahkan sebetulnya makna La ilaaha ilallah muhammadur rasulullah begitu mulia dan agung. Namun, kegungan dan keindahan kalimat tauhid digunakan oleh kelompok teroris dan separatis untuk menjadi naungan kelompok mereka. Yang paling utama dari makna kalimat tauhid dalam panji itu adalah mengingatkan umat manusia untuk senantiasa menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah rasul-Nya.
Maka, yang menjadi permasalahannya adalah bukan panji atau benderanya yang sebetulnya agung nan mulia, melainkan kelompok yang bernaung di bawah bendera itu yang harus diwaspadai. Jika saja kelompok ini mengharumkan dan betul-betul mengejawantahkan kalimat tauhid dengan baik dan penuh kedamaian sesuai dengan contoh Nabi Muhammad SAW, ketakutan simbolisasi bendera tauhid ini tidak akan pernah ada. Dan tiga anggota Banser tersebut mungkin saja tidak sampai hati membakar bendera itu.
Walaupun HTI tidak berbahaya secara fisik, namun mereka berbahaya secara ideologi. Mereka selalu bersikukuh ingin mendirikan negara khilafah di Indonesia dan mengganti ideologi Pancasila dengan syariat Islam. Hingga pada akhirnya pemerintah Indonesia membubarkan HTI dengen perppu ormas. Mungkin saja ketika mereka turut serta dalam meneriakkan ‘ganti presiden’ karena ada rasa kecewa dengan presiden Jokowi yang menerbitkan perppu ormas.
Namun, di balik itu semua, bisa saja dengan mengganti presiden, ideologi mereka bisa sedikit terakomodasi dengan menghapus perppu ormas oleh presiden penggati harapan mereka. Lalu, ideologi khilafah bisa berkumandang lagi bersuara dengan bebasnya. Terlebih, mungkin saja HTI bangkit dan dikembalikan marwahnya.
Sebelum ini, di negara Timur Tengah, aksi pembakaran bendera tauhid sudah lumrah dilakukan oleh umat Islam sendiri. Bendera tauhid yang dimaksud adalah bendera Al-Qaeda dan ISIS. Bendera mereka pun sama-sama tertera kalimat tauhid. Bahkan, jika kita lihat sepintas, bendera Al-Qaeda tidak ada perbedaannya dengan bendera yang sering dikibarkan HTI. HTI berkilah bahwa mereka tidak memiliki bendera, tapi bendera yang mereka gunakan adalah ar-rayah dan al-liwa. Inilah titik permasalahannya, keagungan kalimat tauhid mereka bawa sebagai pembenaran bahwa setiap langkah yang mereka pijak bertumpu pada kalimat tauhid.
Ketika saya sendiri melihat pembakaran bendera ini, hati saya langsung terbetik menyayangkan aksi spontan ini. Ketika di tengah-tengah perayaan Hari Santri Nasional, seseorang mengibarkan bendera tauhid yang sontak menyebabkan tiga anggota Banser merebut dan membakar bendera itu. Kabar menyebutkan bahwa ada beberapa anggota Banser yang justru berniat menginjak-injak bendera tersebut. Untung saja tiga orang ini memilih membakarnya daripada kalimat tauhid diinjak-injak.
Gus Yaqut sendiri telah berikrar dan menjamin bahwa kejadian serupa seperti di Garut tidak akan pernah terjadi lagi. Kontroversi dan silang pendapat harus berhenti dan usaha untuk membuat kehidupan beragama dan berkeyakinan semestinya dijaga dan dilestarikan.
Saya teringat kejadian penembakan di Sydney, Australia, tahun 2014 lalu ketika seorang jihadis, yang menyandera orang-orang di Lindt Cafe, menunjukkan bendera tauhid di jendela ke arah kerumunan polisi dan wartawan. Bendera itu terlihat bukanlah bendera ISIS, melainkan bendera tauhid. Persis dengan bendera yang dibawa oleh seseorang di kerumunan orang di perayaan Hari Santri Nasional 2018 di Garut.
Jika seorang Banser yang pasti merupakan seorang muslim saja terkaget dan membakar bendera itu. Apalagi non-muslim yang melihat kemunculan bendera itu. Bukan hanya kaget, tapi pasti ada beberapa orang yang mendiskreditkan Islam sebagai agama yang benar.
Sepatutnya, setiap umat muslim, tidak hanya simpatisan HTI, mesti berpusat pada ikhtiar memperbaiki pandangan atau sangkaan buruk terhadap bendera tauhid itu sendiri. Bendera ini sudah dikenal oleh masyarakat non-muslim sebagai bendera yang membawa teror dan polemik. Justru seharusnya muslim dunia giat mengkampanyekan Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin daripada mempermasalahkan bendera yang dibakar.
Sebagaimana kutipan Gus Dur yang saya goreskan di awal, perbedaan tidak pernah dilarang, perpecahan lah yang dilarang oleh Islam.
Referensi:
David Cook (2002). Studies in Muslim Apocalyptic. Darwin Press.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45951832
https://www.smh.com.au/national/flag-being-held-by-lindt-chocolat-cafe-hostages-is-not-an-islamic-state-flag-20141215-1279s0.html