Kamis, April 18, 2024

Bahaya Toko Modern di Pasar Tradisional

Johara Masruroh
Johara Masruroh
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi pasar tradisional di daerah kelahiran saya. Pasar ini terletak di kaki gunung Lawu dengan ukuran yang tidak terlalu luas, bahkan bisa dibilang sempit. Dulu setiap masuk pasar, saya harus berjejal dengan banyak orang dan rela berlama-lama antre untuk mendapat barang yang diinginkan. Namun sekarang banyak kios terlihat sepi dan ada pula yang tidak lagi beroperasi.

“Cari apa, Mbak?” tanya seorang penjual saat saya menghampiri kiosnya.

“Cari plastik es lilin, Bu. Saya butuh tiga pak.”

Setelah selesai bertransaksi, saya melihat makanan kesukaan saya waktu kecil, jenang. Makanan ini berasal dari tepung beras yang diberi kuah santan. Saat menunggu penjual melayani pesanan, saya mendengar beberapa pedagang bercerita tentang suatu hal.

“Bubrah wes, mbangun minimarket kok mepet pasar.” Ngedunke rego yo ugal-ugalan.” 

Para pedagang di pasar itu menimpali satu sama lain. Beberapa diantaranya terlihat bercerita dengan nada kesal, beberapa lainnya cuma bisa berkomentar dengan pasrah, ” Sing sabar wes, rejeki wes ono sing ngatur.”

Rupanya para pedagang ini sedang membicarakan sebuah minimarket yang baru saja dibuka tepat di samping pasar. Sayangnya, minimarket ini menjual dengan harga di bawah pasaran. Seseorang bercerita pada saya, saat harga gula di pasar dibanderol seharga 14 ribu, minimarket tersebut membanderol gula dengan harga 12 ribu dengan kualitas yang  sama. Padahal, penjual di pasar hanya mengambil untung seribu rupiah dari harga jual. Mirisnya lagi, harga lebih murah ini diberikan nyaris pada semua barang di minimarket.

Minimarket ini juga melayani pembeli selama 24 jam. Padahal ada beberapa toko kelontong di sekitar pasar yang rela buka hingga tengah malam. Alasannya terlalu banyak pesaing di siang hari sehingga sulit mendapat pelanggan. Hal ini tentu menjadikan toko-toko yang buka malam ini semakin sepi.

***

Kondisi pasar tradisional yang tak seramai dulu memang sudah lama terjadi. Awalnya saya menduga hal tersebut hanya imbas dari maraknya toko online dan bertambahnya jumlah pedagang yang bersedia masuk ke gang-gang pemukiman warga, seperti pedagang sayur dan peralatan rumah tangga.

Ternyata tidak hanya itu, beberapa pasar tradisional saat ini juga harus bersaing dengan munculnya toko modern seperti minimarket yang sesuka hati mendirikan bangunan tanpa peduli zonasi yang telah diatur pemerintah.

Pendirian minimarket telah diatur dalam Perpres 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Dalam Perpres tersebut, minimarket digolongkan ke dalam toko modern.

Dalam Perpres tersebut dijelaskan tentang hal-hal yang semestinya diperhitungkan saat seseorang ingin mendirikan minimarket. Selain zonasi, ada juga aturan tentang harga jual produk, jam buka toko, penyediaan lahan parkir, dan lain-lain . Peraturan tersebut dibuat demi keadilan bagi semua pihak.

Faktanya aturan tersebut tak selalu dipatuhi. Hal ini tidak hanya terjadi di pasar tempat kelahiran saya. Beberapa waktu lalu kabarnya 16 minimarket di Tulungagung harus ditutup satpol PP karena berlokasi terlalu dekat dengan pasar tradisional. Begitu juga yang terjadi di pasar tradisional Lamongan.

Pertanyaannya, mengapa minimarket yang melanggar zonasi baru ditutup setelah lama beroperasi? Bukankah sebelum didirikan, minimarket harus mendapatkan izin pembangunan?

Kabarnya, penutupan minimarket di pasar-pasar tradisional tersebut berawal dari adanya laporan warga setempat yang merasa dirugikan. Lalu, bagaimana jika di sebuah daerah tak satu pun warga berani melapor? Seperti yang terjadi di desa kelahiran saya, misalnya.

Kita tahu kebanyakan masyarakat di desa tidak suka mencari perkara. Seringkali di antara mereka lebih suka pasrah saja, nerimo ing pandum. Lagipula, Pemda sebenarnya sudah mengetahui adanya minimarket di kawasan pasar tersebut. Kalau yang berwenang saja mendiamkan, kira-kira masyarakat  bisa apa? Mungkin itu yang ada di benak warga.

***

Sampai di rumah, saya melahap jenang bersama kedua orang tua. Tiga ribu rupiah per porsi sudah cukup untuk mengganjal perut. Saat memakannya saya bertanya-tanya, mungkinkah penjual jenang ini juga terkena imbas dari minimarket itu? Kira-kira bagaimana nasib penjual gethuk, kerupuk dan pedagang kecil lainnya?

Mungkin Anda berpikir pertanyaan itu agak berlebihan. Tapi coba bayangkan! Andai orang-orang yang tadinya berbelanja di toko kelontong di dalam pasar sekarang beralih ke minimarket, lalu siapa yang mau membeli ke pedagang kecil? Bukankah beberapa pembeli tidak semuanya membeli karena butuh.

Seringkali seseorang tiba-tiba ingin membeli sesuatu sebab sesuatu itu ada di depan mata. Seperti saya yang tadinya hanya butuh plastik es lilin, tiba-tiba kemecer melihat jenang dan memutuskan membeli saat itu juga, padahal tidak ada rencana membelinya saat masih di rumah. Model membeli semacam ini tidak hanya berlaku pada makanan. Bisa juga pakaian, aksesoris, alat rumah tangga, dan lainnya.

Jadi, semakin sedikit orang yang mau masuk ke pasar tradisional karena merasa kebutuhannya telah tercukupi di minimarket, akan banyak sekali pedagang di pasar tradisional yang terkena imbas, baik secara langsung maupun tidak.

Lalu di manakah keadilan untuk pelaku usaha pasar tradisional jika minimarket yang melanggar aturan masih dibiarkan?

Johara Masruroh
Johara Masruroh
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.