Beberapa hari yang lalu Pemerintah telah menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Lapangan Kerja) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. RUU tersebut digadang-gadang sebagai sebuah regulasi yang mampu mempermudah dan memperlancar jalannya berbagai kegiatan usaha guna meningkatkan investasi di Indonesia.
RUU ini diklaim oleh Pemerintah untuk memajukan kesejahteraan rakyat dalam berbagai bidang. Draf RUU tersebut mengatur beberapa aspek mengenai prosedur investasi dan kemudahan berusaha sebagai jalan mengatasi tumpang tindih regulasi. Hal ini senada dengan semangat Presiden Jokowi yang hendak segera mempercepat ‘pengembang sumber daya manusia’ sebagaimana yang beliau jelaskan dalam wawancaranya di BBC beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, apakah benar berbagai kemudahan yang akan dinilai banyak pihak memanjakan para pengusaha tersebut telah tepat secara substansi? Khususnya mengenai bidang lingkungan hidup. Mengingat tidak sedikit pihak yang memberikan kritikan keras terhadap RUU Cipta Kerja ini yang dinilai berpotensi memundurkan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Tentunya sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini permasalahan lingkungan hidup telah menjadi sorotan banyak pihak. Hal tersebut berkaitan erat dengan keberlangsungan tempat kita hidup saat ini. Pemahaman dasar mengenai merawat tempat kita hidup semakin digalakan. Tak lain demi menjaga Bumi ini, menjaganya demi anak cucu kita kelak akan hidup.
Kritikan banyak pihak terhadap RUU Cipta Kerja dari perspektif lingkungan hidup bukan sekedar kritik politis belaka tanpa argumen kuat. Berbagai pihak telah mempublikasikan hasil kajian terhadap RUU ini, salah satunya Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam rilis “Catatan Atas RUU Cipta Kerja”. Lantas apakah benar RUU ini berbahaya bagi keberlangsungan lingkungan hidup Indonesia di masa mendatang?
Dipangkasnya berbagai pasal penting
Semangat untuk menyederhanakan berbagai aturan yang berkaitan dengan proses berusaha menjadi jiwa dalam RUU ini. Penyederhanaan tersebut bukan hanya dalam pemaknaan usaha untuk menyederhanakan proses yang dahulu sulit dan tidak efektif saja. Melainkan dalam pemaknaan pemangkasan berbagai aturan penting.
Beberapa pasal penting yang dipangkas yaitu Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengenai pembuktian mutlak (strict liability) dalam pertanggung jawaban setiap orang yang usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Hilangnya pembuktian mutlak tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan yang tidak membebankan pembuktian kesalahan oleh penggugat akan menghambat proses penegakan hukum lingkungan. Khususnya pada pertanggung jawaban hukum oleh korporasi. Pembuktian mutlak ini mempermudah proses pembuktian jika terjadi suatu kegiatan yang mencemarkan atau merusak lingkungan hidup. Beban pembuktian akan dibebankan pada pihak yang diduga melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Mengingat terdapat berbagai kegiatan yang secara nyata menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan yang sangat merugikan masyarakat dan ekosistem. Akan tetapi tidak mudah untuk mendeteksi dan membuktikannya. Sehingga penghilangan pembuktian tanpa kesalahan tentu akan sangat menyulitkan pihak yang terdampak dalam menggugat pihak pencemar atau perusak.
Pemangkasan lainnya yaitu dihapusnya Pasal 40 UUPPLH yang mengatur mengenai izin lingkungan sebagai syarat dikeluarkannya izin usaha. Adapun dalam RUU Cipta Kerja, izin lingkungan diganti dengan perizinan berusaha.
Izin lingkungan sebagai instrumen perizinan memiliki peran yang sangat penting, utamanya berkaitan dengan aplikasi konsep pembangunan berkelanjutan. Dihapuskannya izin lingkungan yang menjadi syarat dikeluarkannya izin usaha memang jika dilihat sekilas akan mempersingkat jalur birokrasi yang ada. Akan tetapi hal tersebut beresiko dalam hal pengawasan dan penegakan hukum kedepan.
Dihilangkannya kewajiban korporasi untuk bertanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Kehutanan. Kewajiban korporasi hanya pada hal pencegahan dan pengendalian kebakaran, tentunya hal ini akan sangat merugikan baik secara penegakan hukum maupun dampak kerugian yang timbul.
Belum lagi mengenai semakin terbatasnya ruang partisipasi publik. Penghapusan izin lingkungan juga berimplikasi pada hak partisipasi publik melalui jalur peradilan untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha. Banyaknya pengalihan kewenangan di bidang lingkungan hidup yang semula dikelola oleh pemerintah daerah menjadi dikelola pemerintah pusat. Jelas akan mempersulit penegakan hukum yang memiliki cakupan daerah yang luas dan keterbatasan sumber daya yang ada.
Mementingkan pendekatan ekonomi semata
Berbagai persoalan diatas hanya sekelumit dari persoalan yang ada dalam RUU Cipta Kerja ini, khususnya dalam aspek lingkungan hidup. Nampak jelas bahwa pendekatan ekonomis guna meningkatkan daya investasi dan kelancaran kerja menjadi prioritas, sehingga banyak hal yang dikorbankan. Salah satunya soal lingkungan hidup.
Memang betul, pendekatan ekonomis tidak selamanya salah. Mengingat prinsip efisiensi yang menimbang manfaat yang diperoleh dan biaya yang akan dikeluarkan. Meski begitu, pendekatan melalui konsep pembangunan berkelanjutan yang mengabungkan tiga pilar utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dinilai lebih bermanfaat.
Pendekatan didasarkan pada hak lingkungan, baik yang dimiliki oleh masyarakat maupun lingkungan itu sendiri harus dikedepankan. Ruh paradigma ekosentris harus mulai diaplikasikan dalam berbagai peraturan dan kebijakan. Momentum RUU Cipta Kerja yang seharusnya mampu menjadi langkah pembenahan hukum yang didasarkan pada paradigma ekosentris, malah lebih terasa bernafaskan kepentingan bisnis belaka.
Lingkungan hidup juga memiliki hak yang sama seperti hak yang dimiliki manusia. prinsip tersebutlah yang menjadi inti dari paradigma ekosentris. Kita yang terlalu egois mengedepankan kepentingan ekonomi dan pengembangan sumber daya alam dengan mengorbankan keberlangsungan lingkungan hidup.
Sadar atau tidak sebenarnya telah merugikan masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa depan kelak. Sinergisitas antara pengaturan hukum dan kebijakan dengan wawasan lingkungan harus dikedepankan. Maka wajar jika banyak pihak menganggap RUU ini dengan sebutan “RUU Cilaka”. Salah satunya cilaka terhadap keberlangsungan lingkungan hidup anak cucu kita kelak.