Jumat, Oktober 4, 2024

Bahaya Logika Positivisme

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).

Positivisme merupakan satu dari sekian jenis filsafat yang ada dalam keilmuan. Kelahiran dari aliran tersebut ditengarai akibat pendeklarasian akan pembebasan ilmu pengetahuan dari metafisika, dengan kembali ke fakta yang terverifikasi secara indrawi, oleh kelompok ilmuwan dari Lingkaran Wina pada tahun 1929.

Beberapa tokoh ternama dari kelompok ilmuwan tersebut: Auguste Comte dan Ernst Mach. Karlina Supelli dalam esai berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahan (2017), menjelaskan—penolakan atas metafisika merupakan reaksi terhadap situasi traumatik antara perang dunia pertama dan kedua.

Dalam pengertian sederhana, positivisme merupakan suatu paham dalam mencapai kebenaran bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Di luar itu, sama sekali tidak dikaji oleh positivisme, seperti dalam kajian ilmu sosial. Fenomena yang sekiranya dapat dilihat adalah aktivitas metode pendidikan yang berada di kajian keilmuan berbasis eksakta.

Perspektif mengenai ilmu, dalam hal ini adalah agihan yang bersifat empiris dan logis. Pada perkembangan diskursus yang terjadi, justru sangat begitu membahayakan dan mengkhawatirkan ketika paham tersebut mendominasi pada berbagai kajian keilmuan.

Misalkan saja pernah dituliskan oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Melampaui Positivisme dan Modernitas (2003), bahwa setelah munculnya usaha-usaha untuk memperlihatkan terkait positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, sungguh merupakan masalah, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan, melainkan juga bagi kemanusiaan.

Positivisme hanya sebatas melestarikan status quo (apa yang ada) dalam konfigurasi masyarakat yang ada dan tidak berbicara tentang das sollen (apa yang seharusnya ada). Dengan cara tersebut, pengetahuan otomatis tidak mendorong perubahan, melainkan hanya menyalin data sosial.

Nestapa

Menjadi nestapa, ketika kemudian hal tersebut ditarik dalam metode pendidikan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Kajian keilmuan yang berbasis eksata atau dalam hal ini sains—notabene pengaruh positivisme sangat mendominasi. Ilmu yang dipelajari cenderung linier sebagaimana aturan baku yang tertera di dalam kurikulum.

Wacana yang berkembang kemudian berupa apa yang dikaji adalah apa yang kemudian dilakukan. Analogi sederhananya, misalkan orang yang menggeluti di bidang kajian sumber daya alam, pola pikir yang hadir berada pada nalar eksploitasi dari sumber daya alam, tanpa menaruh akal sehat (common sense) ihwal pertimbangan di luar linieritas yang terjadi—sosial, budaya, dsb.

Pada diskursus yang lebih luas, bukankah ilmu pengetahuan acapkali akan membenturkan diri pada keseluruhan pranata yang bersifat modal (capital)? Ketakutan yang terjadi dalam hal ini, para lulusan dari pengkaji ilmu-ilmu yang berbasis sains tersebut terjerembab kepada kapital yang tak bisa ditampik mencari sebesar mungkin keuntungan.

Bahasa tersebut  dari apa yang pernah digagas oleh Francis Bacon adalah pengetahuan untuk kekuasaan, knowledge is power. Kerancuan yang terjadi acapkali merembet pada persoalan-persoalan yang berkaitan mengenai kebijakan, seperti contohnya: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tanggung jawab dari perusahaan/ Corporate Social Responsibility (CSR), pertimbangan sosial-budaya atas industralisasi yang dilakukan, dsb.

Tidak mengherankan, sekelas akademisi maupun ilmuwan yang berangkat dengan logika positivisme ini acapkali melakukan pelacuran intelektual. Dengan tidak arif maupun bijaksana pada pemberian kebijakan terhadap hal substansial yang berkaitan dengan sektor pemerintah, pemilik industri maupun masyarakat. Kelakuan tersebut biasanya dinamakan dengan kejahatan intelektual.

Dengan berbagai akumulasi, aras tersebutlah yang seringkali terjadi dan mewabah hingga sejauh ini. Maka, problem lain yang hadir akibat hal tersebut adalah problem keberpihakan akan dari ilmu.

Dalam sejarah, kontra wacana yang pernah lahir atas kehadiran positivisme adalah dari mereka, kelompok ilmuwan yang masuk kalangan Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule). Kritik awal-awal yang terjadi tokohnya seperti: Horkheimer, Adorno, dan Herbert Marcuse.

Mereka menunjukkan bahwa adanya suatu masalah, karena pandangan tentang penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu sosial tak lain dari saintisme atau ideologi. Dengan berbagai pengandaian-pengandaian yang lahir, seperti diantaranya—bahwa ilmu bersifat netral, bebas nilai, empiris dan lain sebagainya, hanyalah sebatas pada usaha mengontemplasi apa yang ada di dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, sudah semestinya berbagai daya dan upaya mengatasi berbagai problematika yang lahir akan dampak aktivitas keilmuan yang dilakukan. Baik problematika yang berupa ancaman terhadap kehadiran ilmu itu sendiri maupun ancaman terhadapa apa yang sebenarnya diidealkan dari ilmu.

Seperti diantaranya, ada konsepsi yang jelas terkait mengenai tanggung jawab dalam berbagai lini kehidupan dari para ilmuwan maupun akademisi—intelektual, sosial maupun moral. Mau, tidak mau, dalam aras ini adalah berbicara terkait mengenai ilmuwan, ilmu serta keberpihakannya. Karena memang demikian, ilmu tak bisa netral dan mengharuskan adanya keberpihakan.

Pada wacana Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason (1781), aras keberpihakan yang dimaksud berupa a priori maupun a posteriori. A priori, mendahului pengalaman indrawi. A posteriori, diperoleh/diturunkan melalui pengalaman indrawi. Dan jelas sudah ketika mengidealkan keberpihakan yang seharusnya dijadikan kerangka berpikir dari para ilmuwan maupun akademisi itu sendiri.

Tak lain dan tak bukan adalah imbasan dari kehadiran ilmu sebagai kemaslahatan maupun kesejahteraan dari masyarakat. Toh, di luar aspek-aspek tersebut, jikalau postivisme ini terus mendominasi—bukankah yang terjadi pada politisasi kampus, politisasi ilmu hingga kemudian berujung pada politisasi ilmiah. Dengan demikian, upaya depolitisasi pada ketiga aspek tersebut juga merupakan perkara penting.

Sumber gambar: http://www.bonarsitumorang.com

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.