Majunya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan yang ada. Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki lama sistem belajar 12 tahun, yaitu mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA). Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional tertuang pada UUD 1945 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.
Pada tahun 2021, Pemerintah mengalokasikan dana pendidikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp549,5 triliun atau sekitar 20 persen dari APBN. Namun, praktik kegiatan korupsi kembali terjadi, yaitu pada hari Selasa, 27 April 2021 Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat menetapkan mantan Kepala Sekolah SMK Negeri 53 Jakarta Barat berinisial W sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) di SMKN 53 Jakarta Barat, senilai Rp7,8 miliar dari anggaran tahun 2018.
Walaupun Pemerintah menggelontorkan dana pendidikan yang banyak, tidak menjadi jaminan sistem pendidikan Indonesia akan menjadi lebih baik. Karena dalam pelaksanaannya, praktik kegiatan korupsi juga ikut mengikuti.
Menurut Prof. H. Mahmud Yunus mengatakan, bahwa “Pendidikan adalah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk memengaruhi dan membantu anak yang bertujuan meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani serta moral sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi agar dapat memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukannya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agama”.
Namun, dalam penerapannya sistem pendidikan Indonesia tidak lepas dari pengaruh feodalisme, dimana feodalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan. Dalam konteks pendidikan ialah ketika guru memberikan penjelasan di depan kelas dan siswa bertugas mendengarkan serta mencatat apa yang dijelaskan guru.
Apabila siswa menyanggah mengenai materi yang dipaparkan guru, maka akan dianggap tidak sopan dan melawan guru. Ada beberapa ciri pemimpin berjiwa feodal menurut pandangan Mochtar Lubis yaitu: Atasan atau pemimpin tidak pernah salah, atasan atau pemimpin tidak boleh dikritik, atasan atau pemimpin tidak mau mendengar suara dari bawah.
Hal ini tentunya berlawanan dengan kiblat yang selama ini kita anut, yaitu Amerika Serikat. Amerika Serikat menganut paham liberalisme, dimana paham liberalisme di Amerika Serikat merupakan filosofi politik dan moral yang didasarkan pada konsep hak individu yang tidak dapat dicabut. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan serta menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Dalam konteks pendidikan ketika siswa menyanggah mengenai materi yang dipaparkan, maka akan terjadi diskursus sehingga terciptanya komunikasi yang baik antara siswa dengan guru. Kita menginginkan kemajuan seperti Amerika Serikat. Namun, lupa untuk mengoreksi diri akan kurangnya sistem pendidikan yang kita miliki.
Begitu juga dengan yang terjadi di Prancis yang mengadopsi nilai-nilai “Liberty (kebebasan), Equality (kesetaraan), dan Fraternity (persaudaraan)”. Lahirnya paham liberalisme di Prancis tidak terlepas dari sejarah revolusi Prancis hingga pendirian Republik kelima yang saat ini masih diterapkan.
Dikatakan oleh Puspitasari (2018), Revolusi Prancis telah menimbulkan dampak yang signifikan, yakni runtuhnya rezim lama atau monarki absolut di bawah kepemimpinan Louis XVI yang kemudian digantikan dengan tatanan kekuasaan baru, dalam bentuk Republik. Selain itu, negara Prancis juga merupakan negara yang berbentuk Republik sekuler yang selalu menjunjung tinggi perdamaian dan persamaan warga negara di hadapan hukum.
Dengan adanya paham feodal pada sistem pendidikan Indonesia membuat sulitnya bangsa Indonesia untuk maju. Karena feodalisme menekankan kekuasaan dengan pendekatan “top down” (dari atas). Selain itu, dikatakan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), yakni “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Bagaimana seorang siswa mampu mengembangkan potensi dalam dirinya apabila dalam proses pembelajaran pun tidak menunjang siswa untuk aktif?
Penghapusan feodalisme terhadap sistem pendidikan di Indonesia memerlukan kesadaran dari para pemimpin yang duduk di singgasananya untuk membuka mata akan pentingnya sistem pendidikan yang bermutu. Mungkin untuk pemimpin yang memiliki materi lebih akan menyekolahkan anaknya hingga ke luar negeri. Kita ambil contoh, yaitu putra bungsu Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang memiliki privilege untuk mengenyam pendidikan di Singapura.
Namun, bagaimana dengan rakyat biasa yang hanya mampu menyekolahkan anaknya di dalam negeri saja? Oleh karena itu, kualitas pendidikan harus diprioritaskan. Kesadaran akan pentingnya belajar dimulai dari diri sendiri. Namun, tidak lepas dari para petinggi yang membuat kebijakan. Menghilangkan praktik dan budaya feodalisme tidak semata-mata hanya dengan membuat kebijakan saja. Namun, juga dengan memberikan pelatihan mengenai proses pembelajaran yang baik itu seperti apa, sehingga para guru juga mampu mengamalkan nilai-nilai yang semestinya.