Minggu, Desember 28, 2025

Bahasa Walikan Ngalam di Kedai Sebastien: Cara Sederhana Menjaga

Aderio Pratama
Aderio Pratama
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewaraganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
- Advertisement -

Di sudut Kayutangan Heritage, deretan bangunan lawas kini dijejali kedai-kedai modern. Namun ada satu Kedai dengan bertajuk rumah jengki ala Hindia-Belanda yaitu Kedai Sebastien, yang tampil berbeda bukan hanya karena interiornya, tetapi karena satu hal sederhana yaitu menu dan interaksi baristanya menggunakan Bahasa Walikan.

Tertera 3 bahasa dalam menunya yaitu bahasa Indonesia, jawa, dan walikan. Jikalau memesan menu dengan bahasa Indonesia harganya akan lebih mahal seperti contohnya, “Soklat” atau “Coklat” kalau memesan dengan bahasa Indonesia harganya Rp.25.000, bahasa Jawa Rp.20.000, dan bahasa walikan Rp.14.000. Akan tetapi di kedai Sebatien menyediakan terjemahan kecil di menu atau signage yang mengajak pengunjung belajar cara memesan dengan menggunakan bahasa walikan. Demikian pula menurut Abdur Rahman(2024) dalam penggunaan bahasa Walikan terdapat aturan dalam penggunaannya seperti:

  1. Pembalikan suku kata: Aturan ini digunakan dalam mengubah urutan suku kata atau awal kalimat seperti “Mas” menjadi “Sam”.
  2. Perubahan Vokal: Terdapat beberapa kata yang mungkin mengalami perubahan vokal untuk memudahkan pelafalan, seperti “sini” menjadi “suno”.
  3. Penambahan awalan “M”: Terdapat beberapa kalimat atau kata yang memiliki awalan “M” untuk memberikan kesan lebih lancar dalam komunikasi, seperti “Tidur” menjadi “Mitur”.
  4. Struktur kalimat: Kalimat atau kata dalam bahasa walikan mengikuti struktur dasar yang sama dengan bahasa Indonesia, yaitu subjek predikat-objek. Meskipun demikian, kata-kata dalam kalimat tersebut akan diubah sesuai aturan bahasa walikan.
  5. Kesesuaian kontes: Penggunaan bahasa walikan harus memperhatikan konteks dan situasi pembicaraan. Walaupun bahasa walikan digunakan secara luas di kota Malang, tidak semua situasi memerlukan penggunaan bahasa tersebut. Terkadang penggunaan bahasa tersebut dalam percakapan informal atau antara orang yang sudah akrab.

Dengan demikian, jika dilihat lebih dalam, langkah sederhana ini sesungguhnya merupakan bentuk nyata pelestarian identitas lokal bahkan memberikan kontribusi terhadap ketahanan budaya.

Bahasa Walikan: Identitas Arek Malang yang Masih Hidup

Bahasa Walikan, atau osob kiwalan, adalah gaya berbahasa yang tidak hanya membalik struktur kata. Misalnya “Malang” menjadi “Ngalam”, “arek” menjadi “kera”, dan “kopi” menjadi “ipok”. Bahasa ini sudah lama digunakan warga Malang sejak jaman Hindia-Belanda melanda, “awalnya bahasa Walikan ini berkembang di kelas menengah kebawah atau yang kita sebut sebagai pribumi pada saat itu (zaman Hindia-Belanda),” Ujar Pak Hari selaku pelopor Kedai Sebastien.

Sesuai dengan itu penelitian yang dilakukan Universitas Negeri Malang menunjukkan bahwa walikan tidak hanya sekadar lelucon linguistik, tetapi memiliki pola morfologis dan fonologis yang konsisten. Artinya, bahasa ini dapat dianggap sebagai varian linguistik yang punya sistem tersendiri (Yannuar, 2019).

Selain itu, berbagai studi sosiolinguistik menyebut bahwa walikan adalah penanda identitas yang kuat bahasa yang membuat seseorang langsung dikenali sebagai bagian dari komunitas “arek Malang”. Oleh karena itu, di tengah modernisasi dan derasnya pengaruh bahasa populer digital, eksistensi walikan terancam menyusut jika tidak terus digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah peran ruang publik dan ruang usaha menjadi sangat penting.

Menguatkan Eksistensi Bahasa Walikan Melalui Branding Kedai Sebastian 

Bahasa walikan memang menjadi salah satu bentuk variasi bahasa yang unik, terutama di kalangan anak muda di daerah kota Malang. Namun, jika dilihat dari sisi eksistensinya hari ini, penggunaan bahasa walikan oleh orang lokal sebenarnya cukup terbatas dan lebih bersifat informal atau sebagai gaya komunikasi sesaat. Kebanyakan orang lokal tetap menggunakan bahasa-bahasa standar dalam aktivitas sehari-hari, sehingga bahasa walikan cenderung menjadi fenomena budaya populer daripada bahasa utama yang dipertahankan secara konsisten oleh komunitas lokal.

Bahasa walikan ini lebih sering dipakai sebagai tanda identitas atau hiburan daripada alat komunikasi rutin. Oleh karena itu, eksistensi bahasa walikan dapat dikatakan sebagai bagian dari dinamika bahasa yang hidup namun tidak menjadi bahasa dominan di kalangan orang lokal. Hadirnya Kedai Sebastien merupakan sebuah solusi yang mengantarkan Bahasa Walikan sebagai strategi branding serta melestarikan bahasa itu sendiri. Namun lebih dari itu, pemilik kedai menyampaikan bahwa mereka ingin “membawa kembali Malang ke akarnya” dengan memperkenalkan bahasa walikan kepada generasi muda yang notabenenya sudah tergerus globalisasi. Di kedai ini, pelanggan bisa menemukan menu seperti “tehh asaib”, “ipok tubruk usus”, dan “soklat”. Barista pun acap kali menyapa pelanggan dengan sapaan lokal sebuah pengalaman yang memadukan kehangatan, nostalgia, sekaligus edukasi budaya secara tidak langsung.

Langkah ini mungkin tampak kecil, namun efeknya besar:

1. Normalisasi budaya lokal di ruang modern

Saat bahasa lokal masuk ke ruang kekinian seperti coffee shop, bahasa itu menjadi “keren” kembali. Dengan demikian Ia tidak lagi dianggap lama, kampungan, atau tidak relevan.

- Advertisement -

2. Meningkatkan frekuensi paparan bahasa

Kafe adalah tempat berkumpulnya anak muda, mahasiswa, pekerja, dan wisatawan. Pengunjung yang awalnya tidak tahu walikan akan penasaran, mencari tahu, dan mungkin ikut mencobanya.

3. Menyediakan ruang transmisi lintas generasi

Dosen, mahasiswa, orang tua, dan wisatawan berada di ruangan yang sama. Saling bercanda dan berbicara menggunakan walikan menciptakan proses belajar informal yang membuat bahasa ini tetap hidup. Dalam kacamata sosiolinguistik(Bahasa dan masyarakat), interaksi semacam ini sangat penting untuk keberlangsungan sebuah bahasa.

Dari Kedai Kopi ke Ketahanan Nasional

Jika dibawa ke konsep ketahanan nasional, langkah seperti Kedai Sebastien ternyata relevan. Ketahanan nasional tidak hanya soal pertahanan militer atau ekonomi; ia juga berkaitan dengan ketahanan budaya, yaitu kemampuan masyarakat menjaga identitasnya di tengah gempuran globalisasi. Oleh karena itu Bahasa lokal, termasuk walikan, memiliki beberapa fungsi strategis:

1. Membangun kohesi sosial

Bahasa adalah pembentuk rasa kebersamaan. Penelitian Fiaji (2021) menunjukkan bahwa walikan memperkuat solidaritas antarwarga karena digunakan sebagai kode sosial atau sandi sesama arek Malang.

2. Meningkatkan kebanggaan identitas

Bangsa yang percaya diri dengan identitasnya lebih tahan terhadap disrupsi sosial, radikalisme budaya, dan tekanan homogenisasi budaya global.

3. Menjadi penopang pariwisata budaya

Ketika kafe, kampung tematik, komunitas seni, dan UMKM mengadopsi walikan, wisatawan akan mendapatkan pengalaman otentik yang berbeda dari kota lain. Ini memperkuat aspek ekonomi budaya yang juga merupakan bagian dari ketahanan nasional. Dengan demikian, usaha sederhana seperti bahasa di menu kopi ternyata merupakan kontribusi nyata pada ketahanan budaya lokal yang berdampak pada ketahanan nasional secara lebih luas.

Kedai Sebastien mungkin hanyalah satu dari sekian banyak kedai kopi yang menjamur di Kayutangan. Namun keberaniannya mengangkat Bahasa Walikan membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak harus dimulai dari proyek besar pemerintah.

Aderio Pratama
Aderio Pratama
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewaraganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.