Selasa, Oktober 8, 2024

Bahasa Mengganggu Bangsa

Ananta Damarjati
Ananta Damarjati
Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri.

lidahibu.com

Ada dalil yang mengatakan bahwa bahasa sangatlah cair, tergantung kebiasaan dan perspektif. Kecairannya kadang-kadang membuat banyak orang sulit menentukan mana bahasa yang sopan, mana yang buruk. Sementara itu di soal lain, sulit untuk menjelaskan mengapa orang berpendidikan bahasa yang baik berkecenderungan menghindari beberapa kata yang sebetulnya masih dapat diterima secara budaya, etimologis ataupun ketatabahasaan—mereka lebih senang menyiratkan kata dalam eufemisme. Untuk soal kedua ini dapat kita dakwa, etika berbahasa punya peranan besar.

Bila bahasa diandaikan benda cair, maka etika adalah periuk yang mewadahinya. Di masyarakat timur, banyak hal menjadi mudah jika intensitas dan bentuk bahasa dikemas dengan etika atau tatakrama. Asal kita sopan, bahkan di lingkungan asing sekalipun, siku-siku tajam dalam interaksi pasti melentur. Martabat seseorang, harmoni masyarakat, sportivitas, martabat peradilan, kolegialitas dan kenegarawanan, dan lain-lain adalah bonus-bonus berikutnya ketika seseorang secara cerdas mampu memasukan etika ke dalam bayang-bayang bahasa.

Terlebih bila orang tersebut adalah anggota elite politik, artis, orang berpengaruh, atau sekelompok penguasa yang memiliki basis massa. Sedangkan kita semua tahu, dalam budaya paternalistis timur, masyarakat kecil lebih senang mendengarkan siapapun yang mereka anggap sebagai anutan. Maka niscaya, nilai-nilai, pandangan, dan kebiasaan berbahasa yang baik mudah menyebar, diikuti, dan diterima kalangan masyarakat luas.

Meski tak sedikit juga orang, di sisi yang lain, memilih menyepelekan etika berbahasa. Kesadaran ini biasanya lahir dari sinisme kelas menengah kota. Berakar kekecewaan, strata menengah kota lah yang pada mulanya mengendus adanya hal-hal yang kontraproduktif, snob, artifisial, dan bahkan hipokrit dibalik etika berbahasa sebagai alat komunikasi publik. Jika ia politisi, misalnya, maka bila semakin halus, beretika, sopan bahasanya, semakin kabur dan terselubung lah apa yang menjadi keinginannya di belakang.

Seterusnya berkembanglah anggapan bahwa tindakan seseorang yang didasarkan pada nilai-nilai budaya seperti sopan santun, kesediaan menggunakan cara-cara yang tidak menyakitkan perasaan, etika berbahasa, hormat pada para pemangku kekuasaan, tidaklah selalu seindah sebagaimana yang terdengar. Semuanya perlu untuk dipertanyakan berulang-ulang. Apa yang didengar harus selalu diuji kembali dengan mata kepala.

Dengan bingkai seperti ini, mereka lebih senang mengandalkan mata daripada telinga. Apa yang dilihat oleh mata akan lebih mudah dipercaya dan lebih cepat diidentifikasi daripada apa yang didengar. Ada juga kepercayaan di kalangan ini bahwa rakyat tidak bakalan mudah ‘dibodohi’ begitu saja dengan kata-kata dan ucapan mulia.

Disinilah preferensi mulai terbentuk. Orang-orang kelas menengah kota menjadi lebih senang jika di hadapannya tersaji bukti nyata, kerja cepat, dan lejas-lejas. Peduli setan bilamana tak ditemukan kaidah etika berbahasa, bahkan jika sajian itu disajikan oleh sekelompok korak sekalipun. Dalil lain yang juga otomatis terbangun adalah, orang yang memiliki etika berbahasa yang baik belum menjamin akan adanya perilaku, hasil, atau tanggungjawab yang baik pula.

Bisa dikata, pada asumsi itu, telah dibedakan bahkan dipisahkan dengan tegas antara tingkah laku dengan etika berbahasa. Masalahnya kemudian, tingkah laku seolah mampu menindas dan mengerdilkan etika berbahasa menjadi sebatas hipokrisi. Asal kinerjamu baik, hasil pekerjaanmu dapat bermanfaat bagi orang banyak, tak perlu kamu bersembunyi dari gaya hidupmu yang tak mampu bicara sopan. Jadilah dirimu sendiri.

Itu jelas tidak bisa dibenarkan. Sebab pada titik itulah etika berbahasa mulai memudar tanpa kita pernah menyadarinya. Kita menyelebrasinya. Logika kita, masyarakat kecil yang hidup di desa-desa, lantas terpaksa harus mengikuti orang kelas menengah kota yang berkata; jangan percaya omongan-omongan manis. Hal itu lalu kita terapkan di desa-desa kita sendiri, di mana etika berbahasa masih dijunjung sebagai produk kekayaan berpikir.

Etika berbahasa selanjutnya bukan lagi soal nilai-nilai yang diyakini baik adanya. Pola budaya mengubahnya menjadi sebatas hipokrisi yang kemudian dianggap selesai, mantab, dan baku, karena ‘kebenarannya’ diyakini oleh hampir semua kalangan. Apalagi, kebudayaan bukanlah soal kebenaran, melainkan soal praktek dan kebiasaan. Contohnya, meski tak pernah bisa dibenarkan, jika kekerasan terus menerus dipraktekkan, cepat atau lambat ia akan dibudayakan.

Kita kemudian mulai menerima bahwa etika berbahasa tak terlalu penting zaman ini. Hanya orang-orang yang sering lain di muka lain dibelakang yang akan menggunakannya sebagai kedok untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan, dipikirkan, atau dikehendakinya. Maka sampailah kita di titik itu, di mana etika berbahasa dibiarkan masuk ke dalam kotak pengertian yang keliru; etika terbayang dalam bahasa, dan bahasa menganggu bangsa.

Kosakata sehari-hari kita satu per satu menjadi hilang dari waktu ke waktu. Bangsa lain, pada fase yang lebih jauh, melihat ini sebagai peluang cara menjajah. Mereka membuat, merumuskan, lantas menjual kosakata baru kepada kita dalam bentuk tren. Awalnya kita menggunakan bahasanya, lalu mengikuti logika berbicaranya, dan berlanjut ke arah ketundukan pada selera mereka.

Padahal etika berbahasa, sependek pengetahuan saya, semestinya dipahami sebagai sebuah kekayaan peradaban seperti yang sudah-sudah. Etika terbayang dalam bahasa, sedangkan bahasa menunjukkan bangsa. Tapi, kekayaan peradaban baru bisa disebut kekayaan ketika ia berhasil digali, terlihat, dipakai dan dapat dirasakan manfaatnya. Jika kemudian kita, menggali etika berbahasa saja sudah tak mau, dan lebih memilih pragmatisme, identitas seperti apakah yang sebenarnya sedang kita bangun?

Ananta Damarjati
Ananta Damarjati
Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.