Pada tahun 2017 saya pernah mengikuti Halaqah Ulama ASEAN yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Kampanye yang digaungkan Kemenag masih seputar moderasi beragama.
Dalam sebuah diskusi saya bertanya kepada seorang pemakalah, “Apa dasar menjadi Islam moderat?” Jawabannya sangat meyakinkan, dasar Islam Moderat ialah al-Qu’ran dan hadis.
Jawaban tersebut membuat saya merenung, dan memikirkan apa benar seperti itu? Alih-alih berdebat, saya memilih diam dan mengingat-ingat Bukankah Abu Ahmad Muhajir seorang intelektual ISIS dengan bukunya, Masail min Fiqh al-Jihad menyebut banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadis. Begitu juga dengan Taqiyyuddin Al-Nabhani penggagas Hizbut Tahrir dan berbagai tokoh Islam kontroversi lainnya yang menyandarkan seluruh pendapatnya kepada Al-Qur’an dan hadis.
Belum lagi afiliasi organisasi Islam yang begitu luar biasa banyaknya. Ada NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, PERSIS, LDII, dan banyak lagi yang lainnya menambah daftar panjang kegamangan bagaimana sih berislam agar kita tidak terjebak dalam lingkaran pertengkaran yang sepertinya berlangsung tanpa jeda.
Penelusuran saya hampir mencapai akhir manakala berkenalan dengan teori cosmotheandic vision yang digagas oleh Raimon Panikkar seorang filosof agama yang lahir Spanyol.
Jadi begini, Panikkar memberikan solusi kegamangan dalam beragama dengan membagi sebuah kepercayaan menjadi dua.
Pertama. Iman (faith), ini adalah perkara yang tetap dan bebas. Mudahnya, Anda mempercayai adanya Tuhan itu adalah iman. Titik, tanpa koma. Dan, semua orang mempunyai hal ini. Iman ini bersifat tetap dan tidak berubah. Karena secara naluri, manusia akan mempercayai sebuah kekuatan yang sangat besar yang mengatur alam semesta.
Kedua. Dan di sinilah letak permasalahannya. Ketika Iman ini menjelma menjadi sebuah ritual ibadah, hukum peraturan yang termaktub dalam kitab suci maka iman ini berubah ke tahap selanjutnya yaitu kepercayaan (belief).
Kepercayaan ini sudah tercampuri dengan daya akal. Misalnya Al-Quran adalah satu, namun penafsiran Al-Quran banyak sekali. Kebenaran tentang Islam itu satu, namun tafsir atas kebenaran tentang Islam itu ada bermacam-macam. Hal ini dikarenakan ada turut campur akal di dalamnya. Bukankah kita juga mengenal paribahasa lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya?
Sebuah ayat misalnya, penciptaan Adam di surat al-Nisa’ ayat satu, ayat ini diartikan bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah ialah Adam. Namun, tidak menutup kemungkinan tafsir lain bahwa Adam diciptakan ‘dari’ nafs wahidah, karena terdapat lafad min (dari) di sana. Artinya Adam dan Hawa ialah manusia kembar.
Berbagai hasil tafsir dan ijtihad ini dikoordinir menjadi kelompok-kelompok tertentu dan dikuatkan dengan dibentuknya institusi-institusi yang merangkum di dalamnya manusia-manusia yang menganut paham tertentu.
Berbagai institusi kemudian membentuk simbol yang berbeda di masing-masing kelompok. Taruhlah NU yang mempunyai simbol bumi dengan tali jagad-nya. Muhammadiyah dengan Matahari, HTI dengan ‘bendera tauhid’-nya, LDII dengan pohon beringin, dan lain sebagainya.
Masing-masing akan berjuang mempertahankan simbolnya masing-masing. Panikkar tidak melarang kita untuk berada di naungan sebuah simbol tertentu. Tidak. Saya pun bernaung dalam sebuah simbol dan saya berjuang untuknya pula. Simbol ini memang menjadi fitrah manusia untuk membedakannya dirinya dengan kelompok yang lain.
Simbol ini kemudian dipertahankan dengan mitos. Tugas mitoslah melanggengkan sebuah simbol. Mitos di sini bukan berarti cerita-cerita karangan yang dibuat-buat. Bukan. Mitos di sini diisi oleh tokoh-tokoh yang figurnya dipelihara dijadikan teladan dan dipajang di lembaga-lembaga bersangkutan.
Kita tahu HT menjadikan Taqiyuddin al-Nabhani sebagai mitos yang terus dipelihara, buku-bukunya dijadikan rujukan pendirian negara Islam. Kemudian NU mempunyai figur KH. Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah mempunyai figur KH Ahmad Dahlan, PERSIS mempunya Moh. Natsir, dan lain sebagainya. Berbagai upaya dilakukan untuk melanggengkan figur mereka masing-masing.
Mulai dari mengadakan haul, kajian atas kitab-kitab mereka, mendoakan mereka secara berjamaah dan berbagai cara lainnya.
Menjadi moderat bukan berarti tidak mempercayai semua hal itu. Tidak. Menjadi moderat berarti tetap meyakini apa yang menurutnya benar dengan catatan tidak memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Menjadi moderat bisa dikatakan sikap toleran atas kebenaran yang dibawa oleh orang lain.
Dengan menempatkan kepercayaannya di tempat belief, seseorang akan lebih banyak memberikan dialog antar iman.
Perbedaan yang ada dianggap sebagai perbedaan antara tangan, kaki, kepala, dada dan sejenisnya yang mempunyai bentuk berbeda namun tetap memiliki visi yang sama.
Dapat dikatakan, bermoderat dalam kacamata Panikkar berupa ungkapan, “bisa jadi apa yang saya pegang benar, bisa jadi pula apa yang kamu pegang benar.”
Kebenaran secara mutlak berada di tangan Tuhan yang tidak terbatas, maka tidak mungkin akal yang terbatas ini mampu menjangkaunya.
Kaidah bermoderat seperti di atas pun bisa jadi benar, juga bisa jadi menjadi tidak benar. Jadi apakah yang saya usulkan di atas adalah sebuah kebenaran?