Rabu, April 24, 2024

Baduy: Mencecap Senyap dari Kebisingan Ibukota

Siti Heni Rohamna
Siti Heni Rohamna
Mahasiswi Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa Institut UIN Jakarta, telah dikukuhkan sebagai Duta Damai Dunia Maya Provinsi Banten dan Juru Bicara Pancasila Wilayah Jabodetabek, Aktivis Komunitas Bela Indonesia Nasional

Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya. Dibalik itu, rupanya negeri khatulistiwa ini juga dihuni oleh berbagai macam suku yang berada di pelosok negeri. Salah satunya Suku Baduy yang dikenal lantaran keteguhannya menjaga kelestarian alam.

Di tengah hiruk pikuk ibukota yang menyajikan pemandangan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Saat banyak orang mengejar kesenangan duniawi. Berkunjung ke Suku Baduy memberikan kesan yang berbeda. Sebuah perjalanan di tengah hiruk-pikuk dunia yang sarat akan suara bising mesin dan teknologi.

Suku Baduy merupakan etnis Sunda yang menetap di kawasan Kanekes, Leuwidamar, Lebak-Banten. Mereka tinggal tak jauh dari Stasiun Rangkasbitung. Kurang lebih sekitar 40 kilometer. Perjalanan dari stasiun dapat ditempuh dengan menggunakan mobil atau elf.

Butuh sekitar tiga jam untuk menuju Ciboleger—pintu masuk menuju perkampungan Baduy. Jalan menuju suku pedalaman ini relatif terjal, berkelok-kelok. Selama perjalanan, kami—Peace Train Indonesia—dimanjakan dengan jejeran pepohonan hijau, perkotakan sawah milik warga dengan air yang mengalir.

Tak terasa satu jam kami berjalan kaki. Kerikil tajam yang acap kali menusuk kaki tak kami hiraukan, demi mencicipi suasana bersanding alam Desa Kenekes—tempat masyarakat Baduy tinggal. Sesampainya di sana, pengunjung disambut dengan pemandangan malam tanpa lampu. Hawa dingin mulai menyambut. Suara jangkrik dan gemericik air mengalir kian menghiasi malam yang sunyi.

Suasana damai nan gelap gulita terasa saat menyusuri perkampungan Baduy Luar. Rumah-rumah panggung dibangun berhadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Konon, masuknya sinar matahari ke dalam rumah menjadi faktor utama pemilihan arah rumah. Lantai ruangan terbuat dari anyaman bambu. Sedang atap rumah dilapisi dengan daun pohon kelapa.

Perut kami terasa lapar usai perjalanan panjang. Beruntung, salah satu warga Suku Baduy menyiapkan makanan. Mereka menyiapkan pepes belut. Santapan yang jarang sekali ditemui di Ibukota. Rumah ini memiliki 3 ruangan utama. Pengunjung menyantap makanan langka ini di ruang depan atau beranda rumah.

Sehabis makan, kami menikmati malam dengan berbincang bersama Kepala Suku Baduy. Di rumah kepala suku tersaji kacang bogor, ubi, dan jagung rebus. Warga Suku Baduy sangat akrab dengan alam. Gelas yang digunakan pun berasal dari bambu yang diukir dengan gambar rumah panggung khas pedalaman Baduy.

Menjaga Alam

“Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak.”

Sepenggal peribahasa dalam adat Suku Baduy yang menyiratkan pesan untuk melestarikan alam. Kata-kata tersebut dapat diartikan ‘gunung tidak boleh dihancurkan, dan lembah tidak boleh dirusak’. Pesan inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy untuk terus menjaga kelestarian alam. Sejak ratusan tahun lalu, mereka hidup sebagai suatu kelompok yang jauh dari modernitas demi melestarikan alam.

Menurut Kepala Suku Baduy, Jaro Saija, suku pedalaman yang terletak di Kecamatan Leuwidamar ini memiliki luas kurang lebih 5000 Hektar. Terdiri dari Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Perbedaan antara keduanya terletak pada ikat kepala. Lelaki Baduy Dalam mengenakan ikat kepala dan baju berwarna putih. Sedangkan baju hitam dan ikat kepala biru hitam bercorak kreweng terwengkal digunakan oleh lelaki Baduy Luar. Para wanita—baik Baduy dalam maupun luar—mengenakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang.

Warga Baduy luar diperbolehkan berbaur dengan modernitas. Terlihat dari aktivitas mereka yang menjual berbagai macam kain tenun yang diolah menjadi bermacam-macam aksesoris, hingga batik khas Baduy tersebar ke masyarakat luas. Beberapa dari mereka juga telah mengenakan ponsel.

Berbeda dari Baduy Dalam yang sama sekali tidak boleh mencicipi modernitas dunia luar. Mereka masih setia berjalan kaki tanpa alas saat melakukan perjalanan. Kearifan lokal pun masih setia dijaga oleh warga Baduy Dalam. Mereka tidak boleh mencemari lingkungan dan tanah air. “Jika modernitas masuk ke Suku Baduy, maka akan merusak alam yang selama ini telah dijaga oleh para leluhur,” ucap Jaro lengkap dengan logat Sundanya, Minggu (30/9).

Leluhur

Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka meyakini bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah Pegunungan Kendeng ini termasuk keturunan Batara Cikal, satu dari tujuh dewa yang diutus dari langit ke Bumi. Nabi Adam memiliki hubungan yang erat dengan Batara Cikal. Suku Baduy menganggap Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.

Tuhan yang diimani ialah Nu Kawasa sebagai pemegang kuasa tunggal. Nabi Adam dan keturunannya—termasuk masyarakat Baduy—membawa suatu misi. Bertapa untuk menjaga harmoni dunia dianggap sebagai tugas utama.

Pikukuh—adat istiadat—bagi mereka ialah harga mati. Kebiasaan yang tidak pernah dilakukan oleh nenek moyang tidak boleh dilakukan juga oleh orang Baduy. Makanan yang tidak pernah dimakan nenek moyang tidak boleh dimakan oleh masyarakat Baduy. “Yang melanggar mendapat sanksi tegas, bahkan dikeluarkan dari Baduy Dalam,” terang Jaro.

Sejatinya, kepercayaan Sunda Wiwitan masyarakat Baduy bersumber dari ritual pemujaan kepada roh nenek moyang. Kemudian agama lain masuk seperti Buddha, Hindu, dan Islam. Pemujaan ini mengalami akulturasi yang melahirkan kepercayaan yang hingga kini dianut oleh urang Kanekes—sebutan untuk orang Baduy.

Hingga kini, kepercayaan Sunda Wiwitan yang diyakini oleh orang Baduy belum diyakini sebagai sebuah agama di Indonesia. Meskipun begitu, mereka tetap memegang teguh kepercayaannya. “Daftar agama di KTP kami masih kosong,” ungkap Jaro saat ditemui di beranda rumahnya.

Malam semakin larut. Pengunjung dihinggapi rasa kantuk. Tempat tidur telah disiapkan di ruang tengah yang digunakan sebagai ruang serbaguna. Pengunjung mulai terlelap dihinggapi dingin yang menusuk tulang. Pengalaman luar biasa, bersinergi dengan alam ditengah hiruk-pikuk Ibukota. Semalam di Baduy, begitu kata hati, termasuk malam bersejarah, dalam bingkai kebersamaan Peace Train Indonesia.

Siti Heni Rohamna
Siti Heni Rohamna
Mahasiswi Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa Institut UIN Jakarta, telah dikukuhkan sebagai Duta Damai Dunia Maya Provinsi Banten dan Juru Bicara Pancasila Wilayah Jabodetabek, Aktivis Komunitas Bela Indonesia Nasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.