Jumat, Juni 20, 2025

B50: Jalan Tengah Energi Nasional atau Ancaman Baru bagi Pangan

Aldilla Raffa Azriel Ramadhan
Aldilla Raffa Azriel Ramadhan
Mahasiswa Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Di tengah tantangan global terkait krisis iklim, lonjakan harga energi fosil, dan tuntutan akan transisi energi yang adil, Indonesia mengambil langkah signifikan dengan memperluas penggunaan biodiesel berbasis kelapa sawit hingga mencapai kadar pencampuran 50 persen, atau yang dikenal sebagai B50. Kebijakan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, penerapan program B30 saja telah menyumbang penghematan devisa sebesar USD 4,54 miliar pada 2023 serta menurunkan emisi karbon sekitar 25 juta ton CO₂ ekuivalen. Maka, percepatan ke B50 menjadi bagian dari strategi besar untuk mewujudkan kemandirian energi nasional dan penguatan industri domestik berbasis sumber daya terbarukan.

Secara ekonomi, peningkatan konsumsi biodiesel dari sawit membuka peluang besar bagi pelaku usaha dan petani sawit dalam negeri. Lebih dari 17 juta orang menggantungkan hidup dari sektor kelapa sawit, termasuk petani kecil yang kini bisa menikmati harga tandan buah segar (TBS) yang lebih stabil. Melalui program kemitraan dan koperasi, para petani berpeluang masuk dalam rantai pasok industri energi yang dulunya hanya dikuasai korporasi besar. Langkah ini turut mendorong hilirisasi komoditas dan pemerataan ekonomi ke daerah pinggiran, terutama di sentra sawit seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Dalam jangka panjang, kebijakan B50 diyakini dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dan menciptakan cadangan energi yang bersumber dari dalam negeri.

Namun, keberhasilan implementasi kebijakan energi tidak cukup diukur dari capaian angka semata. Peningkatan permintaan CPO untuk biodiesel berpotensi menciptakan tekanan serius pada ketersediaan lahan dan sumber daya alam. Analisis Madani Berkelanjutan memperkirakan kebutuhan tambahan sekitar 3 juta ton CPO per tahun jika B50 diimplementasikan secara nasional. Kondisi ini dapat memperburuk praktik alih fungsi hutan, mempersempit lahan pangan, dan mendorong perluasan perkebunan sawit ke kawasan bernilai konservasi tinggi. Data dari Forest Watch Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 1,3 juta hektare hutan alam hilang hanya dalam kurun 2017–2021, sebagian besar diduga untuk ekspansi komoditas seperti sawit.

Efek domino dari ekspansi ini berdampak pada lingkungan dan sosial. Deforestasi yang masif berkontribusi pada hilangnya habitat satwa langka, mengganggu siklus hidrologi, serta meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan. Di sisi lain, konflik agraria antara perusahaan sawit dengan masyarakat adat dan petani lokal terus mencuat, sebagaimana tercatat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang melaporkan 212 konflik agraria baru sepanjang 2023, sebagian besar terkait sektor perkebunan. Tanpa tata kelola lahan yang adil dan transparan, program energi hijau ini dapat berubah menjadi sumber ketidakadilan baru.

Ketergantungan berlebihan pada satu jenis bahan baku juga menciptakan risiko sistemik. Jika terjadi gangguan pada produksi sawit akibat cuaca ekstrem, serangan hama, atau krisis geopolitik, maka pasokan bahan bakar domestik pun ikut terancam. Situasi ini menciptakan ketergantungan tunggal yang sama bahayanya dengan ketergantungan pada energi fosil. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperluas basis energi terbarukan, tidak hanya dari sawit, tetapi juga dari singkong, tebu, sisa pertanian, dan bahkan limbah perkebunan seperti POME dan cangkang sawit yang dapat diolah menjadi biogas atau biomassa.

Kesiapan teknologi dan infrastruktur juga menjadi tantangan besar dalam transisi ke B50. Tidak semua kendaraan diesel di Indonesia kompatibel dengan kadar biodiesel tinggi. Beberapa operator logistik dan pemilik kendaraan niaga melaporkan masalah seperti penyumbatan filter, korosi, dan penurunan performa mesin akibat kualitas campuran yang belum stabil. Sementara itu, industri otomotif masih terpecah antara dorongan inovasi ramah lingkungan dan kekhawatiran terhadap biaya penyesuaian teknis. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan riset dan pengembangan sangat diperlukan, termasuk pelibatan kampus dan lembaga litbang dalam pengujian serta penyempurnaan formula biodiesel.

Masalah tata kelola menjadi faktor penentu yang tak kalah penting. Keberhasilan B50 membutuhkan sistem data yang kuat dan transparan, mulai dari asal-usul sawit, luas lahan, rantai distribusi, hingga dampaknya terhadap petani kecil. Penggunaan teknologi seperti citra satelit, sistem informasi geospasial, dan blockchain dalam pelacakan rantai pasok dapat memperkuat akuntabilitas dan mencegah praktik manipulasi data. Selain itu, partisipasi masyarakat sipil dan media perlu didorong agar pengawasan kebijakan tidak hanya berada di tangan segelintir elit.

Peran generasi muda juga sangat penting dalam mewujudkan transisi energi yang adil. Sebagai kelompok dengan akses luas terhadap teknologi dan informasi, mereka dapat menginisiasi solusi inovatif, seperti pengembangan startup energi terbarukan, pelatihan petani dalam praktik agroekologi, atau kampanye digital untuk mendorong kesadaran publik tentang pentingnya energi bersih yang tidak eksploitatif. Keterlibatan generasi muda dalam dialog kebijakan, riset lapangan, hingga advokasi berbasis data akan memperkaya wacana publik dan memperluas ruang demokrasi energi di Indonesia.

Pemerintah perlu menjadikan B50 sebagai jembatan menuju diversifikasi energi, bukan titik akhir. Energi surya, angin, air, dan panas bumi harus mendapatkan porsi yang proporsional dalam peta jalan energi nasional. Pemanfaatan bioetanol dari tanaman lokal seperti sorgum dan singkong dapat dikembangkan sebagai alternatif yang tidak bersaing langsung dengan lahan pangan utama. Selain itu, insentif fiskal dan pembiayaan hijau perlu diarahkan ke riset, inovasi, dan implementasi energi terbarukan skala mikro, agar masyarakat desa pun dapat menjadi produsen energi, bukan hanya konsumen.

Transisi energi harus dibingkai sebagai proses keadilan sosial dan ekologis, bukan sekadar target angka atau proyek industri. Ketika Indonesia berkomitmen menjalankan B50, maka komitmen itu harus disertai dengan keberanian untuk memperbaiki tata kelola lahan, mendengarkan suara petani kecil, memulihkan hak masyarakat adat, dan menjaga lingkungan hidup. Dengan demikian, energi bersih yang dibangun tidak hanya lepas dari karbon, tetapi juga bebas dari ketimpangan dan kerusakan jangka panjang.

Aldilla Raffa Azriel Ramadhan
Aldilla Raffa Azriel Ramadhan
Mahasiswa Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.