Senin, November 4, 2024

Ayat-Ayat Dilan: Dari Surayah ke Tren Hijrah

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id
- Advertisement -

Sebelum menulis novel Dilan, Pidi Baiq menulis berbagai buku humor satir semisal Drunken Monster, Drunken Molen, Drunken Mama, Drunken Marmut, Al-Asbun, dan at-Twitter. Dia adalah Imam Besar The Panas Dalam Merdeka, merangkap sebagai vokalis dan pencipta lagu di The Panas Dalam.

Pidi Baiq yang biasa dipanggil Surayah juga sering dianggap sebagai filsuf mazhab Just Kidding Philosophy. Kalau Anda mengikuti kicauannya di Twitter, mendengarkan lagu-lagunya, membaca karya-karyanya, menikmati karikatur dan lukisannya, Anda akan tahu bahwa orang ini punya kejeniusan yang ‘tidak lazim’.

Jika Anda pernah ke Bandung dan menikmati suasana di sekitar jalan Asia Afrika, Anda akan mendapati quote-nya terpampang di salah satu dinding di bawah jembatan penyeberangan. Tertulis: Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu juga melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. 

Secara singkat, Pidi Baiq menawarkan sudut pandang yang jauh dari klise dan superficial, dia menawarkan jawaban filosofis di balik gurauan-gurauan. Dia menulis puisi dengan rima dan susunan diksi tak biasa. Dia menantan kelaziman. Dia adalah anomali.

Dan ke-anomali-an Pidi Baiq terekam dalam karakter Dilan yang ia ciptakan dalam novel yang baru saja diangkat menjadi film tersebut. Penamaan Dilan sendiri sepertinya terinspirasi dari Bob Dylan, musisi, pencipta lagu, penulis, dan pelukis asal Amerika yang baru-baru ini mendapatkan Nobel untuk kategori literature—salah satu idola Pidi Baiq

Lirik yang diciptakan Dylan juga filosofis dan kadang politis, tengok saja, misalkan, lagu Blowin’ in the wind. Terlepas dari banyaknya penghargaan yang dia dapatkan, Dylan sempat mengalami kecelakaan saat mengendari motor. Kebetulan, Dilan-nya Pidi Baiq ke mana-mana juga naik motor.

Namun agak sulit untuk menganggap bahwa karakter Dilan adalah sepenuhnya personifikasi dari karakter Dylan. Sebagian menganggap karakter Dilan mencerminkan karakter Pidi Baiq sendiri. Sebagian lagi sibuk mencaritahu siapa sosok di balik karakter Dilan sesungguhnya. Apa yang membuat Dilan sedemikian bikin penasaran? Yaitu anomali.

Kisah cintanya mungkin kisah cinta mainstream yang bisa Anda baca di banyak buku, novel, film, dan/atau bahkan FTV. Gaya tutur Pidi Baiq juga sederhana dan jauh dari kesan ‘serius’ ala novel-novel sastra. Konon, misi Pidi Baiq saat menulis Dilan adalah untuk membuat novel teenlit yang tidak picisan.

Dan ketidakpicisannya dikukuhkan dengan gaya gombal Dilan yang unik, yang saking uniknya jadi gampang kita hafal. Kamu Milea ya? Aku ramal kita akan ketemu di kantin. Milea kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu, tidak tahu nanti sore. Jangan rindu, berat, kamu tidak akan kuat, biar aku aja. Jangan bilang ada yang menyakitimu, nanti orang itu bisa hilang. Lalu ada hadiah TTS yang sudah diisi instead of hadiah boneka besar. Lalu ada gaya slengean anak muda yang sedang ingin berontak-berontaknya.

Kisah Dilan-Milea sukses membawa karya Pidi Baiq ke pada level lain—surayah tidak lagi dikonsumsi ‘kalangan terbatas’. Bahkan anak-anak ABG yang tidak pernah tahu bahwa di dunia ini ada makhluk bernama The Panas Dalam tiba-tiba saja mendamba Dilan, merindu Milea. Ketika ia diadaptasi ke dalam film, quote-nya ‘berserakan’ di nyaris semua kanal sosial media. Meme-nya ada di mana-mana. Trailer parodinya mengantri di youtube. Bahkan jadi trending topic di Twitter.

- Advertisement -

Bilang ke Dilan, yang berat itu mandi di hari sabtu bukan rindu, tweet yang satu. Yang berat itu masuk ITB, kamu nggak akan kuat, biar aku aja, ujar yang lain. Atau ada mahasiswa yang berharap dosen pembimbingnya menjadi Dilan yang berkata: skripsi itu berat, kamu nggak akan kuat, biar aku aja. Dan di antara yang menarik saya adalah foto Soeharto dengan tagline “zaman Dilan da pembredelan” dari akun IG @warungarsipQuote-nya berbunyi: jangan pernah berani untuk mengkritikku, nanti, besoknya, kamu hilang. 

Kesemua itu, bagi saya sekali lagi membuktikan betapa kreatif dan humorisnya anak muda Indonesia. Betapa besar gairah mereka berkarya, menertawai keadaan, mencari celah komedi dalam, bahkan kenangan-kenangan yang kelam. Betapa pesan-pesan politis, secara sadar maupun tidak, mereka ramu dalam kesenangan mereka meracik lelucon di sosial media. Walau memang, fenomena tersebut juga menunjukkan betapa mudahnya anak muda Indonesia didemami sesuatu—prasyaratnya sederhana: bikin ia menjadi viral.

Namun begitu, di tengah pesta-pora lelucon, parodi, dan kedemaman kita merayakan dan membaperi Dilan-Milea, muncul pula cibiran. (Oh, ‘kan memang pengguna sosmed di Indonesia juga terkenal soal mencibir dan ngebully, ya?). Dilan dianggap tidak mendidik, mengajarkan dosa dan keburukan, menjadi penanda kemunduran moralitas generasi muda bangsa.

Dalam pada itu, sebagian dari mereka kemudian menawarkan Dilan versi syar’i, Dilan setelah hijrah. Qoute Dilan el-hijrah ini akan begini kira-kira bunyinya: Milea kamu cantik, tapi kamu belum berhijab, auratmu ke mana-mana. Atau, kamu Milea ya? Aku lamar nanti. Kita ketemu di rumah kamu. Atau, jangan maksiat, dosanya berat, kamu nggak akan kuat, aku juga. Jangan pacaran, dosanya besar, menikah saja. Yang berat itu bukan rindu, tapi shalat subuh berjamaah. Yang berat itu bukan rindu, tapi istiqomah. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Dalam mengatakan itu saya tidak sedang memvonis apakah ini baik atau buruk, silakan Anda menilai sendiri. Hanya, ini adalah gejala, adalah fenomena, yang mengindikasi prediksi van Bruinessen soal the conservative turn. Secara sederhana, ada itikad mem-Fahri-kan sosok Dilan.

Bahwa karakter anak muda yang digilai remaja tidak boleh yang serba manusiawi, punya hati baik tapi sering jatuh-bangun dalam ketidakbaikan, berkali-kali ceroboh, bisa marah, bisa menyesal, dan ganjen-gombal. Sebaliknya, idola anak muda Indonesia haruslah seorang sangat saleh tanpa dosa, sangat kaya, sangat setia, selalu penuh pertimbangan, pintar, dan suka menolong.

Milea juga tidak boleh jadi sosok idaman kaum Adam, apalagi ‘kan Milea belum berhijab, belum pakai cadar kalau perlu. Milea ini lemah banget gampang baper, yang mau-maunya pacaran. Tidak, tidak boleh. Semua harus seperti Aisha, atau Hulya, atau Keira yang nantinya berkata, “Nikahi aku, Dilan! Nikahi aku sekarang!”

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.