Sabtu, Oktober 12, 2024

Awas, Mafia Korona!

Alja Yusnadi
Alja Yusnadihttp://aljayusnadi.com
Kolumnis, tinggal di Aceh.

Alam selalu menyajikan dua hal yang bertolak belakang, mungkin juga untuk saling melengkapi: siang-malam, hitam-putih, kaya-miskin, sempit-luas.

Begitu juga akibat yang ditimbulkan oleh Covid-19 (Untuk seterusnya, saya sebutnya Korona saja). Korona menyebabkan banyak orang buntung, tapi ada juga yang untung.

Siapa yang buntung? Sudah banyak berita dan artikel yang mengulas tentang itu. Bisa jadi, kita salah satunya.

Sebagai contoh, saya mencuplik cerita salah seorang kawan. Sebut saja namanya Melati. Dia adalah pengusaha percetakan dan konveksi.

Dalam menopang usahanya, Melati bekerjasama dengan Bank. Sejak Korona, usaha melati macet. Omzet terjun bebas. Padahal sudah empat tahun berjalan lancar, bahkan dia sanggup menutupi cicilan rumahnya dari usaha tersebut.

Korona membuat usahanya berjalan pelan sekali. Melati kewalahan membayar kewajiban di Bank.

Bank sudah memberikan keringanan berupa penundaan angsuran untuk beberapa bulan, bersamaan dengan perintah Presiden Jokowi. Namun, mulai Juli harus membayar, seberapa yang ada.

Melati mengeluhkan situasi ini. Omzet usaha hanya mampu menutupi gaji karyawan. Penyebabnya adalah pelaku usaha pariwisata berhenti beraktivitas, ditambah lagi refocusing anggaran pemerintah. Kedua sektor ini adalah customer pentingnya.

Sekarang, mari kita bergerilya untuk menebak siapa pula yang untung. Saya juga punya kawan yang usahanya justru berkembang di tengah pandemi ini.

Namanya Hendra, tauke bandrek langganan saya. Menurut Hendra, bandrek racikannya kian banyak diminati. Di saat usaha lain merumahkan karyawan, Hendra justru menambahnya.

Dulu, hanya dia dan istrinya. sekarang sudah ada dua karyawan. Yang satu membantu Hendra di dapur bandrek, satunya lagi membantu istri Hendra di dapur pisang goreng.

Sebagian orang menganggap, bandrek dapat menangkal Korona. Ini memang bukan rekomendasi medis atau Menteri Pertanian, sebagaimana kalung itu.

Namun, jika melihat bahan baku bandrek: Serai, Jahe, dan berbagai rempah, meminum bandrek, apalagi di musim hujan, bisa menghangatkan tubuh. Kalau saya penggemar bandrek ditambah telor bebek pakai susu, namanya Telor Bandrek Susu (TBS). Sensasiny beda, boleh dicoba.

Bahkan, dr. Suherdy, salah satu dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Tengku Peukan (RSUD TP), Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh menganjurkan untuk meminum bandrek.

Menurut dokter ahli penyakit dalam ini, bandrek dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan memilki proteksi yang paling bagus. Mungkin maksud pak dokter proteksi terhadap virus.

Tentu, tidak ada hubungan bisnis antara Hendra dengan Suhendry. Mereka pun tidak saling kenal. Kalaupun Hendra mendapatkan untung di tengah Korona, saya kira hal yang wajar. Apalagi usahanya mandiri, tidak bergantung pada anggaran negara.

Ada satu model lagi yang makmur di masa Korona, atau lebih tepatnya lagi mencari-cari untung. Menggerogoti anggaran publik, bermain-main dengan status Korona. Bagi mereka, selalu ada kesempatan (yang empuk) di dalam kesempitan. Untuk situasi sekarang, jargon ini sungguh tidak layak diterapkan.

Situasi ini mengingatkan saya pada fase 1999-2005. Pada saat itu Aceh dalam situasi perang. Agaknya, perang dan pandemi ada kemiripan, sama-sama kejadian luar biasa. Saya bukan pelaku atau pengamat perang. Cuma ikut merasakan bagaimana lejarnya hidup di masa itu.

Situasi tidak kalah mencekam. Bahkan lebih parah, sekolah dibakar, jembatan diledakkan. Situasi tidak menentu. Ibarat cuaca, lagi terik matahari tiba-tiba hujan.

Bagi masyarakat kebanyakan, hidup di tengah situasi perang sangat tidak nyaman. Ruang gerak terbatas, ekonomi lesu.

Bisa Anda bayangkan, bagaimana repotnya mencari rezeki di masa itu, pergi ke kebun saja harus meninggalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di pos serdadu dan diambil kembali sewaktu pulang yang tidak boleh melewati siang.

Makanya ke kebun tidak boleh membawa bekal. Kalau kelewatan, karena Anda lupa misalnya, siap-siaplah tapak sepatu melayang. Anda dituduh bersekongkol dengan GAM.

Soal KTP saya singgung sedikit, karena unik. Ukurannya lebih besar dari ukuran KTP biasa, tidak muat di dompet, warnanya merah putih, ada gambar burung Garuda lengkap dengan Pancasila. Saya yakin, kalau Anda tidak pernah melihatnya, tidak bisa membayangkan wujudnya.

KTP itu hanya diproduksi tatkala Aceh berstatus Darurat Militer (DM). Aceh di masa itu sama dengan Jakarta, Jawa Timur semasa Pandemi: daerah rawan.

Jadi, KTP itu adalah pembeda, seolah-olah, tertempel di jidat pemegangnya: penduduk daerah konflik, harus waspada. Sungguh diskriminatif.

Jangan coba-coba Anda berjalan tanpa KTP, bisa-bisa berpisah nyawa dari badan. Namun, bagi sebagian masyarakat lainnya, hidup di masa perang menyenangkan. Perang baginya adalah kesempatan untuk meraup keuntungan. Dia memanfaatkan situasi mencekam itu untuk menjalankan usahanya.

Ada yang mengambil peran sebagai penghubung antara GAM dan serdadu. Satu kali dia menjual hasil alam untuk membeli logistik. Kali lain dia menukar hasil alam dengan mesiu. Bisnis ilegal.

Ini bukan kebijakan atasan. Hanya ulah prajurit nakal. Sisi lain dari perang adalah bisnis, praktiknya sesuai tingkatan.

Tapi yang namanya perang, walau terlihat main-main, matinya benaran. Saya lihat, situasi ini mirip seperti sekarang. Bagi masyarakat kebanyakan, ini adalah musibah besar yang menuntut kehati-hatian. Harus menjalankan protokol kesehatan. Bahkan, ada yang berdiam di rumah sampai sekarang.

Di sisi lain, manusia yang sangat sedikit jumlahnya itu, justru menikmati. Di saat yang lain merasa terancam, dia justru melihat peluang. Semoga saja,dengan pengadaan alat kesehatan seperti alat tes, alat pelindung diri, dan alat-alat lainnya tidak ada yang menikmati keuntungan yang berlipat-lipat jumlahnya.

Kasus lain, dalam sebuah rapat kerja, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengingatkan Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto, agar memberikan sanksi kepada rumah sakit yang terbukti mempermainkan status Korona.

Menurut Said, ada beberapa rumah sakit di daerah yang sengaja membuat pasien positif Korona untuk mendapatkan anggaran (Kumparan, diakses 15 Juli 2020).

Begitu juga dengan menumpuknya anggaran di dinas sosial. Semoga tidak ada pegawai pemerintah dan pengusaha yang memakan laba berlipat-lipat.

Begitulah untuk seterusnya. Silahkan lanjutkan, anggaran apa saja yang sangat empuk dikeroyok di masa pandemi ini.

Pemerintah perlu merumuskan ulang strategi penanggulangan Korona. Insentif yang tinggi untuk tenaga kesehatan sangat diperlukan, karena mereka adalah garda depan. Pengadaan alat kesehatan juga tidak kalah penting.

Tapi, untuk memastikan semua itu berjalan sesuai kebutuhan, sangat diperlukan pengawasan. Jangan sampai, lahir mafia Korona!

Alja Yusnadi
Alja Yusnadihttp://aljayusnadi.com
Kolumnis, tinggal di Aceh.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.