Bagai petir di tengah hari, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tampaknya membuka kembali mata kita ihwal pil pahit kebijakan publik yang tak populis. Alih-alih memberikan stimulus yang berkelanjutan disaat sendi-sendi perekonomian masyarakat porak poranda. Pemerintah justru memberi “hadiah” bagi masyarakatnya dengan aturan baru tersebut.
Hadiah yang tidak hanya menjadi berkah, malah justru lebih tepat penulis sebut musibah. Iuran BPJS Kesehatan kembali naik tahun ini pada beberapa kelas. Pun, sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020, tapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 34. Jika melihat dalam pasal itu, diketahui bahwa kenaikan iuran terjadi pada Kelas I dan Kelas II mandiri. Hal itu akan dimulai pada Juli 2020.
Melansir Kompas.com dalam pasal 34 juga dijelaskan mengenai mekanisme perubahan subsidi yang diberikan pemerintah. Iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri pada Juli-Desember 2020 berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020. Kelas 1 Rp 150.000 Kelas 2 Rp 100.000 Kelas 3 Rp 25.500 (Rp 42.000 dikurangi subsidi pemerintah Rp 16.500)
Kenaikan pada iuran kelas I dan II hampir 100 persen. Sebelumnya, pada April-Juni 2020, Peserta Kelas I hanya membayar Rp 80.000. Sementara itu untuk Peserta Kelas II sebelumnya hanya membayar Rp 51.000. Peserta yang tidak mampu sudah dipastikan dijamin pembayaran iurannya oleh pemerintah melalui skema penerima bantuan iuran.
Tidak hanya itu, dalam Perpres 64 Tahun 2020 pemerintah juga membantu iuran untuk Kelas III mandiri. Besaranya di tahun 2020 sejumlah 16.500 per jiwa per bulan dikalikan seluruh peserta mandiri kelas 3 yang kepesertaannya aktif hingga saat ini.
Jaga Kualitas
Selain itu, apa yang dibahas di Rapat dengar Pendapat (RDP) dengan komisi IX sudah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan memberikan bantuan iuran Kelas III mandiri. Naifnya alasan kenaikan BPJS seperti disebutkan dalam Perpres 64 tahun 2020 adalah untuk menjaga kualitas dan kesinambungan JKN.
Perpres 64 tahun 2020 tertulis jika aturan itu untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan termasuk kebijakan Iuran yang perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta dengan memperhatikan pertimbangan dan amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020.
Nah disinilah perlu ditelaah kembali unsur keadilan dalam penetapan kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Adil menurut siapa dan akibat serta dampak yang timbul di masyarakat. Tentu kacamata adil akan timpang jika dibandingkan keadilan bagi sebagian masyarakat di tengah dampak pandemi Covid-19.
Disisi lain jika melihat sekema BPJS yang di gulirkan pemerintah selalu saja yang menjadi landasan untuk menaikan besaran iuran karena alasan klise defisitnya dana lantaran besaran klaim yang dibayarkan ke rumah sakit berbanding terbalik dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil iuran masyarakat.
Titik inilah yang menjadi buhul dari sengkarut program BPJS yang digulirkan oleh pemerintah. Sengakarut tersebut seakan mengejawantahkan jika BPJS memang ingin di design untuk menjadi lembaga profit. Sehingga hasil yang diperoleh dari iuran masyarakat diharapkan bisa mendapatkan laba bersih.
Bukan Lembaga Profit
Namun dalam implementasinya, alih-alih mendapatkan keuntungan hasil iuran dari masyarakat ditambah dengan subsidi yang diberikan tetap tidak memberikan dampak yang signifikan. Dampaknya, segala upaya terus dilakukan untuk menambal defisit neraca pembayaran BPJS.
Paling sering terdengar langkah yang dilakukan pemerintah ialah dengan menaikan besaran peremi iuran. Padahal hal tersebut tetap tidak akan berpengaruh pada defisit laporan arus kas dari BPJS. Alasannya cukup sederahana, jaminan kesehatan yang dijalankan dengan skema-skema seperti BPJS memang tidak berpotensi profit.
BPJS bukanlah asuransi kesehatan yang setiap penggunya tetap harus mematuhi protokol perawatan. Artinya disetiap klaim asuransi kesehatan yang dikelola swasta, ada batasan yang digariskan untuk proses perawatan bagi pemilik asuransi. Sehingga tidak keseluruhan penggunanya mendapatkan intensif yang sama, ada tolak ukur yang dipakai.
Sementara di BPJS Kesehatan mekanismenya berbeda, masyarakat bisa langsung mendapatkan manfaat kepesertaan setelah kartu yang didaftarkan aktif. Sehingga dengan aturan tersebut pihak penyelenggara akan kesulitan mengcover seluruh biaya yang dikeluarkan. Imbasnya defisit neraca selalu dikeluhkan lantaran bersar pasak dari pada tiang.
Tumpang Tindih Aturan
Seberapa pun besaran iuran yang ditetapkan pemerintah, tetap saja sulit untuk menambal kekurangan yang didapatkannya. Sementara aturan baru yang di keluarkan pemerintah dan menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan tentu menimbulkan polemik.
Sebab Perpres tersebut dianggap tidak sesuai dengan amar putusan Mahkamah Agung (MA) No.7P/HUM/2020 yang membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya. Secara hukum kedudukan Perpres itu tumpang tindih dengan Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang masih berlaku.
Mengingat jika kita buka kembali amar putusan MA Nomor 7P/HUM/2020. Disana tertulis hanya membatalkan pasal 34, ayat 1 dan 2 karena bertentangan dengan peraturan di atasnya yaitu Pasal 2, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2, Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sementara pasal lain masih berlaku.
Walakin, aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu akan menjadi bola liar tumpang tindihnya landasan hukum yang dikeluarkan. Terakhir, di tengah dampak masifnya ekonomi akibat pandemi tentu dibutuhkan aturan yang membuka celah untuk masyarakat kecil tetap bisa bertahan di keadaan yang tak kunjung pasti.