Sabtu, November 2, 2024

Assassin dan Upaya Pembusukan Sejarah Islam

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
- Advertisement -

Game Assassin’s Creed memilik reputasi mendunia di kalangan para pecintanya. Permainan jenis Role Playing Game (RPG) besutan Ubisoft ini telah melahirkan banyak episode permainan selama 13 tahun kemunculannya. Meskipun “hanya” sebuah game, salah satu produk budaya populer ini dalam beberapa hal memiliki pesan dan kaitan dengan pandangan sementara kalangan terhadap keberadaan kelompok pembunuh dalam Islam pada era Nizari Ismaili: assassin.

Dalam jalan cerita fiksinya, game Assassin’s Creed memang tidak menyebutkan keterkaitan latar cerita dengan kelompok Nizari Ismaili. Namun demikian, banyak kalangan menilai plotting cerita, penamaan, dan konteks konflik yang dibangun banyak memakai asosiasi hassasshin dengan bumbu Perang Salib.

Penamaan hasshasshin, hashishiya, dan pada akhirnya assassins sendiri banyak menuai salah paham di dalam dan luar negeri. Dengan mudah kita akan mendapat informasi umum bahwa kelompok ini adalah kelompok pembunuh profesional dan bayaran dari kalangan Syiah Ismailiyah yang menghalalkan semua cara untuk membunuh pihak yang dianggap lawan. Untuk kepentingan tersebut, assassins didukung dengan penggunaan hasis (obat terlarang).

Assassin merujuk dan dialamatkan kepada kelompok fidai yang dipimpin oleh Hasan I Sabbah di pegunungan Alamut di kawasan sebalah selatan Kaspia saat ini. Perekatan sebutan assassins dengan hasis pelan tapi pasti menjadi konstruksi pemahaman di Barat.  Tak kurang sejarawan-orientalis Bernard Lewis, Marshal G Hodgson, dan banyak lainnya dengan enteng memakai diksi assassin untuk menyebut kelompok ini.

Dalam Hasan I Sabbah, His Life and Though (2013),  Ali Mohammad Rajput mengatakan bahwa anggapan negatif tentang kelompok ini bermula dari laporan ekspedisi yang dilakukan Marco Polo (1254-1324). Rajput, dengan mengutip laporan Marco Polo, menyimpulkan akar kata assassin dari bahasa Arab ashishin, yang bermakna pemakai hasish.

Marco Polo menyampaikan hasil perjalanannya di wilayah Persia dengan mengatakan bahwa terdapat daerah yang sangat indah, strategis, dan dikuasai oleh seorang pangeran yang juga tetua yang membawahi banyak anak muda dan perempuan di dalam wilayah tersebut. Daerah tersebut adalah Alamut di Persia.

Dengan pengaruh, kemampuan, dan kekuasaaannya, tetua tersebut membentuk para anak muda itu menjadi pembunuh yang menakutkan bagi penguasa Seljuk, Abbasiyah, dan tentara Kristen pada Perang Salib. Tetua yang dimaksudnya adalah Hasan I Sabbah.

Disebutkan, para anak muda itu dibentuk untuk memiliki kepatuhan dan keberanian yang demikian tinggi untuk melakukan berbagai pembunuhan. Untuk itu, para perempuan dihadirkan bagi mereka sebagai hiburan dan hasis diberikan untuk memberi nyali dan keberanian membunuh yang tidak memiliki batas. Dengan nada satir, Marco Polo mengatakan fasilitas itu sebagai “taman surga”.

Namun demikian, pada akhirnya Rajput menilai semua yang disampaikan Marco Polo itu memiliki banyak bias dan bermasalah dalam substansinya. Marco Polo memang mengunjungi Persia (1273) sebagai tamu Ghazan Khan, salah satu Raja Dinasti Mongol di Persia saat itu. Namun, tahun 1256 Hulagu Khan telah memporakporandakan Alamut dan para fidai (anak muda asuhan Hasan I Sabbah). Kunjungan Marco Polo pada dasarnya tidak sampai ke Alamut, melainkan hanya sampai pada rute Tabriz, Kirman, dan Balkh. Dengan kata lain, penilaiannya atas Hasan I Sabbah dan kelompoknya sangat mungkin didasari kabar burung.

Anggapan adanya taman surga dan safe haven untuk segala perilaku barbar dan kriminal Hasan I Sabbah dan kelompoknya bukanlah hal yang ringan dan sederhana. Jika benar demikian, Rajput menambahkan, penguasa di kawasan tersebut saat itu, baik Khwaja Nasiruddin al Tusi (1274) maupun Ata-ul Mulk Al Juvaini (1283), pasti akan memberikan pernyataan terkait mengingat bobot masalah dan kepentingan keamanan kekuasaan mereka.

- Advertisement -

Bahkan, lebih jauh dari itu, para penulis ternama Bani Seljuk yang notabene adalah lawan Hasan I Sabbah, semisal  Zahiruddin Nishapuri (1476) pengarang Seljuk Nama dan Rawandi (1203) pengarang Rahat-ul Sudur, juga sama sekali tidak menyebut adanya taman surga binaan Hasan I Sabbah sebagaimana laporan Marco Polo.

Namun, penyataan Marco Polo telah banyak dijadikan referensi sejarah.  Farhad Daftary (2001) sejarawan Islam lainnya, menyampaikan bahwa Sylvester De Sacy dan Joseph Von Hammaer-Purgstall adalah dua tokoh yang demikian getol mengkampanyekan sekte assassin dalam Islam.

Radikalisasi Islam

Pengaruh psikotropika dalam masyarakat Arab dan persia secara umum banyak disebut para ahli. Nathaniel Weyl dalam Hasish and the Decline and Fall of Arab Civilization (2001), misalnya, melihat bahwa psikotropika (hashish, khat, dan weed) memiliki peran yang besar dalam kejatuhan peradaban Islam di Timur Tengah. Weyl melihat bahwa kehancuran telak yang disisakan tentara Mongol adalah pada pola pikir bangsa Arab yang banyak dipengaruhi psikotropika. Jengiz Khan dinilai telah dengan masif mengenalkan penggunaan dan penyalahgunaan khat, weed, dan sejenisnya pada masyarakat Arab.

Namun, anggapan demikian patut diperiksa dan diuji lebih jauh. Dalam kasus assassin misalnya, sejarawan dan orientalis memberikan pandangan yang lebih banyak didasari kecurigaan yang mengidap bias data tentang penggunaan hasis di kalangan umat Islam. Upaya pengaitan assassin dan hasish dalam banyak hal adalah upaya radikalisasi Islam.

Radikalisasi Islam di sini adalah cara pandang yang meletakkan Islam sebagai pihak yang membenarkan dan memproduksi kekerasan. Dengan menyampaikan informasi bahwa assassin adalah kelompok pembunuh yang bekerja murni sebagai pembunuh suruhan, dengan dukungan penggunaan obat terlarang dan orientasi seksual yang diatur sedemikian rupa, banyak sarjana dan sejarawan Barat ingin membangun opini negatif tentang Islam.

Dalam konteks fedayin yang diasumsikan Barat sebagai kelompok pembunuh dan pengguna zat aditif, kesan yang ingin dibangun banyak sejarawan adalah terdapat budaya dan kecenderungan radikal, kriminal, dan teror yang sistematis dan mengerikan memakai pembenaran klaim ajaran Islam.

Pada kesimpulannya yang lain, Rajput mengatakan bahwa Hasan I Sabbah adalah pribadi yang mengambangkan asketisme sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan para pengikutnya untuk melakukan hal-hal di luar kepatutan ajaran Islam. Semangat para pemuda di bawah bimbingannya tidak lain adalah watak asali para pemuda Nizari Ismaili, disebut sebagai Fidai, disebut sangat kuat dan heroik dalam memperjuangkan hak-hak mereka melawan penguasa Bani Seljuk dan Dinasti Ilkhanid.

Dengan ketangguhan para fidai tersebut, kawasan Alamut dikenal sebagai “sarang elang”. Dalam konteks perjuangan dan peperangan yang dijalani, nyawa adalah taruhan mereka dengan pilihan sederhana: dibunuh atau membunuh. Mengatakan bahwa dalam upaya tersebut terdapat pembenaran untuk memakai hasish dan hal negatif lainnya, sebagaimana ditunjukkan di atas, adalah hal berlebihan dan tendensius untuk pembusukan sejarah Islam secara umum.

Assassin sebagai bagian dari sejarah lampau dan Assassin’s Creed selaku bagian budaya populer saat ini,bagaimanapun harus dilihat dengan cara pandang kritis.

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.