Jumat, Maret 29, 2024

ASN Pasca Pilkada 2018

Egip Satria Eka Putra
Egip Satria Eka Putra
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Andalas Redaktur Seruan.id

Pasca pilkada 27 Juni kemarin, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 500 kasus pelanggaran netralitas ASN pada penyelenggaraan pilkada serentak 2018. Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menjelaskan, ada tiga daerah dengan kasus ASN tidak netral terbanyak. Ketiga daerah tersebut adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. Di Sulawesi Selatan terdapat 32 kasus dan di Sumatera Utara terdapat 31 kasus dan sisanya tersebar di daerah lainnya (TEMPO.CO, 26 Juni 2018).

Selain itu, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga menemukan dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada 2018. Peneliti KPPOD Aisyah Nurul mengatakan dugaan pelanggaran ditemukan di semua wilayah tersebut. Terdapat dua bentuk pelanggaran berbeda yang ditemukan yaitu adanya “politisasi birokrasi” dan “birokrasi berpolitik” (TEMPO.CO, 24 Juni 2018).

Dari pengaduan pelanggaran netralitas yang diterima Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), sebanyak 80 orang ASN terlibat aktif dalam politik praktis di lima lokasi penelitian. Mayoritas dari mereka diketahui berkampanye di media sosial, ikut deklarasi dan ikut kampanye (TEMPO.CO, 24 Juni 2018).

Politisasi birokrasi kerap dilakukan incumbent maupun tim sukses untuk mengintervensi birokrasi melalui program, kegiatan, dan mobilisasi ASN. Salah satunya melalui penempatan jabatan seperti mutasi, demosi, dan promosi. Bentuk politisasi birokrasi lain yang sering digunakan adalah pemanfaatan program dan anggaran. Penggunaan dana publik melalui dana hibah dan bantuan sosial kerap dimanfaatkan incumbent untuk kampanye.

Pelanggaran netralitas ASN yang lain adalah berbentuk birokrasi berpolitik. Ada perilaku ASN yang kerap memiliki motif politik dengan kandidat kepala daerah. Biasanya, ASN ingin mencapai jabatan tertentu atau mempertahankan posisinya yang sudah strategis.

Dari fakta dan data diatas tentunya sangat kita sesali bersama bahwa ternyata ASN tidak lepas dari pelanggaran netralitas dalam pilkada tahun 2018 ini. Padahal, hal itu tidaklah dibenarkan dilakukan oleh ASN. Karena ASN merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. ASN merupakan orang yang bekerja untuk negara dan digaji oleh negara untuk memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.

Padahal Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) diakhir Desember 2017 yang lalu, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, Pileg 2019 dan Pilpres 2019.

Salah satu poin pokok yang dijabarkan dalam SE Menpan RB ini adalah Pasal 11 huruf c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal etika terhadap diri sendiri, PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan“.

Dalam surat edaran tersebut setidaknya ada tujuh bentuk larangan bagi ASN yang coba dikonstruksi oleh Pemerintah berdasarkan PP 42 tahun 2004 tersebut. Pertama, melakukan pendekatan kepada Partai Politik (Parpol) terkait rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon. Kedua, memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain. Ketiga, mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon.

Keempat, menghadiri deklarasi bakal pasangan calon, dengan atau tanpa atribut. Kelima, mengunggah foto atau menanggapi (like, share, komentar dan sejenisnya) semua hal yang terkait dengan pasangan calon di media online dan media sosial. Keenam, berfoto bersama dengan pasangan calon. Dan ketujuh, menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan parpol.

Maka dari itu, ASN harusnya bersih dari keterlibatan politik praktis. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN yang menyatakan bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik

Banyaknya pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN menurut penulis diakibatkan oleh  kondisi ASN yang berada di posisi yang sulit pada setiap pilkada. Dimana tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada secara langsung menempatkan ASN pada posisi yang sulit dan dilematis. Para ASN seperti  memakan buah simalakama.

Di satu sisi, mereka punya hak pilih. Sementara di sisi lain mereka tidak diperbolehkan mendukung pasangan calon manapun. Jangankan mendukung berfoto saja tidak boleh. Mereka dituntut untuk netral. Segala gerak-gerik mereka, baik lisan maupun tulisan, diawasi. Dan bagi ASN yang melanggar akan diberikan sanksi.

ASN dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pilihan mereka ada dua, mempertahankan netralitas atau ikut turut terlibat di pilkada. Keduanya punya resiko yang tidak mudah. Namun, karena perjalanan karir mereka amat ditentukan oleh pemenang pilkada. ASN mau tidak mau mesti memilih salah satu paslon.

Netral bukanlah pilihan yang menguntungkan. Sementara keberpihakan menjanjikan kelangsungan atau kenaikan pangkat. Maka dari itulah, sudah menjadi rahasia umum jika ASN nekat menjadi tim sukses “siluman”, tidak tampak dipermukaan, tetapi nyata dalam pergerakan. Mereka aktif terlibat dibelakang layar. Namun, tidak sedikit juga ASN yang terlibat politik secara terang-terangan dipermukaan.

Maka, sesuai dengan amanat yang tertuang dalam dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, PP No. 42 Tahun 2004 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik pegawai negeri sipil, serta PP No. 53 Tahun 2010 tentang peraturan disiplin pegawai negeri sipil. Bagi ASN yang melanggar diatas maka akan dikenakan sanksi berupa sanksi moral dan sanksi administrasi.

Sanksi moral berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka. Sanksi moral ini dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh pejabat pembina kepegawaian. Sanksi moral ini bisa jadi tidak begitu diperhitungkan. Tetapi tindakan administratif setidaknya bisa membuat ASN jera dan menyesali kesalahannya. Tindakan administratif berupa hukuman disiplin tingkat sedang atau berat.

Hukuman disiplin tingkat sedang dapat berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun; penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun; penurunan pangkat setingkat lebih lebih rendah selama satu tahun. Sedangkan, hukuman disiplin tingkat berat seperti; penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat  lebih rendah; pembebasan dari jabatan; bahkan ASN dapat pula diberhentikan sebagai ASN.

Maka dari itu penulis berharap bahwa bagi setiap ASN yang melakukan pelanggaran selama pilkada 2018 ini benar-benar dapat ditindak secara tegas dan adil sesuai aturan yang berlaku. Diberikan sanksi yang tegas sesuai jenis dan tingkatan pelanggaran yang dilakukannya. Agar dapat menjadi pelajaran bagi dirinya dan bagi ASN lainnya sehingga tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Dengan begitu kita berharap dan menginginkan agar kedepannya ASN dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan semestinya dan dengan sebaik-baiknya.

Egip Satria Eka Putra
Egip Satria Eka Putra
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Andalas Redaktur Seruan.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.