Perhelatan ajang olahraga terbesar se-Asia, Asian Games 2018 sudah dimulai. Euforia jelang Asian Games 2018 bahkan terasa hingga pelosok negeri. Ajang yang berlangsung 18 Agustus–2 September tersebut memperlombakan 40 cabang olahraga. Dan sejumlah 45 anggota Dewan Olimpiade Asia akan berpatisipasi dalam ajang ini.
Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah jauh-jauh hari sudah disibukkan dengan pembangunan. Penunjukan Indonesia dilatarbelakangi oleh ketidaksiapan Vietnam menjadi tuan rumah. Ini adalah kali kedua Indonesia menjadi tuan rumah setelah Asian Games IV di Jakarta pada 1962 silam.
Jakarta dan Palembang menjadi kota yang paling sibuk mempersiapkan Asian Games 2018. Sejumlah venua, wisma atlet, serta fasilitas penunjang dibangun sedemikian rupa. Untuk itu pemerintah membentuk Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC) sebagai panitia pelaksana.
Bukan main tanggung jawab yang diemban INASGOC. Dilansir dari laman resmi Asian Gamas 2018, INASGOC bertanggung jawab sebagai panitia pelaksana yang akan menyusun rencana, menyiapkan dan menyelenggarakan Asian Games 2018.
Namun, sudah siapkah kita menjadi tuan rumah yang baik? Solusi pelik sempat dimunculkan Pemprov DKI dengan menutupi Kali Item menggunakan jaring. Penutupan tersebut dimaksudkan untuk menetralisir bau tak sedap serta mengalihkan pandangan. Haa! Begitulah reaksi warganet seketika mendengar wacana Pemprov DKI.
Dunia maya sontak ramai dengan pemberitaan tersebut. Pemprov DKI dikritik habis-habisan. Di kepala Pemprov DKI, penutupan memakai jaring hitam dianggap pilihan tepat mengingat ajang Asian Games 2018 sudah di depan mata. Jadi tak ada jalan cepat lain. Begitu…
Namun, solusi tersebut tampak konyol. Malahan menunjukan bahwa kita sebagai tuan rumah belum benar-benar siap menyambut tamu dari luar. Menutup kali yang mengeluarkan bau tak sedap sama saja dengan menyembunyikan kotoran kucing di balik karpet. Toh, baunya juga masih kecium.
Hingga hitungan hari jelang pembukaan pun, kita masih disibukan dengan pembangunan fasilitas pendukung. Untuk mempercantik area Asian Games tembok hingga trotoar di cat warna-warni. Masyarakat ikut senang, tapi sebagian lagi merasa terganggu.
Jangan sampai untuk terlihat mewah dan indah kita melupakan keselamatan para tamu agung itu. Cantik saja tak cukup bila esensi dari tuan rumah luput diperhatikan.
Sebagaimana Indonesia ketika menjadi tuan rumah, maka kritik pedas sering ditujukan kepada pemerintah. Indonesia dianggap tidak siap menjadi tuan rumah dampak dari persiapan yang kurang matang, masalah dana, hingga keterlambatan pembangunan tadi.
Lalu, berapa anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pembangunan Asian Games 2018?
Untuk merenovasi kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) setidaknya menelan dana 2,8 triliun. Renovasi tersebut meliputi stadion, arena aquatic, lapangan hoki, panahan, lapangan sepakbola A,B,C, tenis indoor, dan tenis outdoor.
Indonesia juga turut membangun beberapa venue seperti Veledrome Rawamangun untuk cabor balap sepeda. Pembangunan Veledrome Rawamangun menghabiskan dana 665 miliar. Dan digadang-gadang menjadi yang terbaik di Asia Tenggara. Sedangkan pembangunan Pacuan Kuda di Pulomas menelan dana 417 miliar.
Masih di Jakarta, untuk menampung peserta Asian Games 2018, Indonesia membangun Wisma Atlet di Kemayoran. Wisma atlet tersebut terbagi menjadi dua blok. Blok D10 memiliki 5.494 unit dan blok C2 memiliki 1.932 unit. Total ada 7.246 unit dengan menghabiskan dana 3,4 triliun.
Mendekati pembukaan Asian Games 2018 pun beberapa vaneu belum rampung. Keterlambatan pembangunan venue squash, jetski, dan layar, misalnya. Ketiga venue tersebut terus dikebut.
Uang yang telah dikeluarkan pemerintah jelas bukan main banyaknya. Dan semuanya tidak bisa kembali begitu saja. Butuh waktu, setidaknya untuk mengembalikan. Sebab pemerintah sendiri memang merencanakan keuntungan jangka panjang dari alasan menjadi tuan rumah.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional mengatakan, dari Asian Games tersebut akan meningkatkan kebanggaan Indonesia, meningkatkan kohesi sosial, mendorong masyarakat untuk berolahraga dan untuk meningkatkan profil Indonesia di mata dunia.
Sebagai tuan rumah, Indonesia sepatutnya berkaca pada gelaran Piala Dunia 2014. FIFA menyebutnya dengan Piala Dunia paling berisiko. Pembangunan infrastruktur seperti stadion mengalami keterlambatan. Dampaknya banyak korban berjatuhan disebabakan dari “sistem kebut” pada pembangunan jelang Piala Dunia 2014.
Tak sedikit anggaran dana yang dikeluarkan Brasil untuk membangun stadion. Menurut Financial Times, Brasil menghabiskan sekitar 50 triliun untuk membangun stadion dari 163 triliun anggaran penyelenggaraan Piala Dunia 2014.
Masalah berlanjut. Stadion serta infrastruktur mewah yang dibanggun kini beberapa mangkrak. Stadion yang dibangun dengan dana triliunan sebagian bernasib naas.
Stadion Mane Garrincha yang menelan biaya 7 triliun—dan menjadi stadi0n termegah sepanjang pergelaran Piala Dunia 2014 kini nasibnya menyedihkan. Stadion Mane Garrincha berubah fungsi menjadi parkiran bus.
Stadion lain tak jauh beda. Ada yang disewa untuk menghelat acara pernikahan, bahkan ada yang lebih buruk; dirobohkan.
Mahalnya biaya sewa stadion bisa jadi alasan klub di Brasil enggan memakai. Faktor lain bisa disebabkan oleh rancangan yang tak jelas dari pembangunan stadion. Aspek-aspek keselamatan, fasilitas pendukung, dan kenyamanan luput.
Maka perlu adanya rancangan pembangunan berkelanjutan agar uang yang dipakai tak terbuang sia-sia. Dan fasilitas bisa dimanfaatkan massal.
Masalah tersebut juga lah yang membayangi Indonesia sebagai tuan rumah. Pasca Asian Games nanti bagaimana pula nasib stadion beserta fasilitas yang sudah dibangun?
Semoga saja tak semuram Brasil. Setidaknya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan atlet Indonesia. Jadi nggak usah lah jauh-jauh terbang ke luar negeri untuk berlatih. Toh, di negara sendiri fasilitas sudah mumpuni.
Sekarang, kita sibuk membangun. Entahlah kalau besok.