Minangkabau, tak ada habisnya untuk dibahas. Baik etnis maupun daerahnya telah memberikan aksen warna tersendiri pada atmosfer keberagaman di negara Indonesia yang kita cintai ini. Indonesia, jelas berhutang besar pada urang awak (sebutan untuk etnis Minang).
Tanpa mereka, Indonesia bukan hanya tidak berhasil merdeka, namun juga tak akan tumbuh menjadi Indonesia yang kita kenal sekarang. Merekalah penyemai benih sekaligus pemelihara pohon bernama Indonesia di awal-awal masa mudanya.
Sebut saja nama-nama legendaris seperti Proklamator Muhammad Hatta, Perdana Menteri Muhammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, Buya Hamka, Hajah Rangkayo Rasuna Said dan Muhammad Yamin.
Tak hanya itu, elemen Minangkabau telah akrab dalam keseharian kita, dalam wujud Restoran Padang. Jika restoran cepat saji seperti McDonald dan Burger King yang merajai negeri Paman Sam, maka di sini, Restoran Padang yang jadi juaranya.
Sebut saja nama Restoran Padang yang akrab di mata dan lidah kita seperti Sari Bundo, Sederhana, Simpang Raya, Awak Juo, Mato Aie, Salero Bagindo, dan masih banyak lagi.
Terbukti, saat kita mengunjungi Restoran Padang yang didirikan oleh para perantau Minang dan menghibur lidah dengan menyantap Rendang, Itiak Lado Mudo, Taruang Balado, Gulai Cancang, dan Ayam Pop, terlepas dari etnis, suku, ataupun tempat kelahiran, sulit untuk tidak merasakan kepuasan sembari mengucapkan ‘Lamak Bana! Tambuah Ciek!‘.
Namun, ada satu misteri besar jika kita membicarakan suku Minangkabau. Sesuatu yang sangat berbeda dari suku lain di Indonesia, yaitu matrilinealisme. Kita sering mendengar orang-orang memperbincangkan mengenai keluarga Minang yang dihitung dari garis keturunan ibu, dan warisan pun diturunkan kepada para perempuan.
Menurut Prof.Dr. Amri Mazali, Antropolog UI kelahiran Silungkang :“Adaik jo budayo di Minangkabau manampekkan pihak padusi batindak sabagai pawaris harato pusako jo kakarabaikan. Garih katurunan dirujuak pado ibu nan dikana sabagai Samande (sa-ibu), sadangkan ayah mareka disabuik dek masyarakaik jo namo Sumando jo dipalakukan sabagai tamu dalam keluarga.
Kaum padusi di Minangkabau mampunyoi kaduduakan nan istimewa sahinggo dijuluaki jo Bundo Kanduang, nan mamainkan paranan dalam manantukan kabarhasilan palaksanoan kaputuihan-kaputuihan nan dibuek dek kaum laki-laki dalam posisi mareka sabagai mamak (saudaro dari pihak ibu), jo pangulu (kapalo suku). Pangaruah nan gadang tasabuik manjadikan padusi Minang disimbolkan sabagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utamo rumah)”.
Dari penuturan Prof. Amri Mazali tersebut, kita bisa menyimpulkan bagaimana sistem Matrilineal bekerja. Namun, satu pertanyaan yang selalu menggelayut di benak kita? bagaimana sistem ini bermula? mengapa Urang Awak berbeda sendiri dibanding suku-suku lain di Nusantara yang menempatkan lelaki diatas perempuan, dalam banyak aspek kehidupan.
Jika kita melakukan komparasi, selain Minangkabau, suku-suku lain di Asia yang masih menganut Matrilinealisme adalah suku Khasi di India, suku Mosu dari rumpun Tibet di Cina, suku Karenni di Myanmar; dan Urang Awak di Negeri Sembilan.
Kebanyakan orang dewasa ini, berspekulasi bahwa Matrilinealisme bersumber dari India, mengingat pengaruh India yang cukup kuat di Minangkabau, misalnya dalam hal masakan yang berbumbu rempah seperti kari. Satu aspek yang jarang dilihat adalah bahasa dan asal usul Urang Awak sendiri.
Bahasa Minang, sebagaimana bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bali, Batak, Dayak, Bugis bahkan Polinesia, Hawaii, Tagalog dan Madagaskar termasuk rumpun Austronesia. Rumpun Bahasa yang meliputi lautan, sepanjang setengah bola dunia. Dimanakah kampung halaman suku Austronesia?
Peter Bellwood, Professor Antropologi dari Australian National University berargumen bahwa suku Austronesia pertama terbentuk di Teluk Hangzhou di Jiangnan, China, dimana disana terdapat situs bekas Rumah Panjang yang sangat mirip dengan rumah adat suku Dayak di Kalimantan.
Kemudian, karena banjir, mereka bermigrasi ke pulau Taiwan, disanalah terjadinya formasi budaya serta bahasa Austronesia sebelum mereka melanjutkan bermigrasi ke Nusantara dan Polinesia.
Pertanyaannya, apakah suku Austronesia pada zaman itu, menganut Patrilinealisme atau Matrilinealisme? Jika kita membaca hasil penemuan tim arkeologis Cina, seperti ‘Zhejiang Yuyao Hemudu Xinshiqi Shidai Yizhi yu Quanxinshi Haimian de Bianhua dan ‘Hemudu Yizhi Taoqi de Yanjiu’, disebutkan bahwa suku Austronesia di Teluk Hangzhou pada awalnya menganut matrilinealisme di sekitaran medio 5500 SM, perempuan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pria, namun perlahan-lahan, kira-kira sekitar 4000 SM, kaum adam mulai membalikkan keadaan.
Setelah Teluk Hangzhou terkena banjir dan suku Austronesia pindah ke Taiwan dan mengambil cara hidup yang mirip seperti masyarakat Dayak dan Mentawai: berburu, mengayau, mengukir tato dan memuja roh, otomatis peranan kaum pria meningkat, namun tak semua suku setuju pada transformasi tersebut, terdapat beberapa sub-suku Austronesia yang masih setia pada Matrilinealisme.
Bukti dari eksistensi suku tersebut dapat kita baca di Naskah-naskah Sinkan yang diantaranya memuat kesaksian seorang Misionaris Jerman asal Kekaisaran Romawi Suci yang bekerja pada Kongsi Dagang Hindia Belanda atau VOC, bernama Georg Candidius. Selama menyebarkan Firman Tuhan di pulau Taiwan, yang waktu itu dikuasai VOC, ia berinteraksi dengan sebuah suku bernama Siraya.
Menurut penuturan Candidius, di desa berpenduduk 3000 orang tersebut, menganut sistem yang sama seperti yang diterapkan di Minangkabau hingga saat ini, yakni ‘Duolokalitas’. Sistem itu mengharuskan seorang pria menjalankan fungsi ekonomi pada siang hari di kampuang sendiri dan menginap di rumah atau kampuang istri pada malam hari.
Konsesi demikian, disebabkan oleh ‘Matrilinieal Puzzle’ sebagai efek bentrokan antara pernikahan eksogami dimana pria harus mengabdi pada istri (matrilokal) namun terikat pula kewajiban pada keluarga asal.
Karenanya, ada sebuah anekdot : “Jika ingin mencari lelaki Minang di siang hari, carilah di rumah gadang ibunya, ke lapau atau ke sawah. Namun di malam hari, pergilah ke rumah gadang istrinya”.
Selain itu terdapat pula kemiripan, walau tak sama persis, dalam hal distribusi pekerjaan antara lelaki dengan perempuan dengan masyarakat Minangkabau. Suku Siraya, memberikan hak keagamaan dan pertanian.
Sedangkan laki-laki mendapat tugas berburu, berperang, dan mengambil keputusan.Suku lain di Taiwan yang menganut Matrilinealisme dan Matrilokalitas pernikahan adalah suku Pangcah.
Mereka menyebut kepindahan suami ke rumah (loma) istri sebagai ‘marininaay’. Dimana, di loma istri, ibu (ina) dari sang istrilah yang berkuasa. Selain itu tentunya, garis keturunan atau Raloma’an, ditarik dari pihak wanita.
Dewasa ini, kuasa kaum hawa sudah sedemikian lunturnya diantara suku-suku Austronesia di ‘kampuang kito’, Taiwan. Penjajahan bangsa Cina dan Jepang yang patriarkis ke pulau Taiwan, menggerus tradisi yang sudah ada sejak 5000 SM. Namun ternyata, jauah di mato, kerabat mereka, suku Minang secara sukses berhasil eksis lebih lama mempertahankan nilai-nilai tersebut.