Jumat, Maret 29, 2024

Arya Wiraraja dan Kejayaan Majapahit

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis

Salah satu tokoh utama dalam situasi krisis dan pendirian awal Kerajaan Majapahit adalah Arya Wiraraja. Ia merupakan tokoh kontroversial yang sulit dimengerti cita-cita perjuangannya; lebih banyak bermanuver  politik sebagaimana para politisi sekarang yang begitu getol untuk dapat menjadi bagian dari kekuasaan atau sebisa mungkin merebut kekuasaan itu untuk dirinya sendiri.

Pada masa Kertanagara berkuasa, Arya Wiraraja tersingkir dari pusat kuasa; dan ditempatkan sebagai raja bawahan di Madura sebagai akibat dari penentangannya terhadap politik luar negeri Kertanagara.

Untuk kembali menjadi bagian dari kekuasaan Singhasari, ia pun menghasut raja bawahan lainnya yaitu Jayakatwang dari Gelang-Gelang untuk melakukan pemberontakan dan menggulingkan Kertanagara.

Begitu melihat bahwa Jayakatwang tidak bermasa depan akibat lolosnya Dyah Wijaya, salah satu pangeran Singhasari yang utama dari ladang pembantaian tentara Gelang-Gelang, ia pun memunggungi Jayakatwang dan menjadi pendukung utama Dyah Wijaya dalam merebut kembali kekuasaan dengan perjanjian yang lebih menguntungkan Arya Wiraraja bahwa kelak bila kemenangan ada di pihak Dyah Wijaya kerajaan akan dibagi rata berdua.

Begitu kemenangan sudah dicapai dan Majapahit sudah berdiri, tampak bahwa ada ketidakpuasan dalam diri Arya Wiraraja karena ternyata Kerajaan Majapahit yang sudah menang itu tidak segera dibelah menjadi dua sebagaimana Mpu Bharada membelah negeri warisan Airlangga: Janggala dan Panjalu. Arya Wiraraja seakan dipaksa menjadi bagian dari negara kesatuan Majapahit. Dengan begitu Arya Wiraraja tetaplah seorang bawahan di negeri yang baru berdiri bukan menjadi raja sebagaimana harapannya.

Tak lama sesudah penobatan Dyah Wijaya sebagai Raja Majapahit, meletuslah pemberontakan Ronggo Lawe, salah seorang puteranya, yang gagal dan menemui ajal. Apakah ada otak dan hati Arya Wiraraja dalam pemberontakan Ronggo Lawe yang gagal mengingat peran menghasut Arya Wiraraja dalam penggulingan Kertanagara dahulu?

Penggulingan Kertanagara pada dasarnya adalah sabotase politik luar negeri yang hendak dilaksanakan yang membuat pelaksanaannya menjadi tertunda dan baru terlaksana 50 tahun kemudian pada saat cucu Kertanagara yaitu Tribuwana berkuasa.

Dengan gagalnya pemberontakan Ronggo Lawe, Arya Wiraraja tanpa sungkan lagi menagih janji Dyah Wijaya di masa perjuangan dahulu bahwa hendaknya Kerajaan Majapahit di belah menjadi dua; yang tentu saja politik membelah negara menjadi dua bagian ini bertentangan dengan cakrawala politik Kertanagara sebab justru akan membuat kerajaan menjadi lemah ketika berhadapan dengan intervensi atau ancaman negeri asing (seperti Mongol dan Dinasti Ming, nantinya)  dan membuat Jawa hanya berkutat pada persoalan sempit di dalam negeri sebagaimana telah ditunjukkan Janggala vs Panjalu pasca pembelahan kerajaan Airlangga.

Akan tetapi Dyah Wijaya tak hendak mengingkari janji pada orang yang telah mengkhianati Raja Kertanagara tetapi sekaligus juga membantu dirinya kembali menduduki takhta “Singasari”. Ia pun memenuhi tuntutan Arya Wiraraja: membelah Majapahit dengan menyerahkan wilayah Majapahit bagian timur yang kemudian dikenal sebagai Lamajang Tigang Juru kepada Arya Wiraraja sebagai kerajaan merdeka.

Rupanya penyerahan Dyah Wijaya ini seakan berbunyi sebagaimana para salesman jaman sekarang menjual produk: syarat dan ketentuan berlaku yaitu “Majapahit Timur” tidak diserahkan secara turun temurun.

Begitu Arya Wiraraja meninggal, Lamajang Tigang Juru itu pun diambil-alih kembali oleh Raja Jayanegara, penerus Dyah Wijaya, yang pada tahun 1312 M di Purva Patapan meneguhkan kembali cita-cita Kertanagara untuk menyatukan Nusantara. Nambi yang dianggap juga sebagai salah satu putra Arya Wiraraja pun tak diberi kesempatan untuk membangun kembali bekas kerajaan ayahnya. Ia dan pengikutnya dihancurkan pada tahun 1316 M.

Majapahit yang di awal pendirian hingga Raja Jayanegara begitu kisruh, ruwet dan penuh pemberontakan itu terus berbenah dan semakin kuat. Kekisruhan dan keruwetan itu sejauh kita bisa membaca dari sumber-sumber yang ada tampak berpusat pada tokoh kontroversial: Arya Wiraraja.

Apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan Arya Wiraraja sulit dimengerti kecuali bahwa ia seakan hanya memburu kuasa untuk dirinya sendiri. George Coedes menulis tentang Arya Wiraraja yang meninggal dua tahun sesudah penobatan Jayanagara sebagai “..si tua Wiraraja yang menyebabkan sekian banyak kesulitan kepada pendahulu-pendahulunya.”

Sementara itu di bawah Raja Jayanegara (meninggal tahun 1328 M), yang dianggap lemah, politik luar negeri tetap dibangun terutama dengan bekas musuh: Dinasti Yuan, dikirimkan beberapa kali utusan untuk menjaga perdamaian dan barangkali juga kesepakatan-kesepakatan lainnya dalam bidang perdagangan.

Jayanegara pun banyak mendirikan bangunan di kompleks candi Penataran. Sekitar tahun 1322 M, seorang missionaris Eropa: Frater Odoric yang mampir ke Istana Majapahit begitu terkesan akan kemegahan dan kemewahannya.

Kejayaan Majapahit itu masih terus berlangsung di bawah Raja Hayam Wuruk yang naik takhta pada 1351-1389 M. Pada jalan menuju puncak kemegahan Majapahit itu nama Arya Wiraraja yang berperan di awal pendirian Majapahit itu seakan sudah dilupakan tetapi nama Kertanagara yang dikhianatinya selalu hadir mengiringi sebagaimana dicatat dengan apik dalam Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1365 M.

Buku Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru, Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur, karya Mansur Hidayat, terbitan Pustaka Larasan, 2013,  seakan memberi catatan kaki bagi peran Arya Wiraraja yang terlupakan atau ditinggalkan dalam perjalanan sejarah Majapahit menuju puncak. Tetapi peran yang menonjol dari Arya Wiraraja dalam buku ini tampak tetap yaitu sebagai pengganggu stabilitas politik Singhasari-Majapahit.

Buku ini baik dibaca dan setidaknya memberikan catatan keberadaan  Kerajaan Lamajang Tigang Juru serta pergolakan yang terjadi dan jawaban atas pertanyaan mengapa paregreg (perang saudara) yang memperlemah Majapahit harus terjadi dan tidak bisa dihentikan  hingga masing-masing berusaha mencari dukungan dari negara asing yang akhirnya membuat Majapahit lenyap dari muka bumi.

Ia bisa menjadi cerminan bagi Indonesia kini yang seakan karena kekecewaan yang menumpuk terhadap jalannya kuasa yang tidak segera memberikan keadilan dan kemakmuran, dan beragam tinggalan pelanggaran Hak Asasi Manusia sejak tahun 1965, dapat menumbuhkan pikiran paregreg dalam arti keterbelahan sebagai satu bangsa sebab ada warga negara yang diakui penuh sebagai warganegara sementara itu ada juga warga negara yang seakan menjadi paria di negeri sendiri;….yang membuat Indonesia lenyap dari muka bumi sebagaimana Majapahit yang pernah besar nan jaya.

AJ Susmana
AJ Susmana
Penulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.