Minggu, Desember 8, 2024

Argumen Islam Menentang Tradisi Poligami

Amirullah
Amirullah
Aktifis Muda Muhammadiyah dan Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarifhidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Ada humor yang mengatakan, “sejarah poligami adalah sejarah umat manusia.” Hal ini disebabkan karena di setiap masa sejak zaman dunia kuno kebiasaan poligami tidak pernah hilang.

Sebagai contoh, pada zaman dahulu, laki-laki Kristen diperbolehkan mempunyai istri sebanyak yang mereka mau karena Injil tidak membatasi jumlah istri. Baru beberapa abad lalu Gereja membatasi jumlah istri menjadi satu saja. Demikian pula kebanyakan tokoh religius Hindu, menurut kitab mereka, punya istri banyak. Raja Dasarata, ayah Rama, punya lebih dari satu istri. Krisna punya beberapa istri.

Kemudian dalam agama Yahudi, menurut Hukum Talmud, Abraham mempunyai tiga istri dan Solmo punya ratusan istri. Praktik poligini berlangsung hingga rabi Gershom ben Yehudah (960-1030 M) mengeluarkan peraturan melarang hal itu. Belum lagi diceritakan dalam Kitab Taurat bahwa Nabi Dawud memiliki 99 istri dan menggenapkannya menjadi 100 dengan menikahi istri panglima perangnya, Yoriya.

Begitu pula dengan Nabi Sulaiman. Ia memiliki 700 istri dari kalangan perempuan merdeka dan 300 istri dari kalangan sahaya. Sudah menjadi tradisi, utamanya dalam sejarah raja-raja, memperbanyak istri baik yang sah maupun yang tidak adalah hal yang biasa, bahkan Kaisar Kanxi (1654-1722) dari Dinasti Qing di China memiliki istri atau selir hingga 3.000 orang. Apakah tradisi poligami sudah menjadi darah daging sejarah?

Argumen Islam Menentang Tradisi Poligami

Islam pada dasarnya menentang tradisi poligami yang telah berjalan berabad-abad lamanya, khususnya yang berkembang dalam kebiasaan masyarakat Arab saat itu. Bahkan seorang cendekiawan muslim asal India, Zakir Abdul Karim Naik menilai tak satu pun dalam kitab-kitab lain membatasi jumlah istri menjadi satu saja selain Alquran satu-satunya kitab suci yang mencantumkan frasa “nikahi satu saja.”

Argumen Islam melalui Firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129 cukup jelas menentang tradisi poligami yang telah mendarah daging dalam rentang sejarah manusia jauh sebelum Islam datang, utamanya yang berkembang di Jazirah Arab. Pada Surat An-Nisa ayat 3 Allah menganjurkan untuk “nikahi satu saja.” Karena dengan demikian kita bisa terhindar dari berbuat aniaya.

Dalam ayat tersebut Allah mengatakan: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3)

Syarat harus “adil” yang diajukan Allah dalam ayat di atas tidak cukup mudah untuk diimplementasikan. Sementara dalam An-Nisa ayat 129, Allah secara terang menggigatkan kepada yang ingin atau telah berpoligami bahwa mereka tidak akan bisa berlaku adil di antara isteri-isteri mereka sekalipun mereka sangat ingin berbuat adil.

Adapun bunyi ayat tersebut: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 129)

Jadi cukup jelas, Islam menentang tradisi poligami. Namun demikian, Islam memberi ruang membolehkan untuk bisa menikahi dua, tiga atau empat istri dengan suatu pengecualiaan. Artinya, poligami termasuk dalam kategori dibolehkan (mubah) dengan suatu syarat dan pengecualian, bukan sunnah apalagi wajib. Poligami dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan.

- Advertisement -

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, perempuan lebih banyak 7,8 juta dibanding laki-laki. Di AS secara keseluruhan ada dua puluh lima juta homoseksual. Artinya, laki-laki sebanyak itu tidak berminat menikah dengan perempuan. Apabila setiap laki-laki menikah dengan seorang perempuan, akan tetap ada 30 juta perempuan di AS yang tidak akan mendapat suami. (lihat Zakir Abdul Karim Naik: Mereka Bertanya Islam Menjawab, Aqwam 2013).

Jika perempuan tidak menikah yang tinggal di AS maka hanya ada dua pilihan untuknya, yaitu menikah dengan laki-laki yang sudah beristeri atau menjadi “milik umum”. Dalam hal ini, Islam memilih memberi posisi terhormat dengan mengizinkan opsi pertama dan tidak mengizinkan yang kedua sebagaimana yang berkembang di Barat demi melindungi dan menjaga kehormatan serta harkat dan martabat perempuan. Ruang pengecualiaan dengan syarat harus “adil” ini menandakan fleksibilitas atau elastisitas ajaran Islam untuk menjawab segala kemungkinan dalam kehidupan manusia.

Poligami juga dapat dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan pada anak yatim dan janda korban perang serta misi dakwah sebagaimana Nabi menikahi beberapa wanita pasca 2 tahun Khadijah wafat. Khadijah adalah istri tunggal nabi yang bahtera rumah tangganya berlangsung selama 28 tahun.

Poligami dalam Konteks Indonesia 

Soal poligami, negara telah mengaturnya lewat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU tersebut menyebutkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila mendapat persetujuan istri pertama.

Syarat-syarat untuk bisa berpoligami dalam UU tersebut cukup ketat. Kondisi sang istri yang dipoligami harus memenuhi tiga syarat berdasarkan Pasal 4, yaitu tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Jikapun syarat ini terpenuhi, Dalam pasal 5 menyebutkan bahwa suami harus mampu menjamin keperluan hidup semua istri dan anak-anaknya dan bisa berlaku adil.

Masalahnya dalam banyak kasus, poligami di Indonesia seolah menjadi “life style”. Sudah punya istri yang cantik, mau tambah yang lebih muda dan cantik lagi, sudah ada istri yang memberikan keturunan, maunya yang lebih milineal dan keren lagi, begitu seterusnya.

Padahal jika tunduk kepada perintah UU dan agama, peluang untuk berpoligami sangatlah kecil. Akhirnya muncullah poligami yang “dipaksakan” dengan berlindung di bawah alasan-alasan agama yang diinterpretasi secara keliru. Akibatnya, poligami yang “dipaksakan” ini menimbulkan perceraian dan “perbuatan aniaya” sebagaimana Allah sebutkan di akhir Surah An-Nisa ayat 3 itu.

Hal inilah banyak terjadi dalam konteks Indonesia, setidaknya terkonfirmasi dari data dan laporan beberapa hasil riset yang telah dilakukan. Misalnya, hasil riset terhadap 107 istri yang dipoligami, menyebutkan bahwa 37 responden tidak diberi nafkah, 23 ditinggalkan, 21 mendapat tekanan psikis, 11 menjalani pisah ranjang, 7 penganiayaan fisik, 6 diceraikan suaminya, dan 2 responden mengaku mendapat teror dari istri kedua. (sumber: data LBH APIK). Kemudian data Pengadilan Agama dan dicatat oleh Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan bahwa pada 2015 ada 7.476 kasus perceraian akibat poligami yang tidak sehat. Wallahu’alam.

Amirullah
Amirullah
Aktifis Muda Muhammadiyah dan Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarifhidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.