Kamis, Agustus 14, 2025

Arah Polugri Presiden Prabowo terhadap Isu Timur Tengah

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence
- Advertisement -

Pasca terpilihnya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029, babak baru Presiden Prabowo Subianto dalam menavigasi politik luar negeri Indonesia di tengah dinamika global yang semakin kompleks. Berlatarbelakang militer dan pendekatan realis memberikan warna tersendiri dalam merumuskan kebijakan luar negeri.

Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara dan Anggota aktif G20—Indonesia mempunyai peran strategis dalam percaturan politik global. Meskipun kawasan yang menjadi ujian penting bagi politik luar negeri era Prabowo adalah Timur Tengah—kawasan yang sarat dengan kepen tingan strategis, krisis kemanusiaan dan relasi historis kuat dengan Indonesia.

Timur Tengah: Kawasan Strategis Politik Luar Negeri Indonesia

Secara historis dan emosional—Indonesia mempunyai hubungan erat dengan Timur Tengah. Dalam konteks keagamaan, wilayah ini merupakan kiblat spiritual mayoritas rakyat Indonesia. Sejarah diplomasi, Timur Tengah menjadi mitra utama sejak era kepemimpinan Presiden Sukarno, terutama berjuang bersama melawan kolonialisme-imperialisme. Kini, Timur Tengah menjadi salah satu mitra penting Indonesia dibidang energi, investasi dan tenaga kerja migran.

Kepentingan Indonesia terhadap kawasan Timur Tengah mencakup lima isu utama: 1) dukungan terhadap kemerdekaan Palestina; 2) perlindungan WNI, khususnya pekerja migran; 3) kerjasama energi dan perdagangan; 4) isu keamanan dan perdamaian kawasan; dan 5) kerjasama keislaman dan diplomasi peradaban.

Berbagai latarbelakang tersebut, kebijakan luar negeri Indonesia terhadap kawasan Timur Tengah seyogyanya tidak hanya reaktif, melainkan proaktif dan strategis. Hal ini yang menjadi tantangan utama Presiden Prabowo Subianto sebagai pemimpin dengan karakter militeristik namun membawa narasi “kesejahteraan dan perdamaian.”

Prinsip bebas-aktif yang diwariskan sejak Bung Karno menekankan sikap independen dari blok kekuatan besar serta keterlibatan aktif dalam perdamaian dunia—rentan diuji oleh tarik menarik antara idealisme konstitusional dan pragmatisme politik.

Rekam Jejak dan Visi Prabowo

Selama kampanye Pilpres 2024, Prabowo tidak banyak membahas secara rinci arah kebijakan luar negerinya terhadap kawasan Timur Tengah. Namun dalam berbagai pernyataan dan dokumen visi-misinya, tersirat keinginan untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang “berdaulat, bermartabat dan dihormati di kancah internasional.” Ia menekankan pendekatan “aktif, adaptif dan realistis” dalam politik luar negeri.

Dalam konteks Timur Tengah, pendekatan tersebut dibaca sebagai sikap yang tetap menjunjung prinsip non-intervensi dan netralitas aktif, namun membuka ruang lebih luas untuk kepentingan nasional yang pragmatis—khususnya dalam bidang pertahanan dan ekonomi. Jejak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan mencerminkan keterbukaannya terhadap kerjasama militer dan industri pertahanan dengan negara Timur Tengah—seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Di sisi lain, pendekatan yang terkesan teknokratik dan transaksional dapat mengaburkan posisi moral Indonesia terhadap isu-isu seperti konflik Palestina, intervensi militer di Yaman dan Suriah, ketegangan diplomasi antara Iran dengan negara-negara Teluk. Politik luar negeri Indonesia tidak lepas dari karakter dasarnya sebagai negara yang menjunjung keadilan internasional dan anti-kolonialisme. Ini merupakan warisan Bung Karno yang menjadi roh dari arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.

Jika Prabowo memilih pendekatan yang hati-hati atau pragmatis secara ekonomi semata, maka Indonesia dikhawatirkan kehilangan legitimasi moralnya yang selama ini menjadi kekuatan diplomasi dalam forum internasional.

- Advertisement -

Isu Palestina: Ujian Konsistensi

Palestina menjadi titik ukur konsistensi politik luar negeri Indonesia di Timur Tengah. Perjalanan sejarah diplomasi Indonesia, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina bukan hanya simbolik, melainkan ideologis. Bahkan dalam konstitusi, penolakan terhadap penjajahan merupakan prinsip dasar yang tidak bisa dinegosiasikan. Presiden Sukarno hingga Jokowi secara terbuka mengecam pendudukan Israel dan mendukung solusi dua negara berdasarkan prinsip keadilan.

Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menyampaikan dukungannya terhadap Palestina. Namun tantangannya bukan sekadar retorika, melainkan dalam posisi diplomatik konkret, terutama di forum internasional. Sebagai kepala negara ia dihadapkan tantangan lebih besar—terutama tekanan dan mitra strategis seperti Amerika Serikat atau negara-negara Teluk datang untuk meredam sikap kritis Indonesia.

Di saat dunia menghadapi agresi Israel secara brutal terhadap Gaza—yang menjadi perhatian internasional—Indonesia dapat memainkan peran aktif dalam menggalang tekanan diplomatik, mendorong investigasi HAM, dan menginisiasi forum Asia-Afrika atau OKI yangn lebih progresif.

Jika Prabowo hanya mengikuti arus diplomasi moderat tanpa kejelasan sikap terhadap agresor, maka kredibilitas Indonesia sebagai negara berpihak pada keadilan akan dipertanyakan. Ini merupakan ujian moral sekaligus geopolitik bagi pemerintahannya. Oleh karena itu, Indonesia harus berperan sebagai kekuatan moral global—bukan sekadar penengah netral, melainkan pembela keadilan internasional.

Kerjasama Ekonomi vs Kepentingan HAM

Dilema utama dalam politik luar negeri Indonesia terhadap Timur Tengah adalah tarik menarik antara kerjasama ekonomi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi dan UEA merupakan mitra dagang dan investasi besar Indonesia. Disisi lain, mereka menjadi sorotan dalam isu pelanggaran HAM, termasuk perlakuan terhadap pekerja migran.

Prabowo yang cenderung berorientasi pada stabilitas dan efisiensi ekonomi kemungkinan akan mengutamakan diplomasi ekonomi dan pertahanan. Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo menjalin komunikasi intensif dengan para pemimpin kawasan, soal industri pertahanan dan alih teknologi.

Proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) memberikan peluang investasi strategis dari Timur Tengah. Misalnya, UEA menyatakan minatnya dalam pengembangan sektor infrastruktur dan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, penguatan diplomasi ekonomi diarahkan sektor halal, pangan, dan keuangan syariah.

Namun disinilah menjadi tantangan etis: sejauh mana pemerintahan mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dengan komitmen terhadap perlindungan WNI dan HAM?

Sejumlah 1,5 juta WNI bekerja di negara-negara Timur Tengah—khususnya sektor pekerja rumah tangga, perawat dan pekerja konstruksi. Selama ini, kasus kekerasan, eksploitasi, dan minimnya perlindungan hukum terhadap pekerja migran menjadi persoalan krusial.

Isu pekerja migran, seringkali diselesaikan melalui jalur bilateral yang minim transparansi. Prabowo perlu mengembangkan pendekatan diplomasi perlindungan—mengutamakan hak-hak buruh migran perempuan, akses keadilan, dan penguatan representasi diplomatik di kawasan.

Peran Kedutaan Besar RI dan atase tenaga kerja perlu diperkuat, tidak hanya sebagai penghubung administrasi, melainkan pelindung hak-hak dasar para pekerja. Oleh karena itu, menjadi penting agar diplomasi Indonesia tidak hanya mengabdi pada kepentingan elit, melainkan harus menyentuh warga negara dengan lapisan paling bawah.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.