Rabu, Oktober 16, 2024

Arah Baru Pendidikan

Hieronimus Adiyoga
Hieronimus Adiyoga
Mahasiswa non aktivis tapi tidak mau apatis.

Sejak tahun 2015, Pemerintah telah mencanangkan wajib belajar dua belas tahun kepada warga negara dalam memperoleh pendidikan. Artinya, setiap anak yang lahir, yang akan bersekolah maupun yang sedang bersekolah sama-sama memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu sampai setidak-tidaknya menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas ataupun menengah kejuruan atau pendidikan yang setara tingkatannya.

Selebihnya, para siswa dibebaskan untuk langsung terjun ke masyarakat ataupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jika dilihat sekilas, nampaknya kebijakan dua belas tahun wajib belajar ini adalah kebijakan yang baik. Tetapi, kita tetap harus kritis dalam melihat implementasi kebijakan ini di lapangan.

Memang, secara teori, pemerataan pendidikan akan membawa dampak berupa peningkatan kualitas SDM. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan di tingkat menengah sudah terlalu lama menampilkan kegagalannya, baik itu dari segi pengajaran maupun ambruladulnya kurikulum yang diterapkan.

Sejatinya, pendidikan mulai dari tingkat paling dasar sampai tingkat tertinggi haruslah saling mendukung. Ibaratnya, dalam sebuah game, ada setiap stage yang harus ditaklukan untuk benar-benar melangkah ke level berikutnya. Oleh karena itu, pendidikan dari tingkat paling dasar harus benar-benar dikuasai untuk lanjut ke tingkat menengah, begitu pula tingkat menengah harus benar-benar dikuasai sebelum lanjut ke tingkat pendidikan tinggi.

Kemampuan yang didapatkan di sekolah dasar akan digunakan sebagai kemampuan paling dasar untuk diterapkan di tingkat SMP. Operasi perhitungan dasar, sifat distributif, persamaan dasar, sebagai contoh, akan digunakan setiap hari di aljabar tingkat SMP.

Begitu juga di SMP, pengenalan terhadap variabel x dan y akan digunakan setiap harinya di tingkat SMA, dimana siswa mulai mempelajari persamaan garis, persamaan kuadrat, matriks hingga kalkulus.

Demikian pula, diharapkan setelah lulus SMA, siswa memiliki bekal kemampuan matematis dan logika yang cukup untuk memahami ilmu-ilmu di perguruan tinggi yang memang membutuhkan pemahaman logika dan konsep matematika yang baik.

Hal ini dikarenakan pada perguruan tinggi, tidak akan lagi ditemukan pemecahan masalah hanya dengan berdasarkan rumus yang dihafal, melainkan pemahaman konsep yang akan menuntun kita memecahkan permasalahan yang ada, dengan memanfaatkan permodelan matematika yang ada sebagai alat bantu.

Sebagai contoh, dalam keilmuan saya, farmasi, saya menggunakan kalkulus untuk memodelkan nasib obat dalam tubuh. Obat yang telah mengalami proses absorbsi dapat diketahui kuantitasnya dengan membuat permodelan matematika berupa grafik Area Under Curve  dari data cuplikan plasma darah yang diambil setiap waktu tertentu. Dari parameter AUC ini, dapat diketahui pada waktu berapa kadar obat sudah mencapai maksimum dan nilai ketersediaan hayati obat dalam tubuh.

Penguasaan konsep inilah yang menurut pengamatan saya, sangat tidak terlihat di pendidikan kita. Kita mungkin lumrah dengan kasus mencontek, kunci ujian nasional, joki ujian perguruan tinggi dan hal-hal buruk lainnya.

Tetapi perlu kita garis bawahi bahwa hal-hal ini berakar dari paham sesabahwa pendidikan bertujuan untuk mendapatkan nilai dan mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Orang berbondong-bondong mencari nilai, mendaftar sekolah bagus, dan mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak.

Tetapi setelah ‘berhasil’, orang lupa dengan esensi pendidikan itu sendiri. Sebagai turunan dari paham ini, kita sering menemui orang-orang yang tidak serius bersekolah dan asal memilih jurusan kuliah, sehingga kebijakan pendidikan yang dasarnya bertujuan untuk hal baik justru menjerumuskan siswa menjadi pemalas, tidak memiliki kompetensi dan menciptakan embrio koruptor-koruptor baru.

Pendidikan sejatinya bertujuan membawa siswanya memiliki pola pikir dan nalar yang baik. Dan salah satu hal yang menjadi pemicu paham sesat pada paragraf sebelumnya adalah struktur kurikulum yang tumpang tindih.

Sudah saya jelaskan di paragraf sebelumnya bahwa pendidikan harus mengakomodasi keperluan di jenjang pendidikan selanjutnya untuk menjadikannya berkualitas. Namun, dalam pengalaman saya, kurikulum kita begitu tumpang tindih dari tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi.

Apa yang saya pelajari di SMP, dipelajari lagi di SMA dengan penambahan yang  lebih kompleks, bahkan sudah setara dengan yang dipelajari di perguruan tinggi. Begitu juga, yang saya pelajari di SMA, diulangi lagi di perguruan tinggi dengan dalih sebagi upaya memantapkan mahasiswa, sehingga memangkas SKS yang tersedia untuk sebenarnya bisa disusupi mata kuliah yang modern dan sesuai dengan perkembangan zaman, atau setidaknya, menguatkan core subject ilmu yang dipelajari di tiap fakultas.

Tumpang tindihnya kurikulum itu membuat pendidikan menengah kita tidak hanya memiliki batas yang tidak jelas, tetapi juga sangat padat.

Apa yang perlu dipelajari sampai tingkat SMP dan apa yang dipelajari sampai tingkat SMA, nyaris tidak ada yang membedakannya dan padatnya hal yang harus dipelajari itu menyebabkan siswa mencari pelarian dengan menganggap belajar selesai ketika kelas selesai, dan sisa hari biasanya dihabiskan dengan nongkrong dan bermain, dan ketika ujian datang, mencontek sudah menjadi kebiasaan.

Sehingga, ujian bukan lagi sarana mengukur kemampuan siswa secara objektif, melainkan ajang menyalin jawaban dari teman.

Sebagai konklusi, dalam pemikiran saya, perlu ada sinkronisasi kementerian yang membidangi pendidikan dan pembangunan manusia untuk mengatasi masalah ini, karena masalah di pendidikan ini sangat kompleks dan bersifat sistemik.

Perlu dibuat batas yang jelas dan tegas, ilmu apa yang harus dikuasai di SMP, di SMA dan di perguruan tinggi. Tidak perlu dibuat pengulangan pelajaran, melainkan penguasaan setiap pelajaran dengan baik sesuai dengan jenjangnya.

Perlu dibuat tujuan akhir, kemampuan apa yang benar-benar harus dikuasai siswa, dan output apa yang diharapkan ada pada siswa yang lulus dan melangkah ke jenjang baru setiap tahunnya.

Revisi kurikulum, perubahan metode mengajar, perubahan sistem penilaian dan penghapusan ujian nasional, saya rasa, dapat memperbaiki bobroknya kualitas pendidikan nasional. Kita tidak butuh jutaan siswa lulus sekolah dengan kualitas yang buruk. Kalau sekedar lulus, tidak usah sekolah saja sekalian. Yang kita butuhkan adalah jutaan siswa yang lulus dengan output berpikir dan bernalar yang baik.

Happy Late National Education Day!

Hieronimus Adiyoga
Hieronimus Adiyoga
Mahasiswa non aktivis tapi tidak mau apatis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.