Selasa, April 30, 2024

Apakah Kecerdasan Artifisial Membuat Manusia Semakin Bebas?

Anastasia Jessica
Anastasia Jessica
Dosen Filsafat UKWMS (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya)

Kompas interaktif menyajikan data mengenai keterpaparan kecerdasan artifisial pada sektor industri di Indonesia. Data tersebut menyatakan digunakannya Large Language Model seperti Chat GPT dapat memberi nilai tambah ekonomi serta meningkatkan produktivitas industri. Misalnya, sektor yang paling tinggi terdampak kecerdasan artifisial adalah sektor tersier seperti informasi dan komunikasi (58%), disusul jasa keuangan dan asuransi (55,2 %). Sementara itu, sektor yang paling rendah terdampak adalah sektor primer seperti pertanian dengan nilai (1,34%).

Ada harapan besar dalam penggunaan kecerdasan artifisial pada sektor-sektor industrial akan membantu pekerjaan manusia sehingga lebih ringan, efektif, efisien, dan produktif. Dampak lain dari penggunaan ini ialah waktu luang yang diciptakan karena sebagian pekerjaan telah dikerjakan oleh kecerdasan buatan. Apabila asumsi ini benar, bukankah berarti manusia mempunyai waktu untuk lebih fokus pada hal lain, mengeksplorasi diri, mengaktualisasikan potensinya, atau dengan kata lain semakin jauh dari alienasi atau keterasingan.

Sayangnya, para pekerja di era kecerdasan tetap terancam mengalami alienasi meskipun teknologi kecerdasan buatan sudah berkembang dengan sangat canggih. Apa saja alienasi yang mungkin akan dialami oleh pekerja?

Keterasingan dari hasil kerja

Seiring dengan perkembangan penggunaan teknologi digital, internet, dan kecerdasan artifisial dalam pekerjaan, tren untuk bekerja secara mandiri juga turut meningkat di seluruh dunia. Tren bekerja mandiri ini memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Moore (2019) menyatakan orang-orang dalam bisnis ini mengharapkan pekerjaan yang sukarela dan kreatif.

Pekerja-pekerja mandiri ini tidak terikat kontrak jangka panjang. Hal ini berbeda dengan era Fordisme–karakteristik pertumbuhan ekonomi Ford Motor Company, dimana pekerja sangat terikat dengan jam kerja. Pekerja di era kecerdasan buatan memiliki kebebasan untuk memilih jam kerja mereka sendiri.

Namun, hingga saat ini, harapan kebebasan dan kreativitas masih belum terwujud. Mekanisme kerja digital membuat para pekerja menghadapi situasi sulit. Teknologi kecerdasan buatan memungkinkan untuk mengontrol bidang kerja yang tidak terlihat, seperti gerakan, suasana hati, sentimen, dan pemikiran si pekerja. Teknologi ini digunakan di tempat kerja yang telah didigitalisasi.

Lokasi dan perangkat sensorik digunakan untuk menangkap dan mengontrol pekerja. Kategori kehidupan dan pekerjaan menjadi tidak jelas sebagai akibat dari teknologi pelacakan ini. Pekerja terus berusaha menjadi pekerja yang lebih baik dalam memantau aplikasi.

Ekspektasi dan tekanan yang tidak masuk akal juga terlihat jelas dalam kebangkitan industri kurir dan pengiriman makanan berdasarkan aplikasi digital. Pelanggan dapat melacak seluruh pergerakan kurir secara real-time, serta proses pengambilan dan pengiriman di setiap langkahnya. Setiap gerakan dan tindakan dilacak dalam aplikasi digital. Hal ini sangat berbeda dengan saat kurir biasa mengerjakan kertas.

Pekerja mengalami situasi genting, yaitu kecemasan akan turunnya upah, terutama pada pekerjaan mandiri. Kecemasan juga merupakan jenis keterasingan, dimana pekerja merasa kehilangan seluruh kepribadian mereka dan melenyapkan semuanya ke dalam pekerjaan.  Masalah utama para pekerja adalah resesi ekonomi dan kehilangan kendali atas kehidupan mereka.

Keterasingan dari tindakan produksi

Salah satu wawancara dengan pekerja di pusat Fab Lab di Manchester menunjukkan bahwa para pekerja terlalu banyak bekerja dan rentan menjadi tertekan. Ini bertentangan dengan gambaran kebebasan kerja kreatif dan digital. Para pekerja bermain game hampir sepanjang hari, tetapi ini adalah pekerjaan. Mereka duduk lebih dari 12 jam sehari untuk bekerja.

Mereka menyadari bahwa mereka bisa bekerja 80 jam seminggu untuk sementara waktu, namun hal tersebut tidak baik bagi kesehatan mereka dalam jangka panjang. (Moore, PV, 2019). Dalam teori Marx, situasi pekerja ini merupakan keterasingan dari tindakan produksi. Kerja menjadi sesuatu yang berada di luar diri pekerja, dan bukan merupakan bagian dari keberadaan esensialnya. Pekerja tidak merasa bahagia dalam tindakan produksi. Ia tidak dapat mengembangkan tubuh dan pikirannya dengan bebas. Pekerjaannya menjadi pekerjaan yang dipaksakan dan bukan pekerjaan sukarela.

Alienasi dari Kemanusianya

Contoh lain dari teknologi baru yang terkait dengan pengendalian tenaga kerja ialah pelacak aktivitas SDM (Sumber Daya Manusia). Teknologi kecerdasan buatan dapat memberikan informasi kepada manajemen tentang kesalahan yang dilakukan pekerja dan siapa pelakunya. Perangkat tersebut bertujuan untuk membantu pekerja agar tidak melakukan kesalahan lagi.

Namun, dalam praktiknya, teknologi ini tidak hanya digunakan untuk melacak kesalahan individu namun juga untuk melacak produktivitas individu dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja dan istirahat. Akibatnya, belakangan ini perusahaan tersebut telah memecat 2 atau 3 orang berdasarkan data dari aplikasi tersebut. (Moore, PV, 2019: 135).

Teknologi digital SDM membuat buruh bekerja hanya karena takut dipecat. Mereka bekerja di bawah penindasan diri.  Mereka kehilangan keberadaan spesiesnya. Mereka juga mengasingkan diri dari spesiesnya karena objek kerjanya terpisah darinya. Pekerjaan ini bukan lagi sebagai realisasi kapasitas diri, namun sebagai sesuatu yang asing dari keberadaannya sebagai manusia.

Alienasi dari Sesama

Pekerja diasingkan dari produknya dan dirinya sendiri, dan juga dari hubungannya dengan orang lain. Mereka melihat orang lain hanya sebagai komoditas. Qiu, J. L. (2019) menyebut mengenai iSlavery atau perbudakan di abad 21. iSlavery memandang manusia hanya sebagai komoditas atau alat produksi.

Mereka diasingkan dari orang lain. Cerita dimulai dari Kongo dimana terdapat pekerja anak yang bekerja sebagai penambang ‘blood minerals’. ‘blood minerals’ seperti coltan dikumpulkan oleh pekerja anak dan mereka memberikannya kepada bos mereka, bahkan di bawah todongan senjata. Mineral-mineral ini merupakan komponen utama perangkat pintar. (Qiu, JL 2019: 156).

Mineral tersebut dirakit di pabrik besar seperti Foxconn. Cerita lain di bidang manufaktur mode datang dari asrama Foxconn di Shenzhen, Cina Selatan. “Lebih dari 300 pekerja tidur di ranjang tiga tingkat dalam satu ruangan besar tanpa AC”. Wawancara dengan salah satu pekerja mengungkapkan kondisi asrama mereka yang paling buruk. Menurut pekerja tersebut, ‘bau keringat dan kaki kotor sangat menyesakkan’. Kondisi ini sebanding dengan dek bawah kapal budak di Middle Passage, yang membawa jenazah-jenazah Afrika yang sedang dikemas bersama. Mereka tercekik di ruang yang penuh sesak dengan ventilasi yang sangat buruk. (Qiu, J.L., 2019: 155).

Anastasia Jessica
Anastasia Jessica
Dosen Filsafat UKWMS (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.