“Apa yang dimaksudnya dengan politik?”, itulah pertanyaan yang terbesit dalam benak saya ketika membaca opini Herlina Butar-Butar tentang golputers. Terlihat bahwa terdapat penyempitan makna politik (dan praktiknya) dalam opini tersebut.
Nampaknya, saat ini semua tindakan dan penyikapan orang-orang terhadap pemerintahan dan pemilu hanya tersedot dalam dua kategori: kalau bukan pendukung paslon yang “itu”, ya pendukung yang “ini”. Logika biner ini sangat populer sekarang.
Golputers pun tak lepas dari tuduhan ala logika biner ini. Yang mengherankan saya kemudian: kenapa opini itu memahami mereka yang golput adalah orang-orang yang seharusnya tidak mengikuti perkembangan atau mencampuri urusan politik? Dugaan kuat saya, politik olehnya dimaknai begitu sempit nan reduktif, yakni politik dalam arti urusan kepemerintahan semata.
Jelas, disini ada masalah yang signifikan.
Berbicara politik, pada dasarnya, berbicara tentang kebaikan bersama antara tiga pihak: negara, masyarakat sipil, dan korporasi. Politik, dengan demikian, bukan semata-mata urusan pemerintah saja, tetapi juga masyarakat (apapun golongannya) dan juga pihak swasta. Oleh karenanya ada kajian political sociology dan political economy.
Lalu, apakah kaum golput perlu dipahami sebagai pihak yang masa bodoh dengan politik? Dalam pemahaman politik yang demikian itu, kaum golput adalah pihak yang akan selalu turut andil dalam medan politik.
Apa pun pendirian mereka, selama masih berdiri tegak di Indonesia, politik akan selalu menjadi medannya. Hidup orang-orang kecil di Lakardowo yang tercemar limbah B3, misalnya, berkaitan erat dengan pemerintah provinsi Jawa Timur. Golputers, dengan demikian, adalah salah satu pihak yang terlibat dalam politik.
Mengkritik pemerintahan, mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan, dan semacamnya penting bagi mereka. Itu semua tentang nasib bersama, dan pada khususnya, nasib mereka.
Dengan demikian menjadi wajar ketika golputers mengkritisi pemerintahan yang ada. Itulah bagian dari upaya menentukan masa depan bersama, bukan semata-mata untuk pemilu.
Entah bagaimana, tiba-tiba kritik terhadap pemerintah justru jatuh pada salah satu paslon dalam pemilu. Hati-hati dengan logika biner itu.
Sejujurnya, kaum golput yang saya jumpai justru lebih waspada dan kritis daripada pemilih aktif pada umumnya. Mereka kritis dengan rekam jejak yang menempel erat pada masing-masing paslon, khususnya dalam hal demokrasi dan HAM.
Melalui kritisisme dan publikasi pandangan, semakin banyak orang yang sadar akan persoalan politik klasik yang terbawa ke masa kontemporer di Indonesia.
Memikirkan Ulang Demokrasi
Perlu diketahui bahwa penyempitan makna politik menjadi sebatas pemilu adalah salah satu masalah dari pendidikan di Indonesia. Dalam ruang mahasiswa misalnya, kesalahan ini mulai diasah dan dibiasakan dengan wujud: “yang penting coblos, selepas itu biarkan BEM dan yang lainnya menjalankan roda kekuasaan. Itulah masyarakat mahasiswa yang baik.”
Singkatnya, masyarakat kita tumpul untuk mempertanyakan sistem dan biasa mengikuti arus yang sudah ada nan mengakar. Tapi banyak yang tajam pada perbedaan pendapat bahkan kelompok kontra. Seakan-akan, mereka adalah Tuhan semesta alam.
Politik yang dipahami semacam ini akhirnya menghalangi masyarakat untuk menjadi salah satu pihak yang setara dihadapan negara dan korporasi.
Dan faktanya memang begitu, masyarakat kita sangat bergantung pada pasar kerja di perusahaan besar, konsumtif, manut-manut saja dengan apa kata pemerintah. Kemudian menganggap bahwa demokrasi yang baik adalah mereka yang berpartisipasi dalam pemilu.
Banyak orang memilih untuk ikut arus, menganggap bahwa kemiskinan, kesenjangan, kerusakan, dan kesewenang-wenangan tak dapat dihindari. Berbeda dari mereka, golputers yang saya temui jauh lebih memperhatikan isu publik.
Mana kala terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, mana kala terhadap perusakan lingkungan dari korporasi, golputers tidak diam lalu sibuk mencari berita tentang VA dan celana dalamnya. Mereka berusaha memahami masalahnya, mempublikkannya, dan memperjuangkan nasib masyarakat kecil.
Mereka itulah yang turut merespon sejumlah pembubaran diskusi, tidak profesionalnya aparat, dwi fungsi, kesewenang-wenangan ormas, sikap berlebih-lebihannya polisi atas sipil, sogok-sana-sogok-sini dari pengusaha dan semacamnya.
Justru mereka yang benar-benar memperhatikan jalannya pemerintahan dengan seksama.
Golputers dengan demikian bukanlah kelompok yang pantas dipandang sebelah mata, dan pada faktanya jauh lebih kontributif dalam politik daripada kebanyakan mereka yang sekedar mengandalkanpemilu.
Michel Foucault dalam Parrhesia: Berani Berkata Benar menyampaikan kehidupan berdemokrasi pada masa Yunani Kuno. Jenis-jenis orang yang berharga dalam demokrasi, pada masa itu, adalah mereka yang berani mengungkapkan kebenaran melalui penelusuran yang tepat, diungkapkan dari hatinya, dan tidak takut dengan ancaman-ancaman yang menghadangnya.
Jika demikian, lantas lebih berharga mana bagi demokrasi kita: golputers itu atau mereka yang pokoknya sudah memilih? Mari berpikir ulang dan memahami semuanya dengan bijak.
Salam