Selasa, Oktober 28, 2025

Apakah Duet Ayah dan Anak dalam Pemilu Indonesia Dibolehkan?

ariq faiq muyassar
ariq faiq muyassar
mahasiswa hukum Universitas Islam Indonesia
- Advertisement -

Bayangkan sebuah pemilihan presiden seperti acara keluarga besar. Di panggung kampanye muncul duet ayah dan anak dengan slogan manis: “Dari Keluarga untuk Negara.” Terlihat unik, bahkan romantis di mata publik. Namun, di balik kehangatan narasi itu muncul pertanyaan mendasar yang tak bisa diabaikan: apakah duet ayah dan anak dalam pemilu Indonesia dibolehkan secara hukum? Apakah konstitusi kita memberi ruang bagi praktik seperti ini, atau justru menutup pintunya atas dasar etika demokrasi dan keadilan politik?

Landasan Konstitusi

UUD 1945 memberikan dasar hukum yang paling tinggi dalam menentukan syarat serta mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dua pasal penting dapat dijadikan rujukan:

  • Pasal 6A ayat (2) menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
  • Pasal 7 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa konstitusi tidak menyebutkan larangan bagi calon yang memiliki hubungan darah atau keluarga. Selama memenuhi syarat-syarat umum seperti kewarganegaraan, usia, integritas, serta tidak sedang dicabut hak pilihnya, maka secara konstitusional duet ayah dan anak boleh maju bersama dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Dengan kata lain, UUD 1945 bersifat netral terhadap hubungan keluarga. Ia tidak mengatur tentang nepotisme dalam pencalonan, karena dalam kerangka dasar, konstitusi lebih menekankan pada prinsip kesetaraan hak politik setiap warga negara. Namun, hukum tidak selalu bicara tentang boleh atau tidak boleh, tetapi harus bicara tentang layak atau tidak layak secara moral dan demokratis.

Ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi turunan dari konstitusi yang menjelaskan syarat formal calon Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa di antaranya ialah:

  1. Warga Negara Indonesia sejak lahir.
  2. Tidak pernah mengkhianati negara.
  3. Sehat jasmani dan rohani.
  4. Berpendidikan minimal SMA atau sederajat.
  5. Tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan.

Dari daftar ini, tidak terdapat larangan mengenai hubungan keluarga antarcalon. Artinya, hukum positif Indonesia tidak menutup peluang bagi duet keluarga dalam kontestasi nasional. Akan tetapi, “boleh secara hukum” bukan berarti bebas dari kritik sosial dan risiko politik.

Sebab, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang boleh maju, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan dijaga agar tidak terkonsentrasi dalam lingkaran keluarga tertentu.

Demokrasi dan Pilihan Rakyat

Indonesia menganut sistem demokrasi langsung, di mana rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Konsekuensinya, semua calon baik yang memiliki hubungan darah maupun tidak, tetap harus melewati ujian paling sulit, yaitu kepercayaan rakyat.

Jika rakyat menilai pasangan ayah dan anak layak memimpin, maka tidak ada hambatan hukum untuk memilih mereka. Tetapi jika publik menilai duet itu sebagai bentuk nepotisme politik, rakyat juga berhak menolak melalui suara di bilik suara.

Namun, dalam praktiknya, demokrasi tidak selalu berjalan seideal teori. Realitas politik sering kali dikendalikan oleh kekuatan modal, media, dan opini publik yang dibentuk secara sistematis. Akibatnya, rakyat memang memilih, tetapi pilihan itu kerap sudah diarahkan oleh mesin politik dan jaringan kekuasaan.

- Advertisement -

Dalam konteks duet ayah dan anak, kekhawatiran terbesar bukan pada legalitasnya, melainkan pada keseimbangan kompetisi politik. Ketika satu keluarga memiliki akses luas terhadap kekuasaan, sumber daya negara, dan dukungan partai, calon lain sulit bersaing secara adil.

Peran Partai Politik sebagai Penjaga Gerbang

Partai politik adalah jantung demokrasi. Dalam sistem presidensial Indonesia, partai memiliki kewenangan penuh untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, partai sejatinya berperan sebagai penyaring moral dan kualitas calon pemimpin bangsa.

Idealnya, partai menilai kandidat berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi kebangsaan, bukan karena hubungan darah atau ikatan keluarga. Namun, dalam praktiknya, partai sering kali lebih pragmatis, menominasikan figur populer yang mampu menjamin kemenangan elektoral, meskipun berasal dari lingkaran keluarga kekuasaan.

Jika partai gagal menjalankan fungsi seleksi ini, maka rakyat akan dihadapkan pada pilihan yang sempit. Demokrasi pun kehilangan maknanya dan hanya menampilkan wajah-wajah lama dengan nama baru. Pada titik itu, partai politik berubah dari pilar demokrasi menjadi pintu dinasti.

Risiko Dinasti Politik

Duet ayah dan anak, atau keluarga besar dalam satu panggung politik, membawa risiko munculnya politik dinasti. Ada beberapa bahaya yang menyertainya:

  1. Kekuasaan menjadi terkonsentrasi dalam satu keluarga, sehingga prinsip sirkulasi elit terhenti.
  2. Pengawasan melemah, karena kekuasaan sering berpindah tangan tanpa pergantian nilai.
  3. Konflik kepentingan meningkat, terutama dalam penentuan kebijakan publik yang dapat menguntungkan pihak keluarga.
  4. Moral publik menurun, sebab masyarakat melihat jabatan politik seolah diwariskan, bukan diperjuangkan.

Sebenarnya, pembatasan terhadap dinasti politik pernah dicoba di tingkat daerah melalui Undang-Undang Pilkada. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 membatalkan larangan tersebut. MK berpendapat bahwa setiap warga negara, tanpa kecuali, memiliki hak konstitusional untuk dipilih dan memilih. Ketua MK saat itu, Arief Hidayat, menegaskan bahwa hak politik adalah hak yang melekat dan tidak boleh dibatasi hanya karena faktor keluarga.

Meski demikian, keputusan tersebut juga memunculkan efek domino. Banyak pihak menilai putusan itu membuka jalan bagi tumbuhnya dinasti politik di berbagai daerah, di mana jabatan kepala daerah bergantian dipegang oleh anggota keluarga yang sama. Jika fenomena ini meluas hingga tingkat nasional, maka semangat demokrasi yang partisipatif bisa berubah menjadi demokrasi turun-temurun.

Perlukah Aturan Baru?

Hingga kini, UUD 1945 dan UU Pemilu belum mengatur secara eksplisit mengenai hubungan keluarga dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, wacana pembatasan layak dipertimbangkan. Tujuannya bukan untuk mendiskriminasi keluarga politisi, tetapi untuk menjaga agar demokrasi tidak dikuasai oleh segelintir kelompok.

Pembatasan bisa berupa syarat jeda waktu bagi anggota keluarga dekat pejabat aktif sebelum mencalonkan diri, sebagaimana diterapkan di beberapa negara. Mekanisme ini menjaga agar kompetisi politik tetap fair dan sehat.

Kesimpulan

Secara hukum positif, duet ayah dan anak dalam pemilu diperbolehkan. Tidak ada pasal dalam UUD 1945 maupun UU Pemilu yang melarangnya. Namun, secara etika dan politik, praktik ini berpotensi menimbulkan dinasti kekuasaan, melemahkan prinsip meritokrasi, dan mengaburkan makna demokrasi.

Kuncinya ada pada dua hal:

  1. Partai politik harus berani menjadi penjaga moralitas demokrasi, bukan perpanjangan tangan kepentingan keluarga.
  2. Rakyat harus cerdas, kritis, dan berani menggunakan suaranya untuk menolak politik keturunan.
ariq faiq muyassar
ariq faiq muyassar
mahasiswa hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.