Bayangkan Anda sedang berjalan santai di trotoar, menikmati udara sore, ketika tiba-tiba seseorang bersiul atau berkomentar seperti, “Cantik, jalan sama aku dong!” Tindakan semacam ini, yang dikenal dengan istilah catcalling, sering kali dianggap remeh. Namun, apakah tindakan ini sekadar lelucon biasa, atau sebenarnya sudah masuk kategori pelecehan seksual?
Catcalling merujuk pada tindakan verbal, seperti komentar, siulan, atau panggilan yang bersifat seksual, yang ditujukan kepada seseorang tanpa persetujuan mereka. Meskipun bagi sebagian orang tindakan ini terlihat seperti pujian atau bentuk perhatian, kenyataannya tidak semua orang merasa nyaman atau senang saat menjadi sasaran catcalling. Faktanya, banyak yang merasa terganggu, terintimidasi, bahkan trauma. Inilah alasan mengapa catcalling sering kali dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual.
Secara hukum, pelecehan seksual dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang bersifat seksual dan tidak diinginkan oleh penerimanya, baik secara verbal, non-verbal, maupun fisik. Dalam konteks ini, catcalling jelas termasuk kategori pelecehan seksual.
Di Indonesia, dasar hukum yang relevan dengan isu ini dapat ditemukan dalam beberapa peraturan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam UU TPKS, pelecehan seksual mencakup tindakan verbal yang melecehkan, merendahkan, atau menghina korban berdasarkan aspek seksualnya. Hal ini memberikan landasan hukum yang kuat bahwa tindakan seperti catcalling tidak boleh dianggap enteng.
Tidak hanya UU TPKS, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memiliki pasal yang relevan, meskipun lebih umum. Pasal 281 KUHP, misalnya, mengatur tentang perbuatan yang melanggar kesusilaan di ruang publik, termasuk tindakan yang dapat dianggap melecehkan orang lain. Meskipun tidak secara spesifik menyebut catcalling, pasal ini dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang terbukti melakukan pelecehan di ruang publik.
Lalu, mengapa catcalling dianggap serius? Dampaknya terhadap korban adalah salah satu alasan utamanya. Banyak perempuan, dan juga laki-laki, yang merasa cemas berjalan sendirian di jalanan karena takut menjadi sasaran catcalling. Ketika ini terjadi secara berulang, rasa tidak aman itu bisa semakin dalam, mengganggu kesehatan mental, dan membatasi kebebasan mereka di ruang publik. Bahkan, beberapa korban mengubah cara berpakaian atau memilih jalur yang lebih jauh untuk menghindari potensi pelecehan. Tindakan ini bukan sekadar ucapan, tetapi bisa menjadi bentuk intimidasi yang nyata.
Dari perspektif sosial, catcalling mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Dalam banyak kasus, tindakan ini dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan, yang memperlihatkan bagaimana budaya patriarki masih kuat memengaruhi interaksi sosial. Catcalling memperkuat pandangan bahwa perempuan adalah objek seksual, bukan individu yang memiliki hak atas tubuh dan ruang pribadinya sendiri. Meskipun tidak semua pelaku memiliki niat buruk, tindakan ini tetap mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap hak dan perasaan orang lain.
Namun, tidak semua orang setuju bahwa catcalling adalah pelecehan. Sebagian berpendapat bahwa ini adalah bagian dari budaya atau kebiasaan tertentu yang tidak dimaksudkan untuk menyakiti siapa pun. Misalnya, di beberapa komunitas, menggoda orang di jalan dianggap sebagai interaksi sosial yang normal. Tetapi, apakah kebiasaan seperti ini masih relevan di era modern, ketika kesadaran tentang hak individu semakin meningkat?
Jawabannya, tentu saja, tidak. Budaya atau kebiasaan yang merugikan atau menyakiti orang lain harus diubah. Dalam beberapa negara, catcalling sudah diakui sebagai pelanggaran hukum. Perancis, misalnya, telah memberlakukan denda bagi pelaku catcalling sejak 2018. Langkah ini menunjukkan bahwa tindakan yang merendahkan martabat orang lain tidak dapat ditoleransi, tidak peduli seberapa kecil dampaknya dianggap oleh pelaku.
Di Indonesia, meskipun belum ada aturan khusus yang secara spesifik menargetkan catcalling, UU TPKS adalah langkah maju yang penting. Undang-undang ini memberikan ruang bagi korban untuk melaporkan pelecehan seksual, termasuk yang bersifat verbal. Namun, tantangan besar masih ada, yaitu memastikan implementasi hukum ini berjalan efektif. Banyak korban yang masih enggan melapor karena takut dihakimi, tidak percaya pada sistem hukum, atau merasa bahwa tindakannya tidak akan membawa perubahan.
Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi catcalling tidak hanya bergantung pada penegakan hukum. Pendidikan dan perubahan budaya juga sangat penting. Kita perlu mengajarkan generasi muda untuk menghormati orang lain, termasuk hak mereka atas ruang pribadi. Pendidikan seksualitas yang komprehensif di sekolah bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya saling menghormati dan batasan pribadi. Selain itu, kampanye komunitas yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga organisasi masyarakat, dapat membantu menciptakan ruang publik yang lebih aman dan inklusif.
Untuk para pelaku, mungkin saatnya untuk merenungkan kembali tindakan mereka. Apa yang dianggap lucu atau tidak berbahaya oleh mereka bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan atau menakutkan bagi orang lain. Menghormati orang lain berarti memahami batasan mereka dan tidak memaksakan kehendak, baik secara verbal maupun non-verbal.
Catcalling bukanlah sekadar lelucon atau bentuk perhatian. Tindakan ini, baik secara hukum maupun moral, termasuk pelecehan seksual karena melanggar hak dan kenyamanan orang lain di ruang publik. Meskipun sering kali dianggap remeh, dampaknya bisa sangat serius, baik secara psikologis maupun sosial.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menghentikan budaya ini, baik dengan tidak melakukannya, mendukung korban, maupun menyuarakan pentingnya menghormati hak orang lain. Karena pada akhirnya, ruang publik adalah milik bersama, dan setiap orang berhak merasa aman di dalamnya.