Berapa banyak kandidat Pilkada serentak tahun depan memiliki komitmen terhadap penanggulangan bencana alam? Jika hanya diukur dari janji politik, tentu mengecewakan. Bisa jadi berharap bakal pemimpin yang demikian terlalu ideal, sekaligus cukup berat untuk dijadikan tema bagi kandidat pemimpin daerah dalam menjaring pemilih.
Sebab penanggulangan bencana mensyaratkan visi berjangka panjang. Bukan sekedar pertimbangan pragmatis guna mendongkrak elektabilitas. Walhasil, tema ini tidak menarik bagi petahana, penantang, dan ironisnya juga bagi pemilih dalam kontetasi Pilkada.
Padahal UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana tegas menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pada 2018 akan digelar Pilkada serentak di 17 Propinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten. Jumlah tersebut separuh dari provinsi di tanah air. Diantara tantangan serius yang ada adalah memastikan tema penanggulangan bencana menjadi perhatian sejak awal oleh para kandidat kepala daerah.
Indonesia dianugerahi oleh Tuhan sebagian besar wilayah dengan kekayaan alam melimpah, sekaligus pada saat yang sama, rentan bencana. Bentang alam dan posisi geografis Indonesia telah menjadikannya rawan terhadap berbagai jenis bencana alam.
Selain itu, kerap diperburuk oleh degradasi lingkungan, tekanan akibat pertambahan penduduk, laju perubahan tata guna lahan, perubahan iklim dan aktivitas manusia. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana alam hidrometeorologi melampaui bencana geofisik sebesar 87 persen dari jumlah kejadian.
Dengan jumlah kerugian ekonomi mencapai Rp.155,25 Triliun -angka kumulatif 2004-2013. Ini berarti, banyak daerah menghadapi ancaman utama dalam bentuk banjir, longsor, angin topan, kekeringan hingga gelombang tinggi. Ancaman ini berpotensi meningkat baik dari sisi intensitas maupun frekuensi dimasa depan. Gejala tersebut mengindikasikan bahwa bencana alam saat ini adalah gabungan sistematis proses alamiah unsur-unsur cuaca dan iklim dan kontribusi manusia didalamnya.
Kajian Risiko Bencana BNPB telah merilis sebaran risiko bencana yang terdistribusi merata di seluruh wilayah kepulauan republik kita. Merentang dari Pulau Sumatera hingga Papua. Mengacu hasil kajian ini, dalam RPJMN 2015-2019 pemerintah Joko Widodo memuat daftar 136 Kabupaten/Kota yang dikategorikan sebagai daerah berisiko tinggi hingga sedang untuk terpapar bencana alam.
Sebab itu menjadi prioritas dalam penanggulangan bencana. Sebagai contoh, kejadian banjir dan genangan terbaru menimpa Kota Makassar dan Kendari- dua diantara kota yang Provinsi nya sekaligus akan turut dalam perhelatan Pilkada.
Bukan Sekedar Janji Politik
Nampaknya, berharap bahwa kandidat Pilkada menjadikan penanggulangan bencana alam sebagai janji politik kandidat, kemudian menjadi alat tagih kalangan masyarakat sipil tidak cukup. Apalagi, secara kultural membicarakan kesiapsiapan menghadapi bencana alam seringkali masih dianggap tabu.
Masih ada di masyarakat kita yang secara tradisional menganggap tidak patut membicarakan kesiapsiapan menghadapi bencana alam di ruang publik seolah mengharapkan kedatangannya. Keyakinan bahwa bencana sebagai kejadian yang musti diterima juga mendasari keengganan ini.
Akibatnya, tema bencana dijauhi oleh politisi. Jika pun ada, pemahaman kandidat dan persepsi publik terbatas dan bias pada penanganan berjangka pendek. Bukan perencanaan yang memproyeksikan pertumbukan daerah didalamnya dalam jangka panjang dan aspek risiko bencana.
Menjawab situasi yang demikian, perlu upaya KPU memastikan kandidat mempunyai agenda strategis terhadap penanggulangan bencana dalam dokumen pencalonan. Tema bencana semestinya ditempatkan setara dengan tema pembangunan daerah lainya. Kemajuan sektor-sektor pembangunan daerah semisal kemiskinan, transportasi, pertanian, pariwisata dan infrastruktur akan selalu berhadapan dengan ancaman bencana yang berpotensi merusak.
Karena itu perlu diperhitungan secara cermat dalam perencanaan pembangunan. Pelibatan BNPB sebagai intitusi kunci terkait koordinasi penanggulangan bencana akan memampukan kandidat kepala daerah memahami secara holistik sejak awal pendekatan penanggulangan bencana yang terintegrasi dalam perencanaan.
Langkah berikut paska Pilkada adalah memastikan BNPB mempunyai pintu masuk yang baik untuk berkoordinasi dengan Kepala Daerah. Dengan dibantu oleh Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Organisasi Perangkat Daerah terkait, memastikan daerah mempunyai kesiapan.
Dalam bentuk perencanaan penanggulangan bencana yang terpadu dalam perencanaan pembangunan dengan target dan kemajuan yang terukur pada daerah-daerah rawan bencana. Langkah strategis selanjutnya adalah mengoptimalkan peran BNPB untuk membantu supervisi pemerintah daerah dalam implementasi rencana penanggulangan bencana yang tidak terpisah dari proses pembangunan daerah.
Sehingga potensi pembesaran kerugian dan potensi kerusakan akibat kelalaian memperhitungkan faktor risiko bencana bisa diminimalkan. Peran ini merujuk pasal 12 UU 24/2007 yang memandatkan BNPB untuk memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap dan rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. Proses seperti perencanaan tata ruang, alih fungsi lahan, adalah titik-titik kritis yang seharusnya menjadi ranah supervisi bersama.
Mengingat penanggulangan bencana adalah proyek strategis dan berdimensi jangka panjang, sementara irama kontelasi politik bersifat pragmatis dan jangka pendek, diperlukan pendekatan yang tidak reguler. Bukan sebagai business as usual. Nampaknya BNPB perlu membuat cetak biru penanggulangan bencana khusus dan berkesesuaian dengan sistem demokrasi politik saat ini.
Dengan begitu, kita bisa berharap akan lahir kandidat pemimpin yang paham dan memikirkan secara cermat penanggulangan bencana sebagai visi politik. Bukan hanya kandidat yang menciptakan janji yang berpotensi menjadi dusta politik.