Politeknik adalah salah satu sistem pendidikan nasional jenis perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Politeknik bergerak dalam jalur vokasi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi.
Arah proses belajar mengajar vokasi di sini yaitu dengan dasar teoritis yang komprehensif serta dapat mengasah keahlian, keterampilan, dan standar kompetensi yang spesifik agar dapat menegakkan perekonomian bangsa dan negara melalui suatu kemandirian berkarya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperolehnya.
Politeknik pertama kali yang ada di Indonesia adalah Politeknik Mekanik Swiss di Bandung pada tahun 1976 yang menjadi cikal bakal pendidikan politeknik di Indonesia. Politeknik Mekanik Swiss di Bandung terus berkembang hingga saat ini berganti nama menjadi Politeknik Manufaktur (POLMAN).
Menurut tulisan Maydina H. Noor tentang sekilas mengenal politeknik, bahwa pembangunan pendidikan politeknik dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai suatu proyek pemerintah yang dibiayai dengan bantuan Bank Dunia di era orde baru pada Pelita II (31 Maret 1978-19 Maret 1982) yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Pendidikan Politeknik yang dikenal sebagai PEDC (Polytechnic Education Development Centre) di Ciwaruga, Bandung.
Menurut tulisan Chairuddin P. Lubis tentang sebuah perjalanan panjang dari yayasan menjadi PTN Dan PT-BHMN, pembangunan politeknik pertama kali dilakukan melalui SK Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 032 DJ/KEP/1979, tentang pembentukan Politeknik di 6 Daerah/Perguruan Tinggi. Yaitu :
1. Medan : Politeknik Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Palembang : Politeknik Universitas Sriwijaya (UNSRI)
3. Jakarta : Politeknik Universitas Indonesia (UI)
4. Bandung : Politeknik Institut Teknologi Bandung (ITB)
5. Semarang : Politeknik Universitas Diponegoro (UNDIP)
6. Malang : Politeknik Universitas Brawijaya (UNIBRAW)
Menurut Maydina P. Noor tujuan utama pembentukan politeknik di Indonesia adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan industri dan perusahaan (link and match). Secara implisit bahwa mahasiswa politeknik diasah kemampuannya di dunia perkuliahan agar dapat memenuhi tenaga kerja profesional pada level supervisi di industri.
Kesalahan Berpikir tentang Politeknik
Semakin berkembangnya zaman, pendidikan politeknik di masyarakat sering dianggap sebagai “tempat kedua” setelah universitas. Pemikiran ini terkadang memiliki pro dan kontra jika melihat masalah asal usul pembangunan sistem ini memanglah jelas bahwa sistem pendidikan universitas lahir terlebih dulu sebelum sistem pendidikan politeknik.
Kita tidak bisa menyalahkan namun juga tidak bisa membenarkan. Karena hal itu tentu memiliki indikator pemikiran yang jelas. Jika dilihat dari dua aspek kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif hari ini kita bisa melihat banyak sekali kejuaraan tingkat mahasiswa seringkali seimbang, mahasiswa universitas dan politeknik terus berlomba-lomba untuk menunjukan eksistensi selain nama almamater, juga mutu pendidikannya.
Namun, di sini politeknik memiliki keunggulan karena dengan fokus pada pendidikan vokasinya di Politeknik terdapat sertifikasi keahlian berdasarkan skema kompetensi yang disusun dalam kurikulum di setiap jurusan yang ada. Seperti contohnya saya sebagai mahasiswa jurusan teknologi informasi program studi teknik komputer terdapat 3 skema kompetensi, yaitu jaringan komputer, mikrokontroller, dan rekayasa perangkat lunak (software).
Tentu, setiap skema kompetensi yang dimiliki memiliki fokus masing-masing dan memiliki pengakuan dari instansi-instansi besar sehingga mutu ketrampilannya dapat dipertimbangkan di lingkungan industri melalui sertifikasi tersebut. Secara kuantitatif jelas sistem universitas banyak jumlah mahasiswanya mengingat konteks substansi ilmu yang dibahas sangatlah banyak daripada Politeknik yang hanya berbasis teknik (engineering) dan tata niaga (commerce).
Namun kenapa pemikiran masyarakat seringkali menyebutkan bahwa politeknik adalah “tempat kedua”?. Menurut perspektif pribadi saya, ini terkait kurang terpublikasinya mutu politeknik yang disosialisasikan oleh Kemenristek Dikti kepada sekolah-sekolah menengah serta banyak sekali perusahaan yang mencantumkan syarat di lowongan kerjanya adalah pendaftar harus sarjana.
Ya, kesalahan berpikir orang tua saat ini adalah kuliah apa aja yang penting sarjana supaya mudah diterima kerja. Pertanyaannya, apakah tujuan pendidikan tinggi hanyalah untuk mendapatkan kerja saja? Kembali lagi, budaya kesalahan berpikir berdasarkan pengalaman masa lalu masih saja menjadi momok penyakit di lingkungan kita. Tujuan pendidikan tinggi adalah untuk bisa mengejar ilmu secara substantif dari fokus ilmu yang kita inginkan bukan saja yang kita butuhkan.
Ketika kita memiliki ilmu itu, baru kita bisa mempertanggungjawabkan ilmu itu untuk kepentingan sendiri ataukah juga untuk kepentingan kemaslahatan? Saya yakin, ketika pemikiran ini bisa diterapkan pasti banyak sekali pemuda-pemuda bangsa akan bekerja sesuai dengan kemampuan apa yang mereka miliki, yang mereka inginkan serta yang mereka butuhkan nantinya.
Marwah Politeknik yang Mulai Redup
Ketika sudah memperbaiki pemikiran tersebut tentu selanjutnya kita juga harus melihat kondisi mahasiswa politeknik itu sendiri. Seringkali mereka akan memilih tiga jalur yang menghantarkan mereka bahagia hidup di dunia perkuliahan, yaitu menjadi sosok akademisi, aktivis, dan aktivis akademisi.
Saya sangat senang sekali perkataan Anies Baswedan ketika sebelum mengikuti ajang kontestasi pilkada yang telah menghebohkan dunia perpolitikan nasional. Ketika itu Anies masih menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Beliau menyampaikan pesannya kepada calon mahasiswa kurang lebih sebagai berikut :“Jika kalian ingin menjadi sosok akademisi, jadilah akademisi yang bukan saja aktif di dalam kelas tetapi juga di luar kelas. Jika kalian memilih menjadi sosok aktivis, jadilah aktivis yang bukan saja aktif dil uar kelas tetapi juga di dalam kelas”.
Anies Baswedan seakan-akan menyampaikan bahwa calon mahasiswa haruslah menjadi sosok aktivis akademisi sehingga dapat membangun Indonesia di masa depan dengan lebih baik dengan menyeimbangkan aspek akademik dan non-akademik, idealisme ini yang harus dibangun di Indonesia dengan segala hiruk pikuk dinamikanya.
Berbicara tentang idealisme tentu ada hubungannya dengan pergerakan. Mahasiswa politeknik menurut saya adalah mahasiswa yang sangat luar biasa ketika dia harus bisa mengetahui teoritis yang non-perpoliteknikan untuk dapat menghidupi gerakannya. Idealisme yang diawali dengan keresahan untuk dapat mengabdi kepada masyarakat ini tentu dapat dituangkan dengan suatu gerakan-gerakan masif yang dapat menghasilkan suatu solusi dan dikehendaki dengan perubahan.
Namun selama saya mengikuti keorganisasian di ranah eksekutif dengan mengikuti berbagai forum eksternal politeknik. Hari ini kita seakan-akan telah semakin menjauh dengan marwah politeknik yang diimpikan saat proses pembangunan pertamanya. Mahasiswa Politeknik seringkali bergerak dengan asas idealisme kemahasiswaannya secara universal saja, namun dengan cara yang salah.
Seharusnya bentuk pengabdian kita pada masyarakat adalah fokus pada gerakan-gerakan yang sesuai dengan fokus ilmu kita melalui aksi strategi dengan kajian-kajian berdasarkan ilmu yang ada di Politeknik secara komprehensif seperti tentang infrastruktur, pertanian, tata niaga dsb. Lalu diaplikasikannya dengan pencerdasan dan suatu karya produk entah itu materiil maupun non-materiil yang tujuannya bukan hanya untuk mengabdi pada masyarakat tetapi juga “memberdayakan masyarakat”.
Kata-kata “memberdayakan” ini saya dapatkan dari Presiden Mahasiswa PPNS yang baru terpilih saat tulisan ini di publish yaitu saudara Afan. Tentu seakan ini menampar pengaplikasian idealisme saya yang sudah kehilangan marwah politekniknya, tetapi saya yakin juga dapat menampar seluruh aktivis mahasiswa politeknik yang lain.
Maksud saya di sini kita sebagai mahasiswa politeknik kita harus memiliki idealis untuk dapat berguna bagi rakyat, bangsa, dan negara namun secara substansinya kita harus bergerak dengan cara kita, dengan kemampuan ilmu di sistem pendidikan kita. Ini adalah suatu karakter yang saya yakin jika digerakan bukan hanya dapat bermanfaat untuk kemaslahatan berbangsa dan bernegara tetapi juga akan mengangkat eksistensi politeknik di perkembangan paradigma masyarakat khususnya generasi tua yang masih menganggap politeknik sebagai “tempat kedua”.
Entah itu sudah digerakan melalui organisasi di skala jurusannya atau tidak, tetapi seharusnya hal ini dapat di ejawantahkan menjadi suatu gerakan mahasiswa politeknik secara global agar dapat bergerak secara masif dan tidak utopis dari penjabaran idealisme mahasiswa yang bersama kita miliki. Agar pergerakan kita tidak kontradiktif dengan cita-cita pertama kali pembangunan politeknik ini diciptakan, agar pergerakan kita ini tidak kontraproduktif dengan esensi vokasi itu sendiri.
Kita mendeklarasikan bahwa kita bergerak di aspek sosial politik, ayo kita mengkaji isu-isu yang masih memiliki kesinambungan dengan ilmu-ilmu yang kita pelajari di politeknik lalu kita eskalisasikan dengan dialog masyarakat, lalu kita eskalasikan dengan jalur dialog maupun audiensi kepada pihak terkait, jika itu tersumbat maka kita bergerak dengan jalur non-litigasi yaitu mengadakan parlemen jalanan untuk menyuarakan kritik dan solusi yang sudah kita kaji, kalau pemerintah masih tidak mendengar maka di saat itulah kita meneriakan revolusi. Tentu banyak sekali permasalahan di Indonesia yang memiliki kesinambungan dengan ilmu-ilmu kita di politeknik.
Kita mendeklarasikan bahwa kita bergerak untuk mengabdi dan memberdayakan masyarakat, ayo kita turun ke masyarakat jalin komunikasi terlebih dahulu, lalu kita tanyakan permasalahannya dari aspek ekonomi, infrastruktur, media komunikasi dan informasinya, serta kesehatan dan sebagainya.
Selanjutnya, kita kaji kembali di internal kampus maupun forum aliansi bersama kita rancang sebagai pelaksanaan pengabdian, kita suarakan hal ini melalui jalur-jalur pengabdian yang disediakan dikti agar mendapatkan bantuan. Secara parsial kita audiensikan kepada lembaga daerah terkait untuk meminta klarifikasi bantuan darinya. Ketika sudah mendapatkan bantuan lanjutkan dengan berkarya sesuai dengan keahlian ilmu yang dimiliki. Jika tidak mendapat bantuan maka lanjutkan dengan jalur non-litigasi, buatlah parlemen jalanan dan suarakan ketidakadilan!
Inilah yang seharusnya kita lakukan sebagai mahasiswa politeknik. Inilah pergerakan yang seharusnya kita gerakan. Kita tidak bisa memaksakan kehendak untuk ikut terjun dengan permasalahan nasional yang isu itu bahkan masih asing di telinga kita karena dasar pendidikan kita yang berbeda. Hal ini akan berakibat fatal, karena akan terjadi redudansi pemikiran saat kita harus melaksanakan tanggungjawab akademik kita sebagai mahasiswa. Mereka mungkin menyebutnya sebagai tantangan idealisme pergerakan mahasiswa politeknik.
Tapi menurut saya hal ini adalah keutopisan idealisme pergerakan mahasiswa politeknik. Kita harus bisa bersinergi dengan pergerakan-pergerakan yang sudah ada saat ini, persatuan pergerakan bukan berarti meninggalkan asas dan esensi gerakannya. Mengutip kata Bung Hatta ketika mengkritik persatuan yang di maksudkan oleh Bung Karno melalui tulisannya pada tahun 1932 tentang Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada yaitu :
“Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tak lain dari per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, daging kambing disate jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing.”
Marilah kita kuatkan asas dan esensi sistem pendidikan kita, agar terciptanya kesinergisan dalam pergerakannya serta pembangunan paradigma pada masyarakat bahwa politeknik bukanlah “tempat kedua” dalam pendidikan perguruan tinggi kita.