Jumat, April 26, 2024

Apa Itu Tasalsul? Mengapa Tasalsul Mustahil?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Berbeda halnya dengan para teolog (al-Mutakallimun) yang bersandar pada dalil al-Huduts (dalam kebaruan alam), para filsuf Muslim pada umumnya menggunakan dalil al-Imkan (dalil kemungkinan alam) dalam membuktikan keberadaan Tuhan.

Dalil ini, hemat saya, merupakan dalil terkuat. Pikiran pokok dari dalil ini bisa kita lihat melalui argumentasi sebagai berikut:

Kita semua meyakini adanya wujud. Dan wujud yang kita yakini keberadaannya itu hanya memiliki dua kemungkinan, imma dia wajib, atau dia itu mumkin. Wajib artinya sesuatu yang harus ada dan tidak mungkin tidak ada. Sedangkan mumkin artinya sesuatu yang mungkin ada, juga mungkin tidak ada.

Lalu, pertanyaannya: wujud yang kita yakini itu masuk kategori yang mana? Apakah dia itu wujud yang mungkin? Atau dia itu wujud yang wajib? Kalau seandainya dia itu wajib, maka kita sudah menemukan apa yang kita cari.

Tapi kalau dia itu mungkin, maka otomatis dia membutuhkan muatssir (pengaruh) atau illat (sebab) yang menjadikannya ada. Dan setelah itu kita akan bertanya: Apakah yang menjadi sebab adanya sesuatu yang mungkin itu wajib atau mungkin? Kalau seandainya dia wajib, maka kita sudah menemukan apa yang kita cari.

Tapi kalau dia itu mungkin, maka konsekuensinya sama seperti tadi; dia pasti membutuhkan kepada pengaruh atau sebab lain yang menjadikannya ada. Karena sesuatu yang mungkin itu, dalam istilah Ilmu Kalam, ialah sesuatu yang dua sisinya sama dalam ada dan ketiadaan (mastawa tharafahu wujudan wa ‘adaman)

Ketika sesuatu yang mungkin itu ada, maka pastilah di sana ada sebab yang menjadikannya ada setelah sebelumnya mungkin ada dan mungkin tidak ada. Karena tidak mungkin sesuatu bisa ada tanpa ada sebab yang mengadakannya. Sebagaimana tidak mungkin sesuatu bisa tidak ada jika tidak ada sebab yang menjadikannya tidak ada.

Betapapun panjangnya silsilah tersebut, pada akhirnya kita harus sampai pada suatu wujud yang keberadaannya wajib ada—karena dia menjadi sumber segala yang ada—dan keberadaannya tidak diadakan oleh yang ada. Kalau tidak, maka konsekuensi akhirnya adalah tasalsul. Dan tasalsul itu mustahil.

Yang sering ditanyakan banyak orang ialah: Mengapa tasalsul itu mustahil? Untuk menjawab pertanyaan ini. Kita perlu definiskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tasalsul.

Dalam terminologi Ilmu Kalam, tasalsul biasanya diartikan sebagai “bergantungnya sesuatu kepada sesuatu yang lain tanpa adanya titik akhir” (tawaqquf al-Syai ‘ala al-Syai ila ma la nihayata lahu).

Misalnya A bergantung pada B. B bergantung pada C. C bergantung pada D. D bergantung pada E. E bergantung pada F. Dan begitu seterusnya, tanpa adanya titik akhir. Sampai di sini saya kira jelas apa yang dimaksud tasalsul itu. Intinya, tasalsul itu ialah rentetan sesuatu yang tidak berakhir.

Sekarang kita kembali pada pertanyaan pertama: Apa buktinya kalau tasalsul itu mustahil?

Pertama-tama saya kira kita perlu mengakui bahwa akal kita sendiri sejujurnya akan kesulitan dalam membayangkan sesuatu yang tidak berakhir. Tapi, demi mencari dalil yang memuaskan, cobalah sekarang Anda paksa kepala Anda untuk membayangkan adanya silsilah sesuatu tak berakhir itu.

Misalnya A disebakan oleh B. B disebabkan oleh C. C disebabkan oleh D. D disebabkan oleh E, dan begitu seterusnya, sampai tidak ada akhir.

Kalau seandainya silsilah tersebut tidak berakhir pada satu illat yang wajib, maka pastilah masing-masing dari unsur yang merangkai silsilah tersebut adalah sesuatu yang mungkin. Mengapa ia disebut mungkin? Karena setiap unsur yang ada pasti menjadi ma’lul (akibat). Dan setiap ma’lul (sesuatu yang disebabkan) itu pasti mungkin.

Kalau kita sudah sepakat bahwa setiap unsur yang merangkai silsilah tadi itu mungkin, dan masing-masing dari unsur tersebut wujudnya ada, maka kita perlu mencari satu sebab yang menyebabkan mereka ada setelah sebelumnya mereka mungkin ada dan mungkin tidak ada.

Karena sesuatu yang mungkin itu, seperti yang sudah saya kemukakan, ialah “sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada”. Manakala kita mengatakan bahwa mereka ada, maka pastilah akal kita akan mengatakan bahwa keberadaan mereka diadakan oleh sesuatu yang ada.

Tinggal kita bertanya: Apakah sesuatu yang ada ini berada dalam silsilah tersebut? Atau dia berada di luar? Di sini ada tiga kemungkinan. Pertama, dia ada dalam silsilah itu. Kedua, dia adalah silsilah itu sendiri. Ketiga, dia berada di luar.

Oke. Sekarang anggaplah dia ada dalam silsilah itu. Atau menjadi bagian dalam silsilah itu. Lantas apa konsekuensinya? Kalau seandainya dia menjadi bagian dari silsilah tersebut, maka konsekuensinya dia akan menjadi sebab bagi sebab-sebab yang mewujudkan dirinya, dan dalam saat yang sama, dia juga disebabkan oleh sesuatu yang lain.

Anggaplah, misalnya, yang menjadi sebab itu adalah D. A disebabkan oleh B. B disebabkan oleh C. Dan C disebabkan oleh D. D disebabkan oleh E. E disebabakan oleh F. Dan begitu seterusnya. Sampai tidak ada akhir. Sekarang bagaimana kalau kita mengasumsikan si D ini yang menjadi sebab bagi semua unsur dalam silsilah itu?

Akal kita tentu saja akan menolak. Karena si D akan menjadi illat atau sebab bagi sebab yang telah mewujudkan dirinya, yang dalam hal ini adalah si E. Pertanyaannya: Mungkinkah si D, yang disebabkan oleh si E itu, menjadi sebab bagi seluruh unsur yang ada? Tidak mungkin.

Karena dia akan menjadi illat (sebab), dan dalam saat yang sama dia juga menjadi ma’lul (yang disebabkan/akibat). Tidak mungkin sesuatu itu disebabkan oleh sebab, dan dalam saat yang sama dia juga menjadi sebab. Akal kita tidak akan mampu mencerna hal itu.

Lalu mungkinkah kalau illat yang sedang kita cari itu adalah silsilah itu sendiri? Ini lebih mustahil lagi. Karena kita akan meyakini sesuatu yang menjadi illat bagi dirinya sendiri.

Hukum akal mengatakan bahwa setiap illat harus mendahului ma’lul. Kalau kita mengatakan bahwa illat tersebut adalah silsilah itu sendiri, maka itu artinya kita akan meyakini sesuatu yang mendahului dirinya sendiri (taqaddum al-Syai ‘ala nafsihi). Dan itu mustahil.

Pada akhirnya kita hanya akan dihadapkan pada kemungkinan ketiga. Bahwa illat yang menjadi sebab segala wujud itu ada di luar silsilah tadi.

Tinggal kita bertanya lagi: Apakah illat yang berada di luar silsilah itu mungkin atau wajib? Kalau dia mungkin, maka pasti dia masuk lagi dalam silsilah tadi. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengatakan bahwa illat yang berada di luar silsilah itu pasti keberadaannya wajib.

Karena wujud hanya ada dua, imma dia itu wajib, atau dia itu mungkin. Tidak ada pilihan ketiga. Maka ketika kita mengatakan bahwa semua unsur dalam silsilah tadi itu mungkin. Lalu semuanya membutuhkan pada illat. Dan illat tersebut pasti berada di luar silsilah sesuatu yang mungkin tadi, maka pada akhirnya illat yang sedang kita cari itu pastilah wujudnya wajib.

Karena wujudnya bersifat wajib, maka dia tidak boleh diadakan oleh yang lain. Karena kalau dia diadakan oleh yang lain, ketika itu dia menjadi mungkin lagi. Kalau dia mungkin, maka dia pasti membutuhkan illat yang lain. Dan jika illat yang lain itu wajib, maka itulah Allah.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.