Kamis, Oktober 10, 2024

Apa Efek Kehidupan Feodal dalam Sistem Pendidikan di Indonesia?

Jhonas Rahan Zagoto
Jhonas Rahan Zagoto
Mahasiswa Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret. Tertarik terkait isu-isu lingkungan, pendidikan, dan sosial.

Stigma buruk tentang siswa yang kritis di kelas merupakan salah satu permasalahan yang terdapat pada dunia pendidikan. Saat ini mental feodalisme melekat pada banyak pelajar bahkan pengajar di Indonesia. Pola pikir seperti itulah yang membuat pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Australia.

Pendidikan di Indonesia merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan manusia dan bangsa. Namun, meskipun telah mengalami banyak perkembangan, sistem pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh berbagai masalah, termasuk melekatnya sistem feodalisme yang memengaruhi proses pembelajaran dan pengembangan individu. Feodalisme merupakan sistem sosial-politik yang menganggap otoriter memiliki kekuasaan dan kebenaran yang mutlak.

Feodalisme sangat berdampak besar bagi pengembangan individu. Salah satu contoh dari feodalisme yang terjadi yaitu pelajar tidak berani untuk berargumentasi. Ketika di sebuah ruang kelas, seorang professor sedang memberikan statement yang keliru, tetapi respon mahasiswa hanya diam dan tidak berani untuk berpendapat atau memprotes karena menganggap lawan bicaranya adalah seorang professor. Mindset seperti ini yang dapat menjadi silent killer bagi penerus bangsa.

Mental feodalisme tidak hanya muncul pada diri seorang pelajar, tetapi melekat pula pada diri seorang pengajar. Siswa yang aktif bertanya akan dianggap negatif dan menyusahkan. Siswa yang kritis di kelas dianggap tidak sopan, sedangkan siswa yang pendiam dianggap jauh lebih sopan.

Selain itu, siswa yang menanyakan banyak hal akan dianggap “hanya ingin cari muka” oleh teman-temannya. Hal ini yang membuat kita kehilangan semangat untuk berkembang. Kita tumbuh pada sistem pendidikan yang tidak mengajarkan untuk berpikir kritis. Sistem pendidikan di Indonesia tidak melatih kita untuk menanyakan banyak hal.

Mengapa orang yang memiliki ketajaman dalam berpikir kritis selalu dicap negatif di Indonesia? Karena di Indonesia banyak yang menganggap bahwa pemikiran adalah sopan santun. Sopan santun adalah bahasa tubuh, pikiran tidak perlu disopan santunkan, karena ketika pikiran disopan santunkan akan menimbulkan kemunafikan.

Di negara maju seperti Prancis, mereka mengajarkan ketajaman berpikir dari mulai sekolah menengah pertama. Sehingga, seorang siswa mampu berbantah-bantahan dengan dosen, professor, hingga pejabat. Sedangkan, di Indonesia ingin menghindari ketajaman berpikir dan argumentasi. Hal ini yang membuat taraf SDM mereka jauh lebih tinggi dari Indonesia.

Ada beberapa alasan mengapa feodalisme di Indonesia selalu melekat selama puluhan tahun, yaitu pendekatan pengajaran yang berlaku di Indonesia bersifat otoritas. Banyak guru menggunakan pendekatan pengajaran yang lebih menekankan pada penyaluran informasi daripada membangun keterampilan berpikir kritis siswa. Siswa diharapkan untuk menerima apa yang diajarkan tanpa mempertanyakan atau menantang pemikiran tersebut.

Kurikulum yang terlalu padat dan terfokus pada penghafalan. Kurikulum yang cenderung berat pada materi dan kurang pada pemahaman konsep mendorong siswa untuk memprioritaskan mengingat daripada memahami. Hal ini membatasi kemampuan siswa untuk berpikir kritis karena mereka tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk mempertanyakan atau mengevaluasi apa yang dipelajari.

Budaya sekolah yang menekan konformitas. Di banyak sekolah, ada tekanan yang kuat untuk mengikuti norma-norma tertentu dan tidak menimbulkan gangguan atau konflik. Hal ini menciptakan lingkungan di mana siswa tidak berani menyuarakan pendapat atau mempertanyakan ide-ide yang ada, karena takut dianggap tidak patuh atau mengganggu.

Akibat dari feodalisme pendidikan ini yaitu siswa lebih cenderung menerima informasi tanpa pertimbangan kritis, yang pada gilirannya menghambat kemampuan mereka untuk menjadi warga negara yang aktif dan mandiri dalam masyarakat.

Maka dari itu diperlukan adanya reformasi pendidikan yang terbuka dan tidak membatasi potensi generasi muda. Melalui reformasi pendidikan yang berani dan berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi alat pembatas, tetapi menjadi sarana untuk membebaskan pikiran dan mendorong kemajuan yang berkelanjutan bagi bangsa ini.

Jhonas Rahan Zagoto
Jhonas Rahan Zagoto
Mahasiswa Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret. Tertarik terkait isu-isu lingkungan, pendidikan, dan sosial.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.