Minggu, Oktober 13, 2024

Anti-Komunis Suharto, Tapol Jadikan Pulau Berbunga

Nur Hikma Alamsya Putri
Nur Hikma Alamsya Putri
Penulis Pemenang Lomba Menulis Cerpen Tingkat Kabupaten (2014) dan Lomba Menulis Puisi Tingkat Kabupaten (2015)

Di dinding Istana Kepresidenan di Jakarta, kediaman resmi Presiden Indonesia, terpasang sebuah lukisan buatan tahun 1947 yang berjudul Kawan-Kawan Revolusi. Lukisan itu menggambarkan 19 wajah seniman dan aktivis nasionalis yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Di antara para pejuang kemerdekaan tersebut, lukisan itu juga menampilkan wajah seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Bocah itu adalah Tedjabayu, putra sang pelukis.

Hanya sedikit pengunjung istana, termasuk penghuni utamanya sendiri, yang sadar bawah bocah lelaki dalam lukisan itu nantinya akan menghabiskan 14 tahun masa hidupnya sebagai tahanan politik dalam salah satu bab paling gelap dalam sejarah Indonesia—pembersihan kaum kiri di tengah-tengah percobaan kudeta tahun 1965 yang ditudingkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengantar bangkitnya kediktatoran Orde Baru.

Pemenjaraan Tedjabayu dipaparkan dalam memoar Mutiara di Padang Ilalang, Cerita Seorang Penyintas pada tahun 2020, menyajikan potongan sejarah Indonesia yang tidak disinggung dalam buku pelajaran yang disahihkan pemerintah. Buku itu merekam jejak sejak ia ditangkap sebagai mahasiswa geografi tahun kedua hingga pengalamannya di penjara selama 9 tahun di pulau terpencil Buru, tempat ia dan para tapol mengubah padang tandus menjadi lumbung beras daerah.

Pada pagi 20 Oktober 1965, Tedjabayu, 21 tahun, bersembunyi bersama satu kelompok mahasiswa haluan kiri di gedung kesenian Chung Hwa Tjung Hwi, Yogyakarta. Di sana, mereka biasa berkumpul untuk mengorganisasi demonstrasi yang menentang pengaruh Amerika di Indonesia dan perang di Vietnam.

Dari dalam gedung, ia mendengar aktivis Muslim dan anti-komunis berunjuk rasa di luar jalan dan berteriak “Ganyang PKI!” dan “Allahu Akbar!” Sekitar pukul 11 siang, rentetan tembakan terdengar dan teriakan massa berhenti.

Tiba-tiba pintu depan yang terkunci meledak terbuka. Puluhan prajurit TNI-AD menyerbu masuk dan mengepung para mahasiswa. Sungguhpun para prajurit menyandang senapan M1 Garand, Tedjabayu lebih takut pada massa anti-komunis di luar. Ia mengungkapkan ketakutan itu kepada seorang bintara tinggi, yang menjawab, “Serahkan itu kepada kami, dik. Yon F mampu mengatasinya.”

“Kami merasa tidak ada alasan untuk menyembunyikan identitas organisasi kami. Saat itu, kami tidak mengira bahwa akan terjadi prahara yang akhirnya mengancam nyawa kami, atau paling tidak menentukan masa depan kami, dengan akibat yang berkepanjangan.”

Tiga minggu sebelumnya, sekelompok perwira militer Indonesia yang menamakan diri Gerakan 30 September membunuh enam jenderal dalam percobaan kudeta yang gagal. Para pelaku komplotan itu mengeklaim bahwa mereka melindungi presiden pendiri Indonesia, Sukarno, dari faksi militer lain.

Sukarno, yang berusaha memerintah dengan menyeimbangkan paham nasionalisme, Islam dan komunisme, membuat kelompok haluan kanan dan religius di militer marah karena dukungannya terhadap PKI. Faksi militer yang konservatif ini mengambinghitamkan PKI atas usaha perebutan kuasa tersebut dan melampiaskannya dalam gelombang kekerasan yang menghabisi dan menghilangkan satu juta jiwa terduga komunis. Mereka yang di penjara juga mencapai jumlah yang sama.

Tedjabayu merupakan anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, sayap mahasiswa tidak resmi PKI. CGMI merupakan satu dari beberapa organisasi terkait-komunis di masa kejayaan PKI pada awal 1960-an yang beragitasi melawan kekuatan-kekuatan Nekolim—neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme—yang diasosiasikan dengan Amerika Serikat dan Inggris.

“Kawan-Kawan Revolusi”, Sudjojono, 1947, Koleksi Istana Kepresidenan, Jakarta.

Sebuah lagu yang populer di antara anggota CGMI saat itu menyebut Inggris dan Amerika sebagai musuh.

Dengan gagalnya kudeta tersebut, jenderal sayap kanan Suharto pun berangsur menggeser Presiden Sukarno dari kekuasaan. Pada tahun 1966, ia membangun rezim Orde Baru yang condong ke Barat, yang membawanya berkuasa di Indonesia selama 32 tahun.

Nur Hikma Alamsya Putri
Nur Hikma Alamsya Putri
Penulis Pemenang Lomba Menulis Cerpen Tingkat Kabupaten (2014) dan Lomba Menulis Puisi Tingkat Kabupaten (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.