Kamis, Maret 28, 2024

Suharto, Pahlawan tanpa Tanda Layak

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
suharto
historia.id

Sebentar lagi Suharto resmi akan dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Saya jadi ingin bercerita sedikit. Tentang pahlawan kita itu, tentu saja.

Saya ingin bercerita, ada hari-hari di mana orang-orang tak akan sanggup membayangkan sosok Suharto ditabalkan sebagai pahlawan, apa pun yang terjadi. Mereka ketakutan dan, satu hal yang bisa kita pastikan, ditakuti bukanlah kualitas yang wajar dimiliki seorang pahlawan. Ditakuti oleh musuhnya, mungkin, ya. Ditakuti oleh rakyatnya sendiri, tidak.

Suharto, ketahuilah, pernah tanpa beban berujar di depan publik ia dapat menghilangkan anggota MPR apabila menghendakinya. Kata-kata ini disampaikannya dalam pidato tanpa teks membuka Rapat Pimpinan ABRI pada 1980 di Pekanbaru.

“Dua per tiga daripada anggota (MPR) dapat, jika mereka menghendaki, mengubah konstitusi,” ujarnya. “Daripada menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, kami lebih baik menculik seorang dari dua per tiga anggota yang menghendaki perubahan.”

Hal tersebut, memang, pada kenyataannya, tak pernah dilakukannya. Dan gertak sambal ini punya alasannya. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tak lama sebelum itu, walk out dari sidang pembahasan P4 dan Suharto wajar merasa perlu menegaskan kekuasaannya. Namun, dalam pikiran orang-orang saat itu, pelenyapan bukanlah hal yang selalu hanya akan berhenti di kata-kata.

Orde Baru membuktikannya pada kesempatan lain dan tanpa menahan diri. Pada medio 1980-an, para preman kampung dan pasar dihabisi dalam operasi yang kemudian sohor dengan nama Petrus—penembak misterius. Di mana-mana, gabungan anak-anak liar ini diculik. Di pagi harinya, jenazah mereka ditinggal di jalan. Mereka ditembak dengan laras senjata yang tertempel.

Suharto tak pernah membuka keterlibatannya dengan operasi-operasi tersebut. Namun, kata-katanya menunjukkan ia tak pernah menolaknya. Mayat-mayat korban operasi, ujarnya dalam biografinya yang disusun Ramadhan KH, ditinggalkan supaya orang banyak mengerti bahwa ada yang bisa bertindak dan mengatasi perbuatan jahat. “Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu,” tegasnya.

Kita mungkin dapat membela Suharto dengan satu argumentasi padat: ia membutuhkannya. Kelalimannya adalah hal yang dituntut masanya. Suharto naik ke jabatannya dari reruntuhan era-era masa lalu yang tak pernah menjumpai ketenangan politik, dan ketenangan politik tersebut menjadi keseharian yang tak terbantahkan di era Orde Baru.

Lagi pula, kita dapat menambahkan, luruhnya Orde Baru terbukti malah berujung pada keruwetan-keruwetan baru yang menyebalkan. Tanpa pemerintahan yang kita bayangkan tegas, anasir-anasir masyarakat sipil bertindak semaunya sendiri—menjadikan ruang publik tak ayal rimba. DPR, selain menyebabkan pemerintahan acap tersendat, mengabdi hanya untuk kepentingannya atau kepentingan kelompoknya masing-masing.

Pada satu titik kita mungkin pernah tercetus, Orde Baru benar.

Namun, selain saya dapat mengatakan ingatan tersebut jelas-jelas keliru, bukan tanpa alasan mengapa pada satu masa orang-orang pernah berharap mereka bangun untuk mendapati berita Suharto meninggal. Dan, pikiran ini tak bisa dikatakan kejam atau tak pantas karena Suharto sendiri berlaku lebih kejam dan lebih tak pantas.

Pada hari-hari itu, Suharto dan para kroni dapat merampas apa pun yang kita miliki tepat di depan mata kita sendiri—mereka bahkan nyaris tak melakukan apa pun untuk menutupinya. Hutan di Kalimantan digunduli dan tak ada warga yang terlalu naif tak mengetahui ia direboisasi dengan pohon yang berbeda—yang jauh lebih murah kayunya.

Inpres demi inpres digulirkan Suharto dan hampir kesemuanya memastikan proyek-proyek nasional paling menggiurkan jatuh ke tangan putra-putrinya sendiri. Proyek mobil nasional—Timor, kalau Anda masih ingat namanya—dikuasai oleh putranya sendiri, Tommy. Dengan dalih Indonesia belum siap memproduksi mobilnya sendiri, perusahaan Tommy mendapat keleluasaan mengimpor mobil rakitan KIA tanpa bea masuk.

Mobil Timor, akibatnya, dapat dibanderol cukup Rp 35 juta. Setengah dari harga mobil lain sekelasnya. Apabila sukses dan tak dihadang keberatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta krisis, proyek ini bisa membangkrutkan produsen mobil lainnya. Dan keuntungan yang akan didapat Tommy? Entah.

Proyek ini terhenti karena mengganggu kepentingan negara-negara besar—Jepang dan AS. Tetapi, pada saat yang dilalap haknya adalah warga Indonesia, proyek-proyek kalap para kroni Suharto tak terhentikan. Perbuatan baru Tommy seorang saja, misal, menyebabkan petani cengkeh seantero Tanah Air terbelit kemiskinan. Ayahnya—siapa lagi kalau bukan?—memaksa para petani menjual cengkeh kepadanya dengan harga jauh di bawah harga pasar.

Di tengah-tengah hari yang keruh tersebut, Seno Gumira Ajidarma mempersonifikasi Suharto sebagai Paman Gober dalam sebuah cerpennya. Dan, tanpa pernah menjelaskan ia sedang menyinggung siapa, semua orang tahu tokoh Paman Gober hanya dapat merujuk ke satu orang.

“Ibarat kata, uang dicetak hanya untuk mengalir ke gudang uang Paman Gober,” tulis Seno tentang Paman Gober.

Kelaliman Suharto, saya dapat meyakinkan Anda dengan bukti-bukti gamblang tinggal comot, bukanlah kelaliman yang pantas didamba-dambakan. Ia adalah kelaliman yang korup—paling korup mungkin. Dan, kendati dunia telah menjadi saksi kemunculan pelbagai diktator buruk, Suharto adalah yang paling buruk di antaranya. Menurut laporan Transparency International, kekayaan hasil korupsinya mencapai US$15-35 miliar. Sebagai perbandingan, kekayaan penguasa negara kedua paling korup dari Nigeria ditaksir sebesar US$5 miliar.

Pada titik ini, seharusnya tak sulit mengingat kembali apa rasanya menjadi orang awam yang sial harus hidup menjadi warganya. Seseorang tak harus menjadi aktivis terlebih dulu untuk merasakan kesewenangannya. Suharto, toh, mempertunjukkannya dengan gratis dan telanjang.

Dan dengan ketidakberdayaan hanya bisa melihatnya terpilih dan terpilih lagi, kita seharusnya bisa memaklumi mengapa orang-orang pernah mengharapkan ajal menjemputnya selekasnya. Mereka, yang tak bisa melakukan apa-apa lagi terhadapnya, mempercayakan usia untuk melakukan tugas mengambil kekuasaannya.

Dan saya cukup yakin, sosok yang diserapahi demikian pada kebanyakan kasus tak padan dikatakan pahlawan.

Akan tetapi, ada satu fakta yang masih sama dari dulu hingga saat ini—detik ini. Suharto selalu dikelilingi oleh para penjilat. Ia terus memperoleh puja-puji, delapan tahun selepas kematiannya, dan perbuatan ini masih terus menguntungkan para pemujanya tersebut. Dengan bagaimana? Dengan memberikan mereka legitimasi, kepopuleran politik sebagai partainya, institusinya, sanak saudaranya di tengah masyarakat yang kini hanya bisa mengingat ketenangan, ketenteraman Orde Baru.

Mungkin ini mengapa, seakan tak mengindahkan sekelumit kontroversi yang mengiringinya, ia akhirnya tetap menjadi pahlawan nasional. Mungkin ini mengapa, kendati hal ini berarti kita melecehkan kelaliman yang pernah kita alami sendiri, ia tetap yang paling terakhir tertawa.

Yang terakhir tertawa, kata pepatah, tertawa bahagia. Bukan kita.

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.