Dikatakan bahwa pembangunan yang tepat adalah tidak semata memajukan aspek ekonomi namun mampu memajukan seluruh aspek kehidupan manusia ke arah yang lebih baik (Stiglitz, 2013). Pengertian ini bersinergi dengan program Target Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDGs) yang dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Diharapkan program ini dijalankan oleh seluruh negara yang menjadi anggota PBB, namun apakah nilai serta semangat yang diusung oleh SDGs ini mampu berjalan seiring dengan nilai dan tujuan dari pemerintah dari masing-masing negara? Hal ini penting karena pembangunan mesti dilakukan oleh kita dan dari kita, from people and by the people (Slim, 1995). Berlandaskan pada semangat inklusif tulisan ini bertujuan untuk menggali koneksi antara UUD’45, Pancasila dan SDGs.
Sebenarnya, dengan melakukan tugas utamanya sesuai dengan UUD’45 maka pemerintah Indonesia secara tidak langsung berkontribusi terhadap pencapaian program Sustainable Development Goals. Apakah tugas utama dari pemerintah Indonesia?
Berdasarkan pada paragraph pembukaan UUD ’45: “[..] untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia […]”.
Lalu, dari mana kita harus memulai untuk membuat program yang sifatnya inklusif dan holistik? Para pemimpin bisa berkaca pada sila kelima Pancasila kita: keadilan sosial dengan berfokus pada penurunan tingkat kesenjangan sosial di dalam masyarakat.
Program bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar yang berfokus pada hak dasar manusia; kesehatan dan pendidikan, ini patut diapresiasi. Dikarenakan, tujuannya sejalan dengan UUD ’45 yaitu proses mencerdaskan dan menyejahterakan bangsa.
Dari tahun 2014 hingga saat ini, angka partisipasi sekolah berdasarkan umur di Indonesia mengalami peningkatan dari 98,83 persen ke 99,08 persen (7-12 tahun), 94,32 persen ke 94,98 persen (13-15 tahun), 70,13 persen ke 71,20 persen (16-18 tahun), dan 22,74 persen ke 24,67 persen (18-24 tahun). Terlepas dari peningkatannya, fase perguruan tinggi (18-24 tahun) persentasenya masih rendah dibanding fase lainnya.
Pemerintah perlu menjadikan pendidikan tinggi terjangkau bagi masyarakat guna meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, karena dengan pendidikan masyarakat dapat memperoleh pekerjaan sebagai sumber penghasilannya sehingga dapat memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Aspek lain yang berkontribusi positif terhadap tingkat kesejahteraan kita adalah kesehatan.
Melalui Kartu Indonesia Sehat, kita bisa menikmati manfaat dari program Jaminan Kesehatan Nasional, yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Program yang terus mengalami peningkatan sebesar 29,65 persen sejak 2015 lalu ini telah mencapai 203,28 juta peserta pada Oktober 2018.
Selain itu, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut juga terus dibangun dan meningkat jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah saat ini sudah serius dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat dari pembukaan UUD ’45.
Diharapkan dampak dari dua program tersebut tidak hanya mampu mengurangi tingkat kesenjangan sosial dan jumlah orang miskin, namun juga dengan warga negara yang terdidik dan memiliki kesehatan yang baik. Tentunya dapat menambah produktifitas negara dan menciptakan situasi sosial yang positif.
Kita bisa bayangkan sebuah masyarakat yang aktif dan hidup rukun serta harmonis tanpa adanya konflik yang bersumber dari iri hati karena tingginya tingkat kesenjangan sosial dan kemiskinan. Dengan pendidikan dan institusinya yang terbuka dan bersumber pada budaya, maka masyarakat akan terbiasa dengan diskusi dan perbedaan pendapat sehingga mampu menerima perbedaan dan tidak mudah diadu domba.
Dari dua kebijakan mendasar ini, pemerintah mampu memberi dampak yang sejalan dengan beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh PBB. Seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, mengurangi ketimpangan, serta kesehatan dan kesejahteraan yang menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Ditambah lagi, Presiden Jokowi yang tengah sibuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia guna memberikan akses bagi masyarakat dan berfokus pada pengembangan sumber daya manusia Indonesia, tentunya akan meningkatkan kontribusi kita sebagai bangsa terhadap tujuan global pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita menjadi bangga sebagai bangsa karena tidak hanya mampu mengamalkan sila kelima Pancasila: keadilan sosial dan menjalankan amanat UUD ’45, namun juga mampu berpartisipasi terhadap tujuan global.
Penulis berharap kepada para pemimpin dan calon pemimpin di tahun 2019 ke depannya untuk kembali berkaca dan memahami isi pembukaan UUD ’45, di mana tujuan pemerintah sudah diamanatkan dan membangun program dengan tujuan-tujuan tersebut dan berdasar pada Pancasila.
Gali dan cari inspirasi dari dasar negara kita dalam membuat program politik ekonomi untuk rakyat, bukannya menggoreng isu yang memecah belah untuk kepentingan pribadi. Untuk rakyat, janganlah sudi dibodohi dan jadilah jernih dalam memahami bahwa negara ini dibangun atas semangat gotong royong dan persatuan, serta pilihlah pemimpin yang memiliki program yang pro pengembangan manusia dan pelestarian lingkungan. Bukan semata pada kesamaan suku, ras, dan agama karena itu bukan jaminan yang mutlak. Tetaplah bersatu demi tujuan kita sebagai bangsa Indonesia yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber:
Stiglitz, J. (2013). Making Globalization Work
Slim, H. (1995). What Is Development? Development in Practice,5(2), 143-148.