Senin, Oktober 7, 2024

Antara Penyelenggaraan Negara Darurat dan Perampasan HAM

Edmond Wangtri Putra
Edmond Wangtri Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Keadaan darurat ketatanegaraan atau State of Emergency dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dalam dinamika kenegaraan di mana konstitusi tidak berlaku secara sebagian karena adanya kondisi darurat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara. [1] Keberadaan dari kondisi darurat ini sendiri memberikan hak-hak darurat kepada negara. [2] Indonesia sendiri dahulu dikatakan sempat memberlakukan keadaan darurat ketatanegaraan pada 1959 di mana Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. [3] Hal ini terjadi karena Dewan Konstituante gagal merumuskan UUD pengganti UUDS.

Berdasarkan Pasal 1 dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1997 tentang Keadaan Bahaya (Perppu No. 23 Tahun 1959), penetapan dan pencabutan dari keadaan darurat ini sendiri hanya dapat dilakukan oleh Presiden ataupun Panglima Tertinggi Angkatan Perang.[1] Dalam Pasal 1 juga dibahas mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk menetapkan keadaan darurat. Kondisi tersebut di antaranya adalah keamanan di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan ataupun bencana alam, timbulnya perang, ataupun adanya gejala khusus yang dapat membahayakan hidup negara.[2] 

Akan tetapi, munculnya keadaan darurat negara menciptakan permasalahan mengenai perampasan Hak Asasi Manusia (HAM) melalui pembentukan regulasi yang cepat dan tanpa partisipasi dari masyarakat atas nama keadaan darurat kenegaraan. Hal ini menjadi permasalahan dalam ilmu ketatanegaraan khususnya ketika dalam masa darurat. Hal ini juga diperparah dengan kemampuan pemerintah melindungi HAM karena dalam situasi mendesak bisa saja terjadi pelanggaran HAM. Oleh karena itu, perlu pembahasan lebih lanjut mengenai status darurat negara dalam kacamata pembentukan regulasi dan perlindungan HAM.

Efektivitas pembentukan regulasi sebenarnya bisa saja meningkat tatkala terjadi keadaan darurat ketatanegaraan. Misalnya, jika melihat Martial Law atau hukum tata negara darurat di Amerika yang memang tidak dinyatakan secara eksplisit di konsititusi Amerika Serikat.[1] Namun, jika memang keadaan genting, maka pemerintah Amerika Serikat boleh memberlakukan Martial Law. Dalam hal pemberlakuan Martial Law, Presiden Amerika bisa melakukan segala cara untuk melakukan intervensi. Bahkan, dalam permberlakuannya, pemerintah Amerika Serikat boleh menggunakan tentara untuk daerah yang dianggap rawan.[3] Penerapan Martial Law di Amerika Serikat ini jelas memberikan keleluasaan bagi pemerintah Amerika Serikat untuk bertindak.

Selain Amerika, Malaysia juga memiliki hukum yang mengatur mengenai sistem darurat negara. Dalam sejarahnya sendiri, Malaysia lima kali memberlakukan sistem negara darurat, yaitu pada tahun 1948, 1964, 1966, 1969, dan 1977. Pada awalnya, dalam konstitusi Malaysia banyak sekali pembatasan terhadap badan legislative dan konstitutif. Namun, pembentuk Konstitusi 1957 memasukkan dua pasal tentang keadaan genting, yaitu Pasal 149 dan Pasal 150.

Pasal 149 sendiri memberikan kekuasaan khusus kepada parlemen untuk membentuk hukum dalam menghadapi subversi dapat berlaku sebelum pemberlakuan sistem negara darurat. Sedangkan Pasal 150 sendiri memberikan kekuasaan kepada eksekutif ataupun legislatif dalam menghadapi keadaan darurat. Dalam keadaan darurat, Pasal 150 ayat 6A memperbolehkan untuk memberlakukan hukum yang berlawanan dengan konstitusi, tetapi tidak boleh berlawanan dengan kebiasaan masyarakat ataupun hukum Islam.

Di Indonesia sendiri, pemberlakuan sistem negara darurat juga dapat menimbulkan dampak yang signifikan dalam pembentukan regulasi. Di saat pemberlakuan sistem negara darurat, pemerintah memiliki beberapa hak istimewa yang diatur dalam Perppu No. 23 Tahun 1959. Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi (UU No. 27 Tahun 1997) juga menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, Presiden dapat mengadakan mobilisasi milier.

Dengan hak-hak tersebut, pemerintah dalam keadaan negara darurat tentunya dapat memutuskan pembuatan regulasi dengan lebih mudah. Pembentukan regulasi di kala kondisi negara keadaan darurat dapat dilakukan oleh Presiden melalui pembentukan Perppu. Namun, dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 telah diatur bahwa Perppu yang dibentuk harus mendapatkan persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan harus dicabut jika memang tidak mendapatkan persetujuan DPR.

Akan tetapi, pembentukan Perppu yang dipermudah di kala keadaan darurat juga menimbulkan suatu permasalahan, yaitu perampasan HAM. Dalam kondisi sistem negara darurat, besarnya kekuasaan pemerintah bisa digunakan untuk mengeluarkan regulasi yang bisa menekan rakyatnya.

Pemerintah melalui regulasi yang ada juga dapat melakukan hal yang semena-mena, misalnya pemerintah mengadakan regulasi untuk memberhentikan setiap perkumpulan yang tidak sesuai dengan pandangan politis pemerintah. Hal ini tentunya sudah merupakan pelanggaran HAM, tepatnya pelanggaran Pasal 28E ayat (3) tentang Kebebasan Berkumpul, Berserikat, dan Menyatakan Pendapat. Efektivitas pembentukan regulasi mungkin saja tercapai karena besarnya wewenang yang dimiliki oleh pemerintah, tetapi efektivitas dari regulasi itu tidak bisa tercapai karena adanya penolakan dari masyarakat.

Pada akhirnya, kebebasan pemerintah dalam pembentukan regulasi dalam kondisi sistem negara darurat tentunya diperlukan. Hal ini harus ada demi efektivitas pembentukan regulasi dengan cepat untuk menangangi kedaruratan yang ada. Dibutuhkan reaksi yang cepat dan tepat dari pemerintah dalam penanganan keadaan darurat negara.

Namun, kebebasan ini juga harus memperhatikan perlindungan HAM dari masyarakatnya. Jangan sampai kebebasan dalam pembentukan regulasi ini berdampak pada penciptaan regulasi yang menggerus HAM warga negara Indonesia. Di sinilah peran DPR sebagai pengawas Perppu keluaran Presiden menjadi penting guna memastikan tidak ada regulasi di kondisi negara darurat yang memungkinkan pemerintah untuk menggerus hak-hak rakyat.

Edmond Wangtri Putra
Edmond Wangtri Putra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.