Sabtu, April 20, 2024

Antara Konflik, Kepercayaan, dan Drama Penculikan

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Novel dengan latar sejarah sedang digandrungi akhir-akhir ini. Di samping Kura-Kura Berjanggut, pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2018 kategori prosa, pencinta karya kreatif tentu tak boleh jua melewatkan novel berlatar sejarah yang satu ini. Tiba sebelum Berangkat, yang juga masuk nominasi KSK 2018, merupakan novel etnografi yang dituturkan secara komprehensif dan berkelindan.

Sang penulis, Faisal Oddang, pernah mengatakan bahwa selama ini sejarah Sulawesi Selatan, setting pengisahan novel ini, hanya diceritakan melalui orang luar. ”Sangkaan” Faisal tentu langsung bisa ditebak: sejarah hanya ditulis dari perspektif pemerintahan dan mayoritas orang Jawa alias Jawasentris.

Dengan sudut pandang penulis yang masa lalunya dilalui dengan fragmen sejarah itu, narasi yang dituturkan begitu intim, emosional, dan agak sentimental. Ia menghadirkan cerita dari perspektif orang Indonesia Timur. Ada sedikitnya tiga kisah yang saling bersangkut paut dalam warita ini: penyiksaan Mapata, perseteruan pasukan gerilya/gurilla versus tentara Jawa, dan puncaknya murka seorang bissu terhadap gurilla.

Cerita diawali dari drama penculikan terhadap bissu Mapata. Dalam kepercayaan suku Bugis, bissu merupakan tokoh adat utusan dewa. Ia adalah gender kelima setelah laki-laki, perempuan, laki-laki setengah perempuan, dan perempuan setengah laki-laki. Akan tetapi, kalangan muslim khususnya tidak sependapat dengan itu. ”Bissu dianggap menyimpang dari agama mayoritas orang Sulawesi Selatan atau sebutlah menyimpang dari ajaran Islam yang sangat dijunjung tinggi itu, maka bissu seperti musuh atau dianggap kafir dan darahnya halal…” (hal 21).

Atas dasar itu pulalah bissu Mapata kemudian diculik oleh sindikat penculikan dan penjualan organ manusia yang dihulubalangi Ali Baba. Mereka menganggap bissu Mapata dan kolega mendirikan sebuah organisasi terlarang. Cerita selanjutnya sungguh suram, baik kejadian yang dialami bissu maupun memori dalam catatan-catatan yang dibuatnya. Gambaran-gambaran sadis penculik terhadap bissu membuat saya teringat dengan Laut Bercerita yang juga memuat drama penculikan dan penyanderaan.

Secara garis besar, cerita yang disampaikan Mapata berkutat pada perseteruan tentara DI/TII melawan tentara Jawa atas nama Republik Indonesia. Kemudian, ada pasukan gerilya atau gurilla melawan penguasa. Pasukan gerilya bergabung dengan Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Kartosuwiryo dan lantas disebut gurilla.

Kahar Muzakkar pada 1950 bergabung dengan DI/TII dan mengobarkan api pemberontakan kepada pemerintahan. Mereka lantas berseteru dan melawan tentara Jawa. Rakyatlah yang selalu menjadi korban. Hidup mereka sangat tersiksa.

Bahkan, konon, jika tentara Jawa datang, mereka harus pura-pura membenci gurilla. Dan sebaliknya, jika tentara gurilla yang muncul, berhamburanlah segala bentuk cacian kepada tentara Jawa. ”Rakyat biasa ibarat tikus di tengah perkelahian dua kucing yang siap memangsanya.” (hal 75).

Tujuan gurilla atau DI/TII melawan tentara Jawa hanya satu. Mereka tidak sepakat jika Sulawesi Selatan ini lebih banyak dipimpin orang Jawa.

Puncak konflik muncul ketika rumah arajang, kediaman para bissu, pada suatu ketika dibakar oleh gurilla. Tentara gerilya ini geram lantaran bissu masih mengadakan hajatan yang dinilai menyimpang, tapi hajatan itu atas permintaan warga. Melihat itu, Puang Rusmi, bissu yang dihormati kala itu, marah besar dan berencana untuk balas dendam.

Judul novel ini diambil dari salah satu bab. Tiba sebelum berangkat, menurut Faisal Oddang dalam sebuah kesempatan, semacam bahasa tasawuf orang Bugis. Menurut kawan dari Makassar yang kuliah di Jawa, beberapa perantau senantiasa diberi nasihat orang tuanya untuk menetapkan niat dan tujuan ketika bepergian. Kalau memang untuk belajar, belajar yang giat. Kalau bekerja, bekerja yang sungguh-sungguh. Segala hal harus sudah siap sebelum berangkat. Begitulah kira-kira tafsirnya.

Dalam novel ini, kredo itu dihayati betul oleh bissu Rusmini. Merelakan tidak sama dengan melupakan. Bissu Rusmi boleh merelakan bissu dan rumah arajang luluh-lantak, tetapi ia sulit untuk melupakan kejadian itu. Dan karena itulah, tiga hari setelah pembantaian TII tersebut, bissu Rusmi mulai memikirkan cara untuk melakukan pembalasan. Rusmi kemudian membenahi dirinya sehingga menjadi laki-laki. Dia telah mempersiapkan segala hal. Pernyataan kepercayaan orang Bugis, tiba sebelum berangkat, diuraikan secara kronologis dalam fragmen berikut.

”Ketika beranjak dari rumah Rabiah, dia telah berangkat sebagai seorang lelaki, dia akan berangkat sebagai orang yang selamat. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya melalui hidung –dirasakannya napas yang keluar panas dan lebih berat keluar melalui lubang hidung yang kiri.

Saya tidak ingin berangkat sebagai perempuan. Dia mundur, kemudian memperbaiki posisi duduk dan ingatannya. Dia konsentrasi. Dia mengulangi lakuan yang sama berkali-kali –dan baru pada kali ketiga napasnya terasa lebih banyak melewati lubang hidungnya yang kanan. Sudah laki-laki, batinnya. Saya tidak akan berangkat sebelum sampai di tempat tujuan, saya tidak akan bertarung sebelum selamat lebih awal. Dia melihat dirinya berjalan menyusuri jalanan kampung.

Dia melihat dirinya tiba di bawah pohon ketapang. Dia melihat dirinya menikam, lalu merobohkan TII satu per satu. Dan dia melihat dirinya selamat, kembali ke rumah Rabiah –semua yang dia lihat dihirupnya dalam-dalam masuk ke dalam tubuhnya seiring tarikan napas yang ia rasa sungguh sejuk. Ketika melangkah menuruni anak tangga yang pertama, bissu Rusmi melangkah sebagai laki-laki dan melangkah sebagai orang yang akan selamat. Dia telah tiba sebelum berangkat…” (hal 131).

Cerita mengenai drama penculikan ini berkaitan erat dengan konflik antara pasukan gerilya/gurilla alias TII melawan tentara Indonesia serta kepercayaan adat yang masih dianut warga Bugis. Agak sensitif, memang, mengisahkan sejarah masa lalu yang kisahnya bahkan masih terasa hingga kini. Apalagi berkaitan dengan gender, kepercayaan, lebih-lebih agama. Atau, lebih lengkapnya berputar pada wilayah politik, sejarah, drama cinta, agama, persamaan gender, budaya, adat istiadat, sampai kearifan lokal.

Kesulitan tentu juga dialami Faisal manakala ia harus menceritakan secara objektif dan menempatkan emosi secara proporsional dalam menganyam kata demi kata. Pada akhir tulisan di novel, Faisal tak lupa meluruskan bahwa novel ini ditulis tanpa maksud menyinggung pribadi atau golongan tertentu. ”…Tiba sebelum Berangkat seutuhnya merupakan karya fiksi, tak ada kejadian nyata di dalamnya,” tulis Faisal.

Menurut penuturan pria yang karya puisinya, Manurung, juga masuk nominasi KSK 2018 ini, dirinya harus melalui riset berkali-kali untuk mencari satu rangkaian kisah yang utuh dan kohesif.

Kelindan yang utuh dari satu narasi ke narasi lainnya, konflik yang membuntang secara simultan dan berkesinambungan, plus diksi-diksi yang dipilih mudah dimafhumi karena tidak menggunakan banyak term lokal membuat novel berlatar etnografi ini layak untuk dijadikan rujukan prosa kiwari. Ketika mulai merapal eksemplar demi eksemplar, pembaca budiman dipastikan enggan untuk mencampakkannya walaupun sejenak.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.