Sabtu, April 20, 2024

Antara Eksistensialisme dan Mulla Shadra (1)

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.

Mendialogkan Mulla Shadra dengan pemikirannya sama dengan menguraikan seluruh pemikiran yang pernah hidup dalam Islam, paling tidak pada tradisi Filsafat, Kalam, dan Tasawuf. Karena itu, membicarakan Shadra berarti membicarakan ketiga disiplin itu. Asumsi ini berlaku juga untuk membicarakan tentang konsep wujud yang merupakan tema fundamental dalam filsafat Islam.

Filsafat wujudiyah (Eksistensialisme) yang sering diatributkan kepada Shadra adalah, tema filosofis-metafisis yang sejak sebelas abad sebelum kemunculan Shadra telah dibicarakan oleh para filosof klasik sejak Aristoteles. Buku-buku magnum opus seperti al-Syifa karya Ibn Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi, bahkan buku-buku kalam Nasiruddin Thusi menempatkan wujud sebagai tema pentingnya.

Bernama lengkapnya, Muhammad Ibn Ibrahim al-Quwami al-Shirazi, yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra terutama di Persia, Pakistan, dan India. Ia juga bergelar sadr al-Dien (Pundit of Religion) atau Pemuka Agama dan bergelar Sadr al-Mutallihin. Kehadiran Mulla Shadra (1572-1640 M) dalam debat tentang wujud, diklaim banyak kalangan sebagai kompromi yang mengagumkan.

Shadra dengan filsafat hikmahnya (Filsafat hikmah secara umum beranggapan bahwa kebenaran yang bersifat mistis dapat dijelaskan dan diungkapkan serta diverifikasi lewat suatu perumusan secara diskursif-demonstrasional.

Aliran filsafat ini juga disebut “Teosofi Transendent” (al-Hikmah al-Muta’aliyah) dengan tokoh utamanya adalah Mulla Shadra) mengajukan tawaran yang bersifat sintesis-kompromistis dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya tetapi tetap memiliki kemandirian, untuk tidak mengatakan keberpihakan dengan salah satu pemikiran yang hidup sebelumnya.

Fazlur Rahman mengatakan bahwa, Shadra memiliki posisi istimewa, dan menandai perkembangan menentukan dalam lanskap filsafat Islam. Keistimewaan itu terletak pada kenyataan bahwa, ia tidak hanya melakukan rekonsiliasi atau kompromi atas arus-arus pemikiran yang berkembang pada zamannya, tetapi bahkan melakukan sintesis yang orisinil lagi solid atas arus-arus pemikiran yang sebelumnya selalu dipandang sebagai saling berlawanan itu.

Sayyid Husen Nasr juga mengatakan bahwa, keunggulan Shadra adalah menggabungkan tiga tradisi pengetahuan sekaligus melakukan terobosan baru dalam Filsafat Islam: “These three path are according to him revalition (al-Wahy), demonstration or intellection (al-Burhan, al-Ta’aqqul), and spiritual or mystical vision (al-Mukasyafah, al-Musyahadah). 

Diskusi tentang wujud, apa sesungguhnya yang menjadi inti persoalan? Sebagian mengatakan bahwa persoalan pentingnya terletak pada realitas fundamental (as-salah) dari wujud dan mahiyah, yaitu pertanyaan: antara keduanya, manakah yang fundamental secara ontologis (asli)? Jika dipilih salah satunya maka, yang lainnya hanyalah bersifat i’tibari, atau hanya merupakan konsep yang tidak secara langsung berkaitan dengan realitas eksternal yang konkrit.

Terhadap pembedaan antara wujud dan mahiyah, para filosof Muslim terbagi menjadi dua: pertama, kelompok yang mendukung prinsip as-salah al-mahiyah (realitas yang fundamental adalah mahiyah); dan ke dua, kelompok yang mendukung prinsip al-salah al-wujud (realitas yang fundamental adalah wujud, sedangkan mahiyah adalah hanya i’tibari atau abstraksi mental semata).

Untuk membedakan wujud dan mahiyah, biasanya wujud merupakan jawaban dari pertanyaan: “adakah”, sedangkan mahiyah untuk menjawab pertanyaan; “apakah”. Dengan kata lain, wujud merupakan keber-“ada”-an sesuatu, sedangkan mahiyah merupakan ke-“apa”-an sesuatu. Misalnya dinyatakan kalimat, “Kuda itu maujud”. Di sini kuda dikonotasikan sebagai mahiyah dan maujud diartikan sebagai wujud.

Agar tidak keliru memahami kata eksistensialisme dalam filsafat Islam, maka perlu dibedakan dengan eksistensialisme Barat. Eksistensialisme yang sering diatributkan kepada Filsafat Barat yang diwakili oleh para filosof seperti Keirkegaad, Jean Paul Sartre, atau Heidegger, bahwa eksistensialisme Barat tak lebih dari sekedar sebuah pendekatan untuk mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat.

Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yaitu materialisme dan idealisme. Sementara eksistensialisme Islam adalah, sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the ulitame Reality).

Wujud: dari Aristoteles hingga Mulla Shadra

Tak sedikit kalangan menyebut bahwa, untuk menyelami pemikiran Shadra, pertama-tama harus mengelaborasi tradisi pemikiran yang berkembang sebelumnya. Shadra sendiri, dalam amatan Sayyed Husen Nasr, memiliki banyak pengetahuan tentang filsafat, tasawuf irfan dan kalam yang diadopsi dari gurunya, baik langsung maupun tidak langsung.

“Ia mengenal filsafat Paripatetik (masha’i) dengan baik, terutama pemikiran Ibn Sina, yang Shifa’. Dia menulis komentar utama. Dia juga tahu betul dengan surat Paripatetik, seperti Nasir al-Din Suchi dan athur al-Din athari, atas siapa al-Hidayah (Pemimpin). Dia juga seorang ahli pemikiran Iahraq dan menyalin sejumlah resital visioner Suhrawardi di tangannya sendiri, serta menulis komentar utama dalam bentuk terjemah pada Hikmat al-Isyraq (Teosofi dari Orientasi Cahaya) dari master sekolah iluminasi. Dia juga fasih dalam kalam atau teologi Sunni dan Syi’ah. Yang paling penting untuk mewujudkan penguasaan Mulla Shadra atas doktrin tasawuf atau gnoses terutama seperti yang dipikirkan oleh Ibn Arab.”

Ungkapan Nasr di atas mengindikasikan bahwa sumber-sumber pemikiran Shadra dapat dilacak dari; teologi dialektik (ilmu kalam), Paripatetisme (masya’iyyah), Illuminasionisme (isyraqiyah), dan sufisme atau teosofi (tasawuf atau irfan), khususnya yang dikembangkan Ibn Arabi. Karena itu, mendiskusikan wujud, tidak dapat dilepaskan dari keberagaman pendapat mereka, sungguhpun, dalam kerangka ini, ilmu kalam hanya mendapat porsi sedikit dibandingkan pendirian paripatetisme dan iluminasionisme.

Perlu di ingat bahwa, metafisika menurut Aristotels adalah studi tentang maujud sebagai maujud. Salah satu teori metafisika Aristotels yang penting seperti yang dikutip Frederick Mayer bahwa “matter” dan “form” itu bersatu; matter memberikan substansi sesuatu, form memberikan pembungkusnya.

Setiap objek (maujud) terdiri atas matter dan form. Dalam persoalan wujud, Aristotels, dalam Metaphysices, seperti dikutip Fazlur Rahman, menegaskan bahwa wujud tidak dapat menjadi genus, karena genus dan deferensia masing-masing dapat digambarkan sebagai sesuatu yang ada dan ke-ada-an ini meliputi segala sesuatu, baik yang konseptual maupun yang riil.

Pandangan inilah yang kemudian hari dirujuk Shadra untuk membedakan wujud murni dengan wujud lainnya. Lantas, bagaimana dengan Paripatetik yang diklaim sebagai Aristotelian dalam persoalan wujud? Tentu saja, sebagai pengikut Aristoteles, mazhab Paripatetik berpendapat bahwa wujudlah yang prinsipil dalam realitas objektif dan quiditas (mahiyah, esensi) hanyalah sekedar abstraksi mental. Para filosof Paripatetik seperti, Al-Farabi dan Ibn Sina mengatakan bahwa, wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu yang disebut wujud (eksisten).

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai wujud adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (esensi). Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud agar ia bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah memperoleh partikulasinya di dunia realitas. Karenanya, yang prinsipil adalah wujudnya (eksistensinya).

Konsep dualitas antara wujud dan mahiyah ini kemudian ditolak secara tegas oleh Suhrawardi dan Isyraqiyyun. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai maujud (eksisten) di dunia realitas adalah wujud itu sendiri. Bukan asalnya mahiyah yang hampa dari wujud, dan kemudian ia memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, jika demikian, menurut Suhrawardi wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberi nya eksistensi; hingga tak ada akhir.

Karena itu, baginya yang konkrit adalah maujud itu sendiri. Kata wujud adalah merupakan abstraksi akal saja. Suhrawardi, sebagai pemegang prinsip as-salah al-mahiyah berpendirian bahwa yang benar-benar riil secara fundamental adalah mahiyah (esensi). Klaim inilah yang di belakang hari mendapatkan kritik tajam dari Mulla Shadra. Debat pembedaan antara wujud dan muhiyah, akan lebih seru jika menunjukkan sosok Suhrawardi yang esensialis dan Mulla Shadra yang eksistensialis. Sungguhpun, Shadra nantinya mendamaikan seluruh pemikiran sebelumnya, termasuk pemikiran Suhrawardi.

Dalam mengajukan pendapatnya, Suhrawardi memulai dengan prinsip “la yalzimu min al-Taghayur al-dzihny al-Taghayur al-aini” (Suatu pembedaan bersifat mental tidak berarti pembedaan secara riil). Artinya, dua hal yang secara konseptual bisa dibedakan satu sama lainnya, tidak harus menunjukkan bahwa keduanya juga berbeda secara konkrit. Atas dasar ini, ia berpendapat bahwa pembedaan antara mahiyat dan wujud hanyalah pada tingkat konseptual.

Sedangkan di dunia eksternal yang konkrit, keduanya satu realitas yang tunggal. Dalam realitas eksternal, yang dimaksud dengan wujud tidak lain adalahmahiyat yang telah teraktualisasi. Jadi, secara fundamental, mahiyat adalah yang riil, dan ketika realitas fundamental dari mahiyah tersebut dikonseptualisasikan, muncullah konsep wujud.

Menurutnya, jika wujud bukan merupakan sesuatu yang i’tibari tetapi sesuatu yang riil dalam dunia obyektif, tentulah ia harus teraktualisasi. Ini berarti bahwa wujud memiliki wujud, dan demikian seterusnya sampai tidak terbatas. Tentu hal ini merupakan kemustahilan. Argumen ini sepenuhnya diajukan untuk mengkritik pendirian kaum Paripatetik dan Sufi yang mengatakan bahwa, mahiyah hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental dan yang berhubungan dengan realitas eksternal adalah eksistensi; maka mazhab Isyqraqi memberikan jawaban sebaliknya.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid, sekaligus kader PMII Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Penikmat kajian keislaman dan filsafat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.