Sabtu, April 20, 2024

Antara Anak-Anak, Kita dan Tentara

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)

Tentara itu memang selalu “menginspirasi”. Bagi warga sipil, mulai dari usia SD sampai SMA. Bahkan sampai level Ormas Pemuda dan Agama.

Belajar kepemimpinan pada tentara. Ospek yang dibungkus pendidikan karakterpun, dilakukan di markas tentara. Pesertanya tak tanggung-tanggung, para mahasiswa.

Tanpa kita sadari hubungan keterikatan psikologis antara para Generasi Z termasuk Generasi Milenial dengan institusi tentara, sebenarnya sudah mulai terbentuk ketika mereka sekolah dasar. Bahkan sampai SMA dan perguruan tinggi. 

Buktinya adalah para siswa/siswi SD-SMA di seluruh wilayah nusantara ini, acap kali mengadakan pelatihan dasar kepemimpinan sekolah (dikenal dengan istilah LDKS) dan kegiatan serupa lainnya. Satuan-satuan TNI sering dipakai sebagai tempat LDKS/Latihan Kepemimpinan para siswa. Mulai dari unsur pelatih, tempat sampai kepada materi LDKS, semuanya diserahkan oleh sekolah kepada tentara.

Para siswa belajar kepemimpinan pada tentara. Perihal kedisiplinan, pengabdian, ketegasan, tanggung jawab, cinta tanah air, rasa persatuan dan kejuangan. Tentara adalah teladan atau role modelnya.

Inilah fakta sosial yang tak bisa dibantah, yang menunjukkan jika imajinasi siswa dan sekolah kita tentang kepemimpinan, ketegasan, kedisiplinan, penanaman rasa kebangsaan dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building), ada pada institusi tentara.

Menonton Film G30S/PKI, tentara sukses memobilisasi warga, termasuk para siswa. Para siswa makin dekat dengan tentaranya.

Menonton Film G30S/PKI ini, karena perintah langsung Panglima. Disambut antusiasme prajurit dan warga. Berbondong-bondong ke markas tentara. Mata mereka menatap ke layar yang sama. Sangat besar ukurannya. Ditemani pisang dan kacang rebus yang sudah tersedia.

Walaupun di film yang katanya propaganda Orba, pelaku pembantaian para jenderal ini juga adalah para tentara. Namanya Tjakrabirawa. Letkol Untung komandannya.

Karena PKI menyusup ke tubuh tentara. Merusak pikirannya tentang negara. Menyebarkan ideologi jahanam, komunisme sebutannya. Yang berperan menumpas PKI pun adalah para tentara. RPKAD satuannya. Sarwo Edhi komandannya. Itu ceritanya versi tentara.

Kadang teringat, Tan Malaka pun dieksekusi oleh tentara. Di Selopanggung nama desanya. Pelanggaran HAM berat masa lalu, pelakunya juga tentara. Karena mengikuti perintah yang berkuasa. Tapi itu dulu, cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita.

Menonton Film G30S/PKI, mengundang animo para siswa, di lapangan dan markas-markas tentara. Di seluruh pelosok nusantara. Para siswa tampaknya makin kagum saja kepada tentara.

Para orang dewasa, yang tergabung dalam Organisasi Pemuda & Agama, juga terkagum-kagum pada tentara. Mereka dilatih oleh tentara. Sampai-sampai pakaiannya pun menyerupai baju tentara. Lihat saja warna loreng dan baretnya.

Tak ketinggalan, orang-orang partaipun dilatih kesiapsiagaan, ketangkasan dan kedisiplinan oleh tentara. Sekolah bela negara katanya, tapi diisi oleh purawirawan tentara. Mirip sekali dengan tentara, lihat saja pakaian dan kostum resminya. Bahkan tertulis provost  di lengannya. Persis sekali tentara.

Meneriakkan yel-yel meniru tentara. Latihan baris-berbaris pada tentara. Upacara adalah ritual wajibnya. Semuanya berguru pada tentara.

Tak lupa, para calon pegawai negara pun dilatih wawasan kebangsaan, mental dan fisiknya oleh tentara. Prajabatan sebutannya.

Bahkan, resepsi pernikahan warga sipil pun di gedungnya tentara. Mungkin karena murah biayanya atau luas parkirannya. Mungkin juga karena aman penjagaannya. Pastilah karena tak ada yang berani pada tentara.

Terkadang, di kampung-kampung dulu jika anaknya sedang nakal, orang tua akan menakutinya dengan berkata, “Awas tu, ada Pak Tentara! Nanti ditangkap. Jangan nakal lagi, ya!” Seketika nakalnya mereda. 

Tapi lucunya, ketika di sekolah, anak ini ditanya oleh gurunya, “Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti, Nak?” Lantas bocah cilik ini menjawab dengan pede-nya, “Bu Guru, saya ingin jadi tentara!”

Apa mau dikata? Kita memang suka meniru-niru tentara. Bercita-cita menjadi tentara. Warga sipil yang berwatak dan bergaya tentara. Berimajinasi seolah-olah menjadi tentara. 

Keberadaan tentara bagi warga negara masih sebagai lembaga yang paling dipercaya. Seperti hasil survei CSIS (2015), kepercayaan rakyat kepada tentara adalah 90% berada di posisi teratas lalu disusul KPK. Begitu pula hasil survei SMRC (2016). 

Kepercayaan rakyat kepada TNI tertinggi, sebesar 89,6% berada di atas DPR, Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian bahkan KPK. Itu pertanda jika tentara masih dipercaya oleh rakyat. Bukti bahwa tentara benar-benar manunggal dengan rakyatnya.

Itulah sekelumit kisah tentang anak-anak, kita dan tentara. Di negeri yang berasaskan Pancasila.

Tapi satu pertanyaan siswaku yang tersisa. “Pak guru, kenapa instruksi nonton bersama Film G30S/PKI ini, baru diperintahkan Panglima tahun sekarang ya?

Silakan dijawab, Pak Panglima!

Jika tentara itu memang manunggal dengan rakyatnya…

Satriwan Salim
Satriwan Salim
Penulis adalah guru di SMA Labschool Jakarta. Organisasi: Saat ini sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G); Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia/FSGI (2017-2020); Plt. Ketua Umum Serikat Guru Indonesia/SEGI Jakarta (2017-2020); Pengurus Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI); dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Guru PPKn Indonesia/AGPPKnI (2019-2024). Karya Buku: 1. Judul: Guru Menggugat! (Penerbit Indie Publishing, 2013) 2. Judul: Guru untuk Republik, Refleksi Kritis tentang Isu-isu Pendidikan, Kebangsaan dan Kewarganegaraan (Penerbit Indie Publishing, 2017)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.