Jumat, November 8, 2024

Anda Tahu, Mengapa Kita Malas?

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.
- Advertisement -

Salah satu hal yang paling sulit dalam berkarya adalah “memulai”. Tak peduli seberapa banyak niat yang sudah dikumpulkan dalam kepala. Sering sekali terjadi saya merencanakan berbagai hal ketika sedang bengong atau dalam perjalanan. Tak sedikit juga ide-ide yang muncul dalam kepala ketika itu. Dalam hal ini adalah ide-ide yang ingin saya tuliskan. Tapi begitu depan laptop, ide-ide itu hilang ditelan gemerlap kemalasan.

Paragraf pertama dan kedua merupakan saat-saat tersulit. Di sinilah waktu tersengit adu jotos kemalasan dan kemauan. Malah sering juga terjadi sudah menulis satu dua paragraf, kemalasan melakukan counter attack secepat kilat seperti dalam duel El Clasico. Alhasil, tulisan itu menjadi terbengkalai seperti bangkai. Nampaknya, hal ini terjadi bukan hanya dalam dunia tulis-menulis seperti menyelesaikan artikel atau skripsi. Ini adalah hukum pengerjaan karya.

Dinamika psikologis seperti apa yang berkecamuk dalam diri? Tentu saya sebagai sarjana psikologi yang bodoh ini tidak bisa menjawabnya. Kuliah saja memakan waktu enam tahun, sudah pasti saya tidak serius ketika menjalaninya. Tapi, izinkan saya menggunakan perspektif evolusi yang tidak diajarkan di kelas untuk membahas fenomena aneh ini.

Pertama-tama, harap dipahami bahwa semua makhluk hidup adalah produk dari evolusi. Di bumi, semua makhluk hidup berasal dari organisme bersel satu sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu. Tidak percaya? Bukan masalah. Fakta tetaplah menjadi fakta meskipun ratusan juta orang tidak percaya. Seperti halnya gravitasi, mau setengah penduduk bumi tidak percaya, gravitasi tetap ada. Begitu juga evolusi.

Kedua, psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia. Ya, secara etimologi (pengertian bahasa) psikologi seharusnya adalah ilmu yang mempelajari kejiwaan. Tapi, entah bagaimanapun sebuah kata juga mengalami evolusi. Bisa jadi evolusi kata membuatnya semakin dalam atau semakin tereduksi. Seperti kata anarkis, yang tadinya ideologi anti negara sekarang berevolusi menjadi tindakan rusuh.

Kita semua percaya begitu saja kalau semua yang ada di dunia ini adalah produk evolusi. Peradaban berevolusi, kata berevolusi, binatang dan tumbuhan juga berevolusi. Mau bilang manusia juga berevolusi dari monyet? Banyak manusia yang terganggu kenyamanannya. Mengapa terganggu? Karena kita (manusia) merasa makhluk istimewa ciptaan Tuhan. Sebuah penistaan spesies kalau bilang manusia itu berasal dari kera!

Kembali lagi, manusia adalah makhluk biologis yang tercipta oleh evolusi selama jutaan tahun. Kurang lebih 6-7 juta tahun yang lalu, nenek moyang manusia memisahkan diri dari kerabat “kera besar”. Australopithecus nama spesiesnya yang menurunkan berbagai spesies Homo, termasuk Homo Sapiens (manusia modern). Tapi bagaimana mungkin, perilaku manusia yang lahir dari kehendak bebas termasuk produk evolusi yang kaku dan deterministis? Bukankah evolusi bekerja pada level gen?

Begini, memang tidak semua tindakan dikendalikan gen (atau manusia yang belum berhasil memetakan gen?), tapi tidak ada satu pun perilaku yang tidak melibatkan sel otak. Jangan lupa bahwa sel otak terbentuk dari gen-gen yang merupakan produk evolusi. Jadi, sangat mungkin kita masih membawa informasi tentang tata cara berperilaku dari leluhur binatang.

Contohnya, makan dan minum. Siapa yang mengajarkan bayi untuk mengenyot tete ibunya? Otaknya belum cukup berkembang untuk belajar secara verbal. Tentu bukan siapa-siapa. Informasi dalam gen lah yang mengajarkannya. Sama seperti bayi sapi, kucing, anjing, monyet dan lain sebagainya. Begitu juga dengan seks. Tak perlu belajar pun seharusnya kita tahu bagaimana caranya membuat anak. Tapi sekarang manusia banyak belajar dari video bokep. Padahal kucing yang (saya berani bertaruh) belum pernah nonton bokep pun paham cara melakukan seks.

Masih banyak lagi sebetulnya perilaku yang diinformasikan oleh gen secara turun-temurun. Biasanya, perilaku yang diturunkan gen ini susah sekali dilawan. Tapi, manusia adalah satu-satunya spesies yang ahli dalam hal ini. Contohnya: menggunakan kontrasepsi ketika berhubungan seks. Manusia berhasil merekayasa hukum alam!

- Advertisement -

Ketiga, kembali ke persoalan awal. Saya terpikir jangan-jangan kemalasan merupakan informasi yang diturunkan secara genetik oleh leluhur-leluhur kita. Sial betul saya yang sepertinya menurunkan “gen malas” dengan porsi yang luar biasa banyak! Mari kita coba menggunakan kacamata binatang agar lebih mudah memahaminya. Meskipun sebenarnya berbahaya, menggampang-gampangkan yang susah. Tapi, inilah salah satu sifat dasar kita: suka yang gampang-gampang.

Kalau kita jadi binatang, apa yang gampang adalah baik. Bermalas-malasan, makan seadanya, kawin sesukanya, dan hal-hal gampang yang lain. Ideologi binatang adalah gampangisme. Mengapa kita malas menyelesaikan skripsi? Mengapa kita malas mengerjakan tugas? Karena susah! Mending buka instragram, chatting, ngopi dan hal-hal gampang lainnya. Ya, yang lebih gampang memang selalu jauh lebih menarik. Sebab, inilah informasi yang disemaikan gen dalam kepala kita.

Binatang cenderung menghindari sesuatu yang sulit. Kecuali, jika tidak ada pilihan lain. Dengan kata lain: kalau dihindari nanti tidak bisa bertahan hidup. Tidak bisa makan, minum, dan seks. Tapi, tidak seks kan bisa tetap hidup? Bagi binatang, lebih baik mati daripada tidak melakukan seks! Lihat saja singa jantan, rela mempertaruhkan nyawa melawan singa lain untuk berebut betina. Eh, bukan hanya singa, sebagian manusia pun ada yang begitu.

Nah, banyak manusia yang melakukan hal yang sama pada kemalasan. Kita malas sekali melakukan sesuatu sampai ketika tidak ada pilihan lain! Itulah mengapa banyak dari kita yang mencari pekerjaan. Karena bekerja dengan orang lain membuat kita tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan kemalasan. Kalau malas, kita bisa disemprot oleh atasan, dipotong gaji, hingga dipecat! Deadline berubah menjadi monster yang harus kita hadapi untuk tetap bertahan hidup.

Dengan alasan itu, sebagian kita rela bekerja minimal delapan jam per hari! Mencari bos dan deadline di luar diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, seandainya kita melakukan hobi kita selama delapan jam sehari, saya yakin sekali Anda pasti sukses! Contoh: saya suka menulis. Seandainya saya menulis delapan jam sehari, bisa berapa karya yang saya hasilkan selama setahun? Tapi menulis itu susah! Apalagi tidak ada sosok “bos” yang menciptakan monster bernama deadline.

Lagi-lagi perilaku yang diinformasikan dalam gen memang sulit sekali dilawan. Namun, itu bukanlah hal yang mustahil. Kemampuan istimewa manusia adalah merekayasa hukum alam. Seandainya kita berhasil memanipulasi monster deadline seperti kita memanipulasi seks dengan kondom, saya kira kemungkinan kita untuk tidak malas dan sukses dalam hidup semakin tinggi. Menjadi bos untuk diri sendiri dan membuat monster deadline sendiri sepertinya adalah kelemahan kemalasan. Wallahu A’lam.

Fadhel Yafie
Fadhel Yafiehttp://fadelisme.wordpress.com
Pemikir bebas, penulis lepas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.