Islam Fundamentalis merupakan penyakit yang melanda tubuh Agama Islam di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara yang mayoritas dihuni oleh penduduk beragama Islam. Secara umum, Islam fundamentalis lahir minimal disebabkan oleh tiga hal. Pertama, akibat arus modernitas.
Arus modernitas dinilai memiliki kekuatan yang bisa menghancurkan eksistensi Agama Islam di dunia ini. Oleh karena itu, golongan fundamentalis sangat getol menolak segala macam bentuk modernitas yang berasal dari Barat. Semua harus kembali kepada yang alami, yakni kehidupan yang sesuai pada masa Nabi dan para sahabatnya. Selain itu dinilai sebagai bid’ah (perilaku yang tidak memiliki dasar dalam Agama Islam).
Kedua rasa kesetiakawan. Saudara di Afghanistan, Palestina, dan seluruh daerah Islam yang sedang berperang melawan penderitaan perlu mendapatkan bantuan. Dan bantuan agar bisa terbebas dari penderitaan versi Islam Fundamentalis adalah menyatukan negara-negara yang mayoritas dihuni oleh penduduk beragam Islam ke dalam bentuk pemerintahan yang Islami (Khilafah).
Perilaku untuk mewujudkan khilafah di berbagai negara di belahan dunia menuai banyak perlawanan. Salah satu negara yang menentang pendirian khilafah adalah di Indonesia.
Ketiga, kesejahteraan domestik yang belum terdistribusi secara merata. Problem kemiskinan, pengangguran, dan semacamnya bisa selesei (menurut Islam Fundamentalis) jika ajaran dalam Agama Islam dijadikan landasan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Termasuk di Indonesia. Menurutnya, dengan terwujudnya khilafah di Indonesia, kemiskinan dan semacamnya akan menemukan solusi yang lebih baik.
Islam fundamentalis di Indonesia sebenarnya merupakan salah satu gerakan ‘penjajahan’ yang ingin merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila menjadi khilafah dengan dasar agama Islam. Gerakan yang dimaksud diantaranya Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir.
Di Indonesia, ideologi dan gerakannya melahirkan Partai Kesejahteraan Sosial (PKS). Partai ini memiliki banyak kader yang tersebar di seluruh Indonesia melalui gerakan Tarbiyahnya. Selain itu, ada juga gerakan wahabisasi. Wahabi merupakan ideologi resmi di kerajaan Arab Saudi.
Wahabi merupakan sebuah sekte yang mengikuti Muhammad ibn Abdul Wahab. Wahabi pertama kali masuk ke Indonesia dibawa oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif di awal abad ke 19.
Ketiganya memiliki tujuan untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni versi wahabi, sesuai dengan ilmu yang diperolehnya ketika di Makkah. Karena memang pada masa itu, Makkah dan Madinah telah dikuasi oleh wahabi.
Gerakan selanjutnya yang tidak kalah besar pengaruhnya ingin merubah Indonesia menjadi negara Islam adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani pada tahun 1952 karena kecewa dengan Ikhwanul Muslimin yang dianggap terlalu moderat dan akomodatif terhadap Barat.
Tujuan Hizbut Tahrir adalah mendirikan Khilafah Islamiyah melalui tiga tahap, yakni perekrutan melalui halaqah-halaqah dan berinteraksi dengan masyarakat. Setelah memiliki kader yang kuat dan diterima oleh masyarakat, selanjutnya melakukan perebutan kekuasaan. Di Indonesia, gerakan Ikhwanul Muslimin yang maujud menjadi PKS, wahabi, dan Hizbut Tahrir mendapat perlawanan yang keras dari ormas-ormas Islam moderat, terlebih Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah.
Baik Nahdlatul ‘Ulama (NU) maupun Muhammadiyah telah sepakat dengan negara bangsa, bukan negara Islam. Sebab, Indonesia terdiri dari beragam unsur. Mulai dari bahasa, etnis, tradisi, pakaian, rumah, makanan, agama dan kepercayaan, yang semuanya tidak homogen.
Oleh karena itu, mendirikan negara Islam hanya akan membuat Indonesia menjadi terpecah belah. Selain itu, Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia (menurut NU dan Muhammadiyah) dinilai telah merepresentasikan ajaran agama Islam. Dari sila pertama sampai sila kelima tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang ada di Al-Qur’an maupun Sunnah. Oleh karena itu, penerimaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika sudah dinyatakan sebagai hal final.
Oleh karena itu, meskipun sama-sama beragama Islam dan sama kitab sucinya, tapi melahirkan perilaku yang berbeda. Perbedaan perilaku ini disandarkan pada pemahaman yang berbeda pula. Krisis yang terjadi di Indonesia mulai dari kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan semacamnya telah menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung usai.
Menurut golongan Islam Fundamentalis, krisis tersebut terus berlanjut karena tidak diterapkannya hukum Allah. Jika hukum Allah telah diterapkan, semua krisis akan segera usai. Karena menurutnya, tidak ada hukum yang utama selain hukum Allah. Dan hukum Allah hanya bisa terwujud jika negara Indonesia ini menerapkan hukum Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Agar hukum Islam bisa diterapkan, maka diperlukan pemerintahan yang berbasis Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Sehingga tindakan yang mengejawantah dari golongan Islam Fundamentalis adalah pemaksaan kehendak. Karena mereka menganggap bahwa pembentukan negara Islam memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Wajib hukumnya mendirikan negara Islam bagi umat Islam. Jika ada umat Islam yang menentang, maka menentang hukum Allah, dan pantas disebut (menurut golongan Islam fundamentalis) kafir sekaligus layak untuk dibasmi.
Islam moderat memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi krisis di Indonesia. menurut golongan Islam moderat, tidak perlu mendirikan negara Islam di Indonesia. Agama Islam tidak perlu diformalkan. Sebab yang bermasalah bukan agamanya, tapi manusianya.
Selain itu, formalisasi Agama Islam tidak mencerminkan Islam secara keseluruhan, hanya perwujudan Islam secara parsial yakni Islam versi golongan fundamentalis, dan itu tidak bisa dijadikan wakil Islam secara keseluruhan. Ditambah lagi formalisasi Agama Islam hanya akan mereduksi Agama Islam itu sendiri. Nilai-nilai luhur dalam Agama Islam harus disistematisasikan ke dalam bentuk negara. Padahal, implementasi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari bisa dilakukan tanpa mendirikan negara Islam.
Maka dari itu, golongan Islam fundamentalis memprioritaskan untuk ‘merongrong’ Islam moderat yang ada di Indonesia. Karena jika Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah berhasil mereka kuasai, tinggal menunggu waktu untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. NU terus diserang dari sisi kulturalnya.
Sebab budaya NU menurut pandangan Islam fundamentalis telah melenceng dari ajaran Agama Islam yang murni. Sedangkan Muhammadiyah terus diserang dari sisi strukturalnya. Banyak kader-kader Muhammadiyah yang telah berubah haluan. Bahkan sampai memusuhi Muhammadiyah itu sendiri.
Ada fakta menarik yang ditemukan dalam golongan Islam fundamentalis, diantaranya mengharamkan demokrasi namun menggunakan cara demokrasi agar mendapatkan perlindungan. Karena di dalam demokrasi, semuanya memiliki hak untuk menyatakan pendapat. Perlu kiranya golongan Islam fundamentalis untuk belajar lebih dalam lagi tentang Agama Islam, sebab rahmatan lil ‘alamin tidak harus mendirikan negara Islam. Demikian.
Review dari buku Ilusi Negara Islam, editor KH Abdurrahman Wahid