Dunia hari ini sedang dirundung dengan persoalan paling pelik, ruwet, dan menggegerkan. Hampir beberapa negara seperti China, Italia dan Indonesia diperhadapkan dengan masalah penyebaran virus corona (Covid 19). Di Indonesia sendiri hingga hari ini penyebaran virus corona mulai merembes ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Malang dan beberapa tempat lain di luar Jawa.
Dengan tingkat penyebaran yang terbilang cepat (epidemi), pemerintah menginstruksikan agar masyarakat supaya menjauh dari kerumunan banyak orang (social distancing) guna meminimalisir penyebaran virus corona. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif agar penularan (transmission) dari satu orang ke orang lain tidak malah mengembangbiakkan virus corona. Sehingga pemerintah atas dasar kemanusiaan untuk melindungi warga negara dari penyakit ini, memberlakukan virus corona sebagai masalah darurat yang perlu penanganan serius.
Namun terlepas dari berbagai pemberitaan di ruang publik, sebetulnya ada hal menarik yang perlu kita cermati dan telaah bersama ditengah ancaman penyebaran virus corona yang semakin massif. Pemerintah dengan kesigapan dan upaya memerangi penyebaran virus corona membutuhkan sikap serius dari warga negara guna berjibaku mengambil sikap mendukung langkah yang ditempuh pemerintah.
Melalui kebijakan lock down dan instruksi work from home, pemerintah sebetulnya mau memberikan pengarahan bahwa ditengah ancaman virus corona, sebenarnya langkah untuk memerangi penyebaran virus corona agar tidak semakin meluas bisa diatasi. Akan tetapi instruksi tersebut sama sekali dilupakan oleh warga negara yang menjadi objek yang mesti dlindungi negara dari virus corona.
Di Nusa Tenggara Timur tepatnya di Manggarai pada hari Kamis, 19 Maret, umat Khatolik melaksanakan upacara penthabisan uskup baru. Sementara di satu sisi pemerintah dan semua pihak sudah menginstruksikan untuk menjauhi kerumunan banyak orang agar terhindar dari penyebaran virus corona. Tetapi di sisi lain, upacara tersebut tetap dilaksanakan dengan tidak mempertimbangkan dampak dan resiko yang akan terjadi.
Ini sebetulnya merupakan preseden buruk terhadap komitmen kita bersama memerangi penyebaran virus corona. Harapan untuk segera terbebas dari persoalan pelik ini nyatanya dianulir melalui sikap kita yang tidak mencerminkan upaya bersama mengatasi penyebaran virus corona. Semakin memperjelas posisi kita dalam persoalan ini, bahwa kita belum menyadari akan pentingnya merawat harapan untuk terbebas dari belenggu corona.
Di sini kita harus mengakui dan jujur dengan diri sendiri, penyebaran virus corona bukan satu-satunya tugas pemerintah namun tugas kita bersama. Karena tugas bersama, kita mesti membangun capain yang harus segera dituntaskan dalam menyelesaikan persoalan corona. Di satu sisi ada banyak kerugian yang kita alami dari penyebaran virus ini, mulai dari harga masker yang tiba-tiba anjlok serta aktivitas lain yang harus ditunda untuk sementara waktu.
Misalnya dunia pendidikan, melalui keputusan menteri Nadiem, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah harus belajar secara online (daring) dan offline untuk sekolah yang belum bisa menggunakan media pembelajaran online. Sebenarnya dari beberapa masalah seperti ini kita mesti menyadari bahwa ada banyak kegiatan yang sebenarnya bisa kita selesaikan namun ditunda hanya karena penyebaran virus corona. Tetapi kita malah bersikap nyeleneh, sembrono bahkan sesat pikir dalam memerangi penyebaran virus ini.
Di luar akal sehat, penyebaran virus corona merupakan gejala alam yang memang terjadi atas kehendak alam itu sendiri. Dengan pendasaran logika seperti ini sebetulnya semua pihak harus merasa terpanggil sebagai manusia yang dibeban-tugaskan menyelesaikan persoalan corona. Misi besar kita saat ini adalah mengatasi penyebaran virus corona sekaligus memerangi virus ini melalui bentuk komitmen bersama dengan harapan bahwa aktivitas pribadi dan kelompok dapat kita lakukan kembali.
Harapan ini mesti terbersit dan terpatri bukan hanya melalui doa sebagaimana yang kita laksanakan, namun harus bergeser pada sikap diri melalui kerjasama dan optimisme sebagai langkah bersama mengakhiri penyebaran virus corona. Bukan malah saling menyalahi apalagi mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memanfaatkan situasi ini guna mengunggulkan diri diatas gempuran corona yang semakin dahsyat.
Karena itu, tepat dengan apa yang dikatakan oleh Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta) “Keteladanan lebih efektif daripada khotbah. Tak ada guna saling menyalahkan. Lebih tragis lagi jika ada yang memolitisasi”.
Kalimat dari Nasaruddin Umar sebetulnya menunjukan suatu harapan bersama bahwa kita mesti membangun prinsip dengan keyakinan bahwa sikap keteladanan seperti yang diinstruksikan oleh pemerintah melalui lock down dan work from home harus kita laksanakan ketimbang hanya berkhotbah. Karena itu merawat harapan ditengah ancaman corona saat ini tidak saja sebagai sikap bahwa kita ingin agar segala aktivitas bisa kembali normal.
Namun sebetulnya yang paling mendasar ialah kita mampu menjaga komitmen dan bekerja bersama memerangi virus ini karena merupakan masalah kemanusiaan bagi masa depan manusia. Pendasaran dengan bersumbu pada logika seperti ini akan membawa kita lebih terbuka dan dapat saling berintrospeksi diri, apakah sikap kita ditengah ancaman corona yang semakin membabi buta, kita tetap merawat harapan sebagai nilai utama bahwa kita harus menuntaskan pekerjaan rumah ini dari virus corona.
Berpacu Melawan Corona
Di tengah situasi seperti ini, pemerintah telah menginstruksikan kepada semua pihak untuk tetap tenang dan selalu mengambil sikap waspada. Bentuk sikap kita terhadap ancaman corona harus dimulai dari pikiran bersama bahwa ini merupakan masalah kemanusiaan.
Untuk itu berpacu melawan corona harus berangkat dari pemahaman dan kesigapan setiap orang agar menyelesaikan corona yang semakin akut. Tantangan akan semakin besar manakala kita berdiam dan saling menyalahkan. Sikap terbuka dengan bersama-sama berpacu melawan corona merupakan titik pangkal agar persoalan ini dapat teratasi.