Sabtu, April 20, 2024

Anarko dan Kritik Sosial

Fenykhalisa
Fenykhalisa
Seorang Praktisi Psikologi, aktivis perempuan dan sosial penggerak dan founder LSM Puan Nagari Indonesia (@puannagari.id)

Belum usai ketegangan lantaran penyebaran Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan, kini ketegangan masyarakat Indonesia dibumbui oleh ulah sekelompok orang yang menamai kelompoknya dengan Anarko Sindikalis.

Sebuah kelompok penebar agresi dan provokasi melalui aksi vandalisme. Kelompok ini mayoritas berisi orang berusia 18-20 tahun dengan berbagai latar belakang seperti pelajar, mahasiswa, hingga pengangguran.

Anarko memiliki slogan vandalis yang digaungkan seperti “kill the rich”, “sudah krisis saatnya membakar” dan “mau mati konyol atau melawan”. Bahkan mereka telah mempersiapkan kerusuhan dan penjarahan pada 18 April. Kelompok ini terkenal di Jakarta, bandung, Yogyakarta, hingga beberapa daerah di jawa.

Ironisnya dari ungkapan aparat berwajib, motif Anarko melakukan tindakan vandalis adalah sebagai respon ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah dalam menangani wabah pandemi.

Lebih lanjut pihak kepolisian mengatakan bahwa Anarko alergi terhadap kebijakan pemerintah dan memposisikan dirinya sebagai kelompok anti kemapanan. Pemberitaan mengenai kelompok Anarko Sindikalis bahkan menjadi viral di sosial media hingga menjadi trending.

Sejumlah orang memang kontra terhadap aksinya yang cenderung menambah ketidakmenentuan hidup. Tetapi tidak sedikit pula yang justru pro atas aksinya khususnya yang merasa suaranya diwakilkan oleh Anarko Misalnya masyarakat yang termarginalisasi oleh struktur.

Anarko Sindikalis diketahui muncul secara tiba-tiba di Tangerang bahkan ia juga merupakan salah satu inisiator penolakan pembangunan bandara NYIA di Kulon Progo, Yogyakarta.

Dari kemunculannya yang tiba-tiba dan mengagetkan berbagai pihak, ada hal unik yang saya lihat dari fenomena tersebut. Pertama, karena para anggota Anarko masih berusia relatif muda. Kedua, mereka beraksi dengan motif ketidakpuasan terhadap pemerintah. Ketiga, polisi menjadikan sejumlah buku koleksi para pelaku sebagai barang bukti.

Beberapa orang menganalisis bahwa ada oknum intelektual di balik kemunculan kelompok ini. Beberapa orang juga menuding adanya suntikan dana dari aktor intelektual terhadap kelompok ini. Bahkan pemberitaannya menempati posisi trending nomor 2 di lini masa twitter 14 April. Namun apapun itu, yang jelas kemunculan Anarko Sindikalis tentu saja menambah beban mental masyarakat di tengah situasi dunia yang tak menentu seperti saat ini.

Teori Kelompok dan Life Span developmental Erikson

Terlepas dari ada tidaknya aktor intelektual dan politik di balik kemunculan kelompok ini, saya lebih tertarik untuk membahas mengenai komposisi anggota Anarko yang bisa dibilang berusia ‘tanggung’. Kelompok ini hampir serupa dengan kelompok radikalis NII yang 10 tahun silam muncul merekrut sejumlah mahasiswa di kampus-kampus untuk dicuci otak (brain washing).

Kelompok ini memanfaatkan psikologis individu berusia 18-20 tahun yang dalam pendekatan life span milik Erikson, mereka berada pada fase peralihan adolescent stage menuju adult stage dimana pada fase ini individu berjuang untuk mengembangkan identitas diri, adanya pemujaan idola, dan ideologi. Selain itu, pada fase ini individu juga memiliki kecenderungan untuk mengembangkan identitas kelompoknya (peers). Karakteristik lainnya adalah sering menolak standar orang yang lebih tua dan memilih nilai-nilai kelompoknya.

Jelas, individu pada rentang usia fase peralihan sangat rentan secara psikologis untuk dimanfaatkan oleh kepentingan. Pasalnya, individu di fase ini dengan karakteristik perkembangannya, lebih mudah untuk didikte atau disusupi ideologi-ideologi tertentu. Sifat fase ini yang sedang berjuang mengembangkan identitas diri dinilai lebih efektif dijadikan sebagai agen penyebaran ideologi.

Reward bagi mereka (individu fase peralihan ini) yang telah ikut serta dalam suatu kelompok ideologi tertentu adalah merasa memiliki identitas diri yang jelas. Ketika telah merasa memiliki identitas diri yang jelas mereka akan mengembangkan identitasnya dalam suatu kelompok (peers).

Keikutsetaan dalam kelompok tertentu bagi individu pada fase peralihan ini memiliki dampak psikologis yang menguntungkan sehingga seperti candu untuk terus dapat bersama kelompoknya dan terus mengembangkan nilai-nilai kelompoknya. Keikutsertaan dalam kelompok menjadikan mereka merasa lebih aman untuk bergerak memperjuangkan visi misi dirinya yang sesuai dengan nilai-nilai kelompok.

Selain itu, mereka juga mendapatkan status yang dalam skema pikir mereka ‘keren’. Sebut saja slogan yang mereka bawa yaitu kelompok anti kemapanan. Seolah sepak terjang mereka berpihak pada rakyat kecil. Secara bersamaan hal tersebut juga seperti pembenaran bahwa aksinya yang berkonotasi negatif dengan menebar kekhawatiran adalah demi rakyat kecil.

Hal paling berbahaya dari pergerakan kelompok ini adalah adanya fanatisme kelompok atau favoritisme karena merasa bahwa kelompoknya paling benar dengan membawa nilai-nilai kerakyatan (anti kemapanan, masyarakat tanpa kelas, dan lainnya).

Fanatisme kelompok atau favoritisme yang mungkin saja ada dari kelompok ini seperti halnya kelompok teror lainnya, kemudian menghasilkan pandangan in-group dan out-group. In-group disini adalah kelompok mereka dan siapapun yang keadaannya sesuai dengan nilai-nilai mereka, seperti masyarakat kelas bawah misalnya. Sedangkan out-group-nya adalah pemerintah dan para orang kaya (masyarakat kelas atas).

Adanya pandangan in dan out group seperti itu menjadikan munculnya derogation out group atau prasangka bahwa individu, kelompok atau nilai-nilai di luar kelompok mereka adalah salah dan mengancam visi-misi kelompok mereka yang dianggap benar. Maka tidak mengherankan jika mereka muncul dengan klaim kekecewaan terhadap pemerintah dalam menangani wabah corona. Serta menjadikan masyarakat kelas atas sebagai pihak yang harus diberangus dengan slogan yang mereka buat di tempat umum yaitu kill the rich.

Kambing Hitam Buku ‘Ajaran Kiri’

Saya sangat mengapresiasi peran kepolisian yang bergerak cepat memberangus kelompok ini. Pasalnya kelompok semacam ini ibarat bom waktu yang bisa saja meledak dan memakan sejumlah korban.

Bahkan polisi menyita beberapa buku koleksi anggota Anarko Sindikalis seperti buku-buku dengan judul : Massa Aksi oleh Tan Malaka, Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Pencerahan tanpa Kegerahan, Nasionalisme Islamisme dan Marxisme oleh Soekarno, serta novel Tere Liye yang berjudul Negeri para Bedebah, serta buku lainnya.

Adanya penyitaan sejumlah buku milik anggota Anarko Sindikalis mengingatkan saya pada kasus pemberangusan buku yang dianggap ‘ajaran kiri’ pada tahun 2016 silam. Seperti Gramedia yang tiba-tiba menarik sejumlah buku investigasi “orang kiri” majalah Tempo dari penjualan, lalu disusul adanya sweeping dan penarikan buku beraliran kiri di beberapa daerah.

Para penegak hukum seakan ‘parno’ bahwa aksi-aksi perlawanan terhadap pemerintah adalah hasil ideologi ‘kiri’. Masyarakat menyayangkan pihak berwajib yang konon kata netizen “hanya menilai buku dari covernya, dari judulnya” serta diamini oleh para pegiat literasi sebagai langkah yang mencerminkan minimnya kesadaran baca masyarakat. Penyitaan buku yang dilakukan pihak kepolisian seperti membuka memoar masa lalu yang justru membangkitkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat.

Fenykhalisa
Fenykhalisa
Seorang Praktisi Psikologi, aktivis perempuan dan sosial penggerak dan founder LSM Puan Nagari Indonesia (@puannagari.id)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.