Senin, September 29, 2025

Anarkisme: Antara Stigma Kekerasan dan Hakikat Kebebasan

Suni Subagja
Suni Subagja
Masyarakat sipil
- Advertisement -

Saya seorang anarkis. Bagi sebagian orang, kalimat ini terdengar menakutkan. Kata anarkis sering dipahami sebagai kekerasan, kerusuhan, atau penjarahan. Tak heran, sebab istilah ini kerap dipropagandakan secara negatif oleh penguasa, media, hingga buzzer politik. Mereka merasa tidak nyaman dengan kata anarkis, karena di dalamnya terkandung kritik terhadap kekuasaan yang mereka jalankan.

Namun, apakah benar anarkisme adalah ideologi kekerasan? Peter Marshall dalam A History of Anarchism menyebut anggapan tersebut hanya “hantu yang bergentayangan di gedung pemerintahan dan meja pengadilan.” Secara etimologis, anarkisme berasal dari kata Yunani anarkhos yang berarti tanpa penguasa. Gagasan ini lahir sebagai kritik terhadap hierarki—struktur sosial yang membuat sebagian manusia berkuasa atas manusia lain.

Di titik inilah muncul pertanyaan: bukankah masyarakat tanpa hierarki justru akan kacau Pierre-Joseph Proudhon memberikan jawaban berbeda. Dalam The Federative Principle, ia menyebut anarkisme sebagai keteraturan. Masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri melalui komune—kelompok kecil yang dibentuk berdasarkan tujuan bersama. Misalnya, ketika genteng rumah bocor, warga berkumpul memperbaikinya. Tidak ada hierarki, tidak ada paksaan, hanya kerja sama sukarela. Model ini, menurut Proudhon, lebih sehat daripada menyerahkan nasib pada para wakil rakyat yang seringkali sibuk memperkaya diri sendiri.

Dengan demikian, secara gagasan, anarkisme justru menolak kekerasan yang lahir dari dominasi. Lantas, mengapa ia tetap sering dilekatkan dengan kekerasan?

Di sinilah pentingnya membaca teori Johan Galtung. Ia membagi kekerasan ke dalam tiga dimensi: kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung tampak dalam perkelahian atau peperangan. Kekerasan struktural muncul dari sistem yang menindas, misalnya kemiskinan akibat kebijakan yang timpang. Sedangkan kekerasan kultural hadir dalam nilai atau tradisi yang membenarkan diskriminasi.

Kita bisa menemukannya dalam banyak hal: premanisme di pasar, represivitas aparat, diskriminasi gender, hingga struktur ekonomi yang membuat orang tak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Singkatnya, kekerasan sudah menjadi bagian dari keseharian manusia, baik melalui individu maupun negara.

Karena itulah, sebagian orang kemudian menganggap anarkisme identik dengan kekerasan. Padahal, kekerasan tidak melekat pada anarkisme, melainkan pada kondisi manusia itu sendiri. Kekerasan hanyalah salah satu reaksi terhadap penindasan. Substansi anarkisme justru mengajarkan hidup bebas, egaliter, dan tanpa intervensi segelintir orang yang merasa paling berkuasa.

Maka, ketika anarkisme dilekatkan pada kerusuhan semata, sesungguhnya yang sedang diserang adalah imajinasi tentang masyarakat tanpa penguasa. Anarkisme bukan ajaran chaos, melainkan tawaran bahwa keteraturan bisa lahir dari kesadaran kolektif, bukan paksaan hierarki.

Kebebasan sejati, barangkali, baru akan tercapai ketika manusia berani membuktikan bahwa mereka bisa hidup bersama tanpa harus diperintah oleh manusia lainnya.

Suni Subagja
Suni Subagja
Masyarakat sipil
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.