Rempah-rempah merupakan bahan baku yang mendarah daging di Nusantara. Bahan baku yang menyokong perdagangan Nusantara (area yang mencakup Indonesia dan Malaysia kontemporer) yang diproduksi dari kepulauan Maluku (Banda), hingga Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores, Timor dan seterusnya).
Rerempahan ini adalah sumber mata pencaharian yang utama bagi suku-suku asli kepulauan di Nusantara beserta dengan pedagang-pedagang jauh yang berkompetisi di sosial pasar bebas. Mata pencaharian mereka bergantung dengan mulusnya transaksi jual-beli yang adil dengan pemukiman lokal.
Proses perdagangan tersebut lalu akan diawasi oleh otoritas lokal yang bertugas untuk menjaga dan mencukai proses perdagangan tersebut. Pedagang luar tersebut akan memasok rempah-rempah tersebut kmbali ke tempat mereka masing-masing. Ini merupakan kehidupan sehari-hari dunia perdagangan Nusantara yang diketahui sebelum datangnya orang Eropa.
Datangnya mereka membawa perubahan penting dari jalannya perdagangan lokal di daerah Nusantara. Terutama di kisaran Samudera Hindia. Pusat kekuatan dagang tersebut terletak di daerah laut disekitar Selat Malaka. Menjadikan selat tersebut gerbang menuju kepulauan Maluku dan Nusa dimana rempah-rempah dikultivasi dan ditumbuhkan.
Terdapat kekuasaan kolektif dari masing-masing etnis suku kepulauan di Maluku, yang kemudian diambil alih oleh kekuasaan otoritas Majapahit. Kemudian dilanjutkan oleh bangsa Portugis lalu Belanda.
Proses tersebut merupakan kemajuan sistem peradaban dari suku-suku (Tribalisme), Feudalisme oleh aristokrat Majapahit dan Kerajaan lokal lain, lalu dilanjutkannya kelanjutan kekuasaan oleh sistem Borjuis praktis Proto-Kapitalisme yang bermain menggunakan sistem Monopolistik yang dilakukan oleh Belanda (VOC) dan Portugis (Estado da India).
Hal pertama yang dapat diketahui adalah Rempah-Rempah Nusantara ini dianggap komoditas yang berharga di Kawasan dunia lain. Alasannya adalah rempah-rempah yang tumbuh alami di Indonesia (seperti Merica, Pala, Cengkeh, Kayu Manis dan Kunyit) (Kompas, 2019) tidak dapat ditemukan kuantitas keberagamannya yang sama seperti di daerah asal Pedagang-Pedagang lain pada Abad ke-13 – 15, dimana mayoritasnya berasal dari Asia Timur, India, hingga Arab dan Afrika.
Mereka memperjual-belikan rempah-rempah tersebut dengan barang-barang yang dibuat di negara mereka masing-masing. Membangun pasar pertukaran rempah bebas yang dipenuhi dengan berbagai macam barang/komoditas pengganti.
Reputasi, kemahsyuran, dan kekayaan yang dapat diperoleh dari Pasar rempah-rempah Nusantara yang tercangkup didalam jalur perdagangan Samudra Hindia pun menyebar seantero dunia, khususnya ke belahan Dunia Barat. Kaum borjuis, imperialist, serta aristokrat Eropa melihat dengan sinis dan berniat untuk mengambil-alih dan menginfluensi Nusantara dengan kedok terhormat mereka atas kepercayaan Ideal 3G yang pernah diutarakan bangsa Spanyol; Gold, Glory, and Gospel.
Melalui Materialisme Historis, kepercayaan kerajaan Spanyol dan Portugal ini berlandaskan keadaan nyata/riil Sosial-Politik dan Ekonomi yang mereka alami. Faktor terbesarnya adalah tertutupnya jalur dagang rempah-rempah oleh Kekaisaran Ottoman (Kekaisaran Islami).
Di mana mereka sebagai bangsa Kristen, dengan paksaan keyakinan, kontradiksi budaya mereka, beserta dengan tekanan ekonomi dari tingginya harga rempah yang dijatuhkan oleh Kaisar Ottoman, merasa harus menemukan cara lain untuk memperoleh Rempah-Rempah dan jg kekayaan yang dibawa oleh Komoditas yang berharga tersebut.
Praktis Monopoli yang dilakukan oleh Ottoman pun akan menjadi benih dan inspirasi pertama akan praktis Monopolistik dan Proto-Capitalism yang akan dilakukan oleh Kerajaan-Kerajaan Eropa ketika periode Kolonisasi memasuki Asia Tenggara menjelang zaman Proto-Industrial, terutama pengembang utamanya melalui Kerajaan Portugal.
Ketenaran dari pasar dagang Rempah Rempah pun memikat Penjelajah Portugis, dengan perkembangan Teknologi Pelayaran mereka pada awal Abad Ke-16 oleh Vasco da Gama, dapat mencapai India, ketika dia (Vasco da Gama), ditanyai alasan singgah ke India; “Vimos buscar cristãos e especiaria. Kita mencari (orang) Kristen dan Rempah-Rempah,” dimana menurut penulis Portugis Magalhaes Godino, memulai “Langkah awal Imperialistik dari (perdagangan) Merica; “o advent do imperialsmo da pimento” (Godino, 1969).
Ekspansi menuju Nusantara sendiri dimulai di Semenanjung Malaya oleh Penjelajah Sequiera dan dikomandani oleh Affonso de Albuquerque. Benteng dan Pusat Perdagangan di Malaka ditaklukkan dari Kesultanan Malaka dan dijadikan sebagai pusat kekuatan mereka untuk memasuki dan memindahkan pusat kekayaan dari perdagangan rempah-rempah di Nusantara (mayoritas dari Kepulauan Maluku), menuju Jalur perdagangan terkontrol mereka Kearah Eropa.
Mereka menciptakan hegemoni dagang yang berbasis di poin-poin/kota-kota penting Pusat perdagangan Samudera Hindia yang bertanggung jawab atas jalannya perdagangan berbasis merkantilisme.
Hasil kekayaan dari perdagangan tersebut dibawa kembali ke Portugal daratan di Lisboa, memperkaya kelas Aristokrat dan Borjuis yang mendorong adanya Ekspansi perdagangan ke Wilayah Asia-Timur.
Estado da India atau Kekuasaan Timur Portugis membawa kekayaan tak terkira, namun kekuasaan mereka tak dapat bertahan lama di timur, mulai dari faktor Internal sistem administrasi hegemoni mereka, beserta dengan faktor eksternal seperti kedatangan Pedagang Eropa lainnya.
Tantangan dari Kekaisaran Ottoman, dan munculnya kerajaan lokal yang menantang kuasa mereka terhadap perdagangan Rempah-rempah yang berbasis mercantilist dan monopolistik dalam pengontrolan mereka terhadap perdagangan ini.
Perjuangan orang-orang Portugis untuk menjaga kekuasaan mereka di Timur pun menjadi hambatan yang tak berujung berbayar kepada Insentif awal Penaklukan jalur rempah-rempah Samudera Hindia, dimana berbagai macam masalah Internal pun menahan mimpi atas kekuasaan menyeluruh.
Bentuk sistem Thalassocracy bangsa Portugis yang dipraktikkan dalam kekuasaan Estado da India mereka hanya dapat berjalan jika tak ada Kerajaan tandingan yang menyaingi kekuatan mereka. Kemajuan yang dibawa oleh sistem perdagangan yang dipelopori oleh bangsa Portugis ini dikawasan Samudera Hindia mendapat balasan Reaksionaris, dikarenakan keadaan ini jauh dari kenyataan Sosial-Politik Samudera Hindia.
Dimulai oleh Kekaisaran Ottoman beserta Kerajaan Hormuz, Mamluk Mesir dan Gujarat yang mengontrol Perdagangan Laut Merah dan Arabia dan mengancam gerbang barat mereka (Özbaran, 1990).
Kesultanan Bengal, Johor (dahulu Malaka namun ditaklukkan Portugis), yang menguasai gerbang timur Samudera Hindia. Hingga merambat ke Kesultanan Samudera Pasai, Sunda, Majapahit hingga beragam kerajaan lainnya yang menguasai daerah regional usaha kultivasi Rempah-Rempah di Nusantara yang menentang ekspansi influensi orang-orang Portugis.
Meningkatnya harga untuk tetap menjaga hegemoni kekuasaan dengan berebut influensi dan daerah-daerah yang dikuasai kerajaan/aristokrat lokal menjadi salah satu faktor kejatuhan kekuasaan luas Portugis di timur. Investasi tetap berjalan di Koloni mereka di Flores, namun tak seperti di awal abad-16. Hingga datangnya Belanda. (Bersambunbg)