Jumat, Maret 29, 2024

Anak Dayak dan Ceker Ayam

Trio Kurniawan
Trio Kurniawan
# Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang # Penulis Buku "Filsafat Pendidikan Demokratis-Deliberatif # "Kepala Sekolah" di Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena

Seminggu yang lalu saya bersama dengan Pak Albert Rufinus (pensiunan dosen Bahasa Inggris  di FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak) dan Kehi (lulusan Filsafat di Widya Mandala Surabaya) mengadakan perjalanan dari Pontianak menuju Ngabang (Kab. Landak).

Perjalanan ini merupakan sebuah perjalanan yang menyenangkan dengan tujuan mengembangkan pendidikan di Kalimantan Barat. Selain karena pemandangan hijaunya yang menyegarkan mata, diskusi-diskusi yang kami lakukan di dalam mobil juga tak kalah seru sehingga perjalanan di tanah Dayak ini menjadi terasa singkat.

Beberapa tema yang kami bahas di dalam diskusi tersebut, misalnya, adalah analisis semiotik Syair Lawe, eksistensi Tuhan hingga ke persoalan pendidikan.

Pembicaraan kami mengenai persoalan pendidikan ini menjadi semakin menarik ketika kami berjumpa dengan beberapa gerombolan anak SD yang baru pulang sekolah. Mereka tertawa sambil berlari-lari kecil di pinggir jalan aspal yang kami lewati.

Uniknya, anak-anak tersebut tidak menggunakan sepatu ketika berjalan di aspal yang panas. Sepatu tersebut mereka “pikul” di pundak ataupun mereka ikat di tas. Ketika melihat anak-anak tersebut, tanpa sadar kami tertawa lepas.

Anak-anak SD ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Saya adalah anak Dayak Uud Danum Serawai yang ketika pulang sekolah saat SD juga melakukan hal yang sama: melepaskan sepatu dan mengikatnya di tas. Saya biarkan kaki saya tanpa alas seperti “ceker ayam”.

Anak-anak SD ini, seperti saya dulu, tidak peduli dengan panasnya tanah ataupun aspal. Beberapa sahabat yang berasal dari Manila dan Jakarta pernah terheran-heran melihat kenyataan ini ketika mereka berkunjung ke daerah anak Dayak: bagaimana mungkin sepatu yang seharusnya menjadi alas kaki dari panas jalanan justru dipikul? Sepatu ya idealnya harus menjadi alas kaki dari bahaya panas jalan ataupun benda tajam.

Sebenarnya ada beberapa alasan sederhana di balik tindakan anak-anak SD ini yang memikul sepatunya. Pertama, jika sepatu itu digunakan di luar jam sekolah, tentu sepatu itu akan cepat rusak. Jika rusak, maka akan perlu biaya lagi untuk membelinya. Itulah sebabnya lebih baik sepatu itu dipakai saat di sekolah dan dilepaskan saat pulang sekolah.

Persoalan sepatu dalam lingkaran “Anak Dayak dan Ceker Ayam” ini sejatinya merupakan persoalan besar dan mendasar. Bagi anak-anak SD tersebut, sepatu adalah benda yang menjadi hak milik mereka. Sepatu adalah “hal yang sakral” bagi anak-anak tersebut.

Bukannya tanpa alasan saya menyebut sepatu sebagai hak milik yang sakral bagi anak-anak Dayak. Semenjak cengkeraman kapitalis di ekonomi global sudah menusuk hingga ke pedalaman Kalimantan, anak-anak Dayak nyaris tidak bisa memiliki apapun karena tanah dan alam sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Orang Dayak menjadi miskin di tanah sendiri.

Ada perubahan besar di dalam kehidupan anak Dayak. Sepatu yang dulunya bukanlah suatu “hal besar” dalam kehidupan kini berubah menjadi “harta kekayaan” yang pantas dipertahankan. Sepatu, sekali lagi, adalah hak milik yang sakral bagi mereka. Kepemilikan mereka atas sepatu bisa jadi merupakan gambaran tingkatan status sosial mereka di sekolah.

Sepatu bisa menjadi perwujudan “citra diri” anak-anak Dayak di hadapan teman-temannya. Hal inilah yang digugat oleh Valentinus Saeng dalam bukunya “Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global”. Dalam kapitalisme global, manusia tidak lagi menjadi dirinya yang sejati. Manusia hanya berupaya membangun citra baik dan menjadi palsu di hadapan yang lainnya.

Adam Smith (1723-1790) lewat buku The Wealth of Nation secara tegas mengatakan bahwa di hadapan pasar global yang sedemikian bebas ini, hak milik adalah sesuatu yang sakral. Hak milik pribadi tidak dapat direnggut oleh pihak manapun juga. Bagi saya, teori ini menjadi semakin menarik dan hidup jika saat ini Adam Smith bertemu dengan anak-anak Dayak yang saya jumpai. Di hadapan sepatu mereka, Adam Smith akan terdpekur dan semakin menyadari kesakralan dari hak milik pribadi.

Alasan kedua adalah karena pada dasarnya menggunakan sepatu bukanlah kebiasaan anak-anak Dayak. Sepatu adalah produk luar yang kemudian dipaksakan kepada anak-anak Dayak. Saya ingat dengan baik betapa pada saat kecil dulu saya tidak terlalu masalah unruk keluar-masuk hutan tanpa menggunakan alas kaki.

Tidak ada yang aneh. Baru kemudian ketika masuk ke lembaga pendidikan hingga saat ini saya “terpaksa” harus bersepatu ataupun menggunakan sandal. Celakanya, sekarang saya justru merasa aneh jika tidak menggunakan alas kaki.

Fransiskus Kebry, seorang rohaniwan yang melayani di Pontianak, pernah membuat analisis mengenai perubahan relasi manusia Dayak dengan alam  semenjak globalisasi masuk hingga ke pedalaman.

Sayang sekali bahwa artikel hasil analisis tersebut tidak ia publikasikan. Di dalam artikel tersebut, Kebry menggunakan teori yang digagas oleh Van Peurson dalam buku Strategi Kebudayaan. Van Peurson mengatakan bahwa peradaban manusia pada dasarnya terjadi dalam tiga tahap, yaitu Tahap Mitis (manusia masih percaya hal-hal gaib), Tahap Ontologis (manusia menggunakan rasionalitas untuk memahami dunia) dan Tahap Fungsional (manusia dan alam berelasi secara fungsional dengan teknologi).

Kebry menilai ada loncatan besar dari yang dialami oleh orang Dayak ketika globalisasi dan modernitas masuk. Masyarakat Dayak yang lama hidup dalam tahap mitis tiba-tiba harus meloncat ke tahap fungsional. Mereka tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi dengan tahap ontologis.

Hal inilah yang tampaknya terjadi dalam persoalan sepatu anak-anak Dayak. Nyeker merupakan kebiasaan anak-anak Dayak sejak lama. Hadirnya sepatu tidak berarti bahwa anak-anak ini kehilangan kebiasaan lamanya. Mereka tetap lebih nyaman jika berjalan tanpa alas kaki.

Itulah sebabnya, ketika modernitas masuk lewat produk sepatu, anak-anak ini tetap belum memahami fungsi dasar sepatu. Mereka tiba-tiba berada di tahapan fungsional tanpa mengalami lebih lama tahapan ontologis. Dalam istilah lainnya, anak-anak Dayak ini belum dipersiapkan Sumber Daya Manusianya untuk berhadapan dengan perubahan dunia yang begitu cepat.

Pada akhirnya saya, Pak Albert dan Kehi sama-sama menyadari bahwa misi pendidikan yang kami bawa ini sungguh penting dan mendasar. Tidak ada waktu untuk menunda setiap usaha kami dalam membangun Sumber Daya Manusia yang terbaik di Kalimantan Barat. Kami belajar banyak dari perjumpaan dengan “Anak Dayak dan Ceker Ayam” ini. Saya pribadi kemudian coba-coba kembali nyeker ketika berjalan di Ngabang. Saya menyerah. Aspalnya terlalu panas.

Bacaan:

Peurson, Van. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 1976.

Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012.

Smith, Adam. An Inquiry Into The Nature and Causes of the Wealth of Nations; diakses dari https://www.ibiblio.org/ml/libri/s/SmithA_WealthNations_p.pdf pada 6 Oktober 2018.

Sumber Grafis: https://iqmaltahir.wordpress.com/2011/02/26/kaki-manusia-yang-berkaki-ayam/

Trio Kurniawan
Trio Kurniawan
# Dosen Filsafat di STKIP Pamane Talino Ngabang # Penulis Buku "Filsafat Pendidikan Demokratis-Deliberatif # "Kepala Sekolah" di Kelas Filsafat-Teologi Katarina Siena
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.