Senin, Desember 9, 2024

Ambisi Caleg Milenial

Egip Satria Eka Putra
Egip Satria Eka Putra
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Andalas Redaktur Seruan.id
- Advertisement -

Pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019 kian memberi warna. Kenapa tidak, semangat anak muda coba ditunjukkan pada Pemilu tahun ini. Banyak hadir politikus muda lintas partai bermunculan di berbagai daerah untuk memperebutkan kursi legislatif. Menurut hasil rilis hasil kajian anatomi daftar caleg sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2019 dari forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menunjukan hasil dimana terdapat 21 persen atau 930 orang caleg DPR berusia 21-35 tahun.

Fenomena caleg Milenial menurut penulis perlu menjadi diskursus yang mendalam. Mengingat begitu banyak persoalan yang kini telah menjadi peredebatan disana-sini. Beragam persoalan itu seperti: Pertama, Dimana caleg muda/Milenial masih diidentikan dengan citra yang sekedar “main-main” saja. Sekedar hanya ikut-ikutan karena memiliki popularitas. Walaupun memang ada juga caleg organik yang berdasarkan kemampuan.

Kedua, menyoroti banyak partai yang kini masih belum serius memajukan caleg muda. Mereka kerap terganjal alasan pragmatis. Mendapatkan sumbangan dana. Kondisi ini kerap menyisihkan kaum muda dari arena pertarungan. Karena partai biasanya akan lebih memilih mereka yang punya modal. Sebab tidak akan membebani partai untuk meraih suara. Bahkan sebaliknya, mereka malah bisa diandalkan untuk menyumbangkan materi ke parpol.

Alasan selanjutnya yang begitu mengkhawatirkan adalah hadirnya para anak muda di kontestasi pemilu sebagai caleg hanya sebagai tempat “pelarian” semata. Karena pada Umumnya caleg milenial ini ada yang baru lulus dari perguruan tinggi, malahan ada yang masih kuliah, belum mempunyai pekerjaan relatif mantap bahkan tidak jarang ada yang masih menganggur alias tidak punya pekerjaan paska lulus dari perguruan tinggi atau SMA. Maka tidak salah jika  adanya anggapan atau tudingan menjadi caleg hanya untuk “berburu” pekerjaan.

Keempat, hal yang menjadi sorotan dari caleg Milenial adalah diliat dari segi psikologisnya. Usia yang relatif muda bisa dianggap belumlah terlalu dewasa, belum matang dari segi pemikiran, pun juga belum stabil dari segi emosionalnya. Maka ini yang kemudian menjadi ke khawatiran bersama ketika hadirnya banyak anak muda di tataran politik praktis yang kemudian akan memberikan dampak yang tidak baik bagi keberlangsungan kehidupan politik dinegeri ini.

Dengan emosional yang belum terkendali kita takutkan berdampak buruk terhadap kinerjanya ketika telah duduk di parlemen nanti. Maka patut kita curigai jika hadirnya caleg milenial hanya sebagai “ambisi sesaat” saja.

Namun meskipun begitu, Maraknya calon legislatif (Caleg) berusia muda tentunya juga menjadi magnet tersendiri pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2019 mendatang yang berdasarkan teori generasi yang dibuat William Strauss dan Neil Howe, mereka adalah tergolong Generasi Y alias Milenial, orang-orang yang dianggap cerdas, tidak memiliki rasa takut, berkeras menentukan masa depan mereka sendiri. Keberanian dan semangat mereka untuk  maju sebagai caleg untuk ikut berkontestasi dipileg 2019 nanti haruslah tetap didukung dan diapresiasi.

Tantangan di Pemilu 2019

Sebenarnya anak muda dan politik adalah dua elemen atau bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan suatu bangsa, karena dari sisi itulah pemuda kita dapat memberikan kontribusinya. Harus ada generasi pengganti yang matang dan lebih inovatif dalam membangun bangsa. Dengan terjunnya anak muda ke dunia politik maka diharapkan membawa perubahan-perubahan dalam demokrasi kita kearah yang lebih baik lagi.

Namun terdapat berbagai tantangan bagi anak muda saat ini/Milenial untuk berkiprah dalam politik dan memenangkan Pemilu 2019. Sejumlah tantangan tersebut antara lain: Pertama, masyarakat pemilih masih meragukan atau belum yakin akan kapasitas caleg-caleg milenial.

Maka, tantangan ini oleh caleg milenial harus bisa dihadapi dengan menunjukkan kapasitasnya, kompetensinya dan terutama integritasnya kepada masyarakat untuk myakinkan bahwa dirinya (meskipun muda) bukan sembarang caleg, tetapi caleg yang istimewa, yang memang bisa dipercaya sebagai wakil rakyat yang amanah bilamana terpilih.

- Advertisement -

     Kedua, caleg milenial yang baru pertama nyaleg harus berhadapan dengan kompetitor seperti caleg petahana atau kalau yang bukan petahana tetapi caleg yang berlatar belakang sosial yang jauh lebih hebat daripada caleg milenial. Caleg petahana ada yang satu periode dan ada yang lebih dari satu periode.

Menghadapi caleg kompetitior yang lebih hebat dari caleg milenial ini, baik dari satu partai atau dari lain partai, caleg milenial yang masih miskin pengalaman harus bisa membaca sepak terjangnya, melihat strategi dalam terjun di masyarakat dan menelaah janji atau harapan yang disampaikan kepada masyarakat serta kepribadiannya.

Dengan menganalisis kekuatan dan kelemahan caleg kompetitor, maka akan bisa ditentukan langkah yang relatif tepat untuk bisa mengambil peluang dalam mendekati dan menarik simpati masyarakat khususnya pemilih pemula.

Perlu diingat bahwa masyarakat pemilih secara psikologis cenderung akan memilih caleg yang pernah bertemu, menyapa, menyambangi, bertegur sapa, dan yang ada kedekatan emosional setelah ada kecocokan visi, misi dan program yang diusung kandidat. Untuk itu, caleg milineal harus rajin melakukan pendekatan dengan hati, selalu berkunjung, menyapa, bersilahturahmi dengan masyarakat di dapilnya secara ramah. Jadikan masyarakat jatuh hati kepada caleg milenial.

Ketiga,  tantangan biaya politik yang dibutuhkan. Ikut kontestasi politik kalau hanya modal keberanian dan idealisme hanya mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Modal uang sangat dibutuhkan dalam kontestasi politik untuk biaya berbagai keperluan yang bisa mendukung dalam proses meraih kemenangan, seperti biaya transportasi, sosialisasi, membuat alat peraga kampanye, souvenir, sumbangan ke parpol, biaya saksi, komsumsi dan lain-lain. Memang biaya politik jumlahnya relatif sesuai kebutuhan dan kemampuan caleg.

Pemilu 2019 merupakan waktu yang tepat bagi anak muda/politisi muda untuk merebut kepemimpinan dan menjadi pemimpim politik di parlemen. Pemilu bukan hanya sekadar momen di mana masyarakat yang telah memiliki hak pilih untuk memilih para wakil rakyat, namun di dalam pilihan mereka tersebut tersimpan harapan yang sangat besar dalam mengubah masa depan bangsa Indonesia.

Dan Anak-anak muda ini kita harapkan dapat memberikan warna baru bagi kemajuan politik di Indonesia dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.  Kita sangat berharap tentunya  ketika duduk di parlemen nanti, politisi muda tidak hanya duduk dan diam saja, namun benar-benar mampu berbicara lantang menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak rakyatnya.

Egip Satria Eka Putra
Egip Satria Eka Putra
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Andalas Redaktur Seruan.id
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.