Al is de leugen nog snel de waarheid achterhaalt haar wel. Itulah bunyi pepatah dalam bahasa Belanda yang memiliki arti kurang lebih: meskipun kebohongan itu lari secepat kilat, suatu waktu kebenaran akan menyusulnya.
Pepatah ini begitu tepat kiranya untuk menggambarkan petualangan luar biasa dari dua wartawan dalam mengungkap salah satu skandal terbesar dalam sejarah Amerika Serikat: Skandal Watergate. Inilah petualangan Carl Bernstein dan Bob Woodward dalam mengungkap skandal yang turut menyeret Presiden Amerika Serikat ke-37, Richard M. Nixon, yang dibukukan menjadi sebuah cerita detektif politik dengan judul All President’s Men. Buku ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul yang sama oleh Penerbit Serambi.
Tahun 1972 di Amerika Serikat adalah tahun politik yang panas. Pemilihan presiden akan diselenggarakan dengan taruhan: apakah Presiden Richard Nixon akan mendapatkan jabatan periode keduanya, atau justru Partai Demokrat akan comeback setelah kekalahan Hubert Humphrey -calon presiden Demokrat- empat tahun sebelumnya.
Kedua partai turut mempersiapkan pertarungan. Nixon sebagai incumbent, dibantu tim pendukungnya, membentuk Committee for the Re-election of the President (CRP) atau komite pemilihan kembali Presiden Nixon untuk mengamankan masa jabatan periode kedua. Partai Demokrat pun turut menjajaki dan mempersiapkan kemungkinan calon yang akan melawan Nixon dalam kontestasi, pilihan mengerucut kepada Senator George McGovern dari South Dakota.
Di tengah berbagai dinamika politik yang terjadi pra-pemilihan, publik dikejutkan dengan berita bahwa telah terjadi penyadapan di markas besar Partai Demokrat di Gedung Watergate yang melibatkan lima orang pelaku. Mengejutkannya, salah satu pelaku yang bernama James McCord adalah koordinator dari CRP. The Washington Post menjadi media pertama yang memberitakan kejadian menggemparkan ini pada 17 Juni 1972, dengan menugaskan dua orang wartawan untuk mendalaminya, yakni Carl Bernstein dan Bob Woodward.
Keterlibatan McCord membuat publik melirik CRP dengan dugaan kemungkinan terlibat dalam penyadapan. Namun John Mitchell, sebagai manajer kampanye Nixon sekaligus mantan Jaksa Agung Amerika, menyatakan bahwa CRP sama sekali tidak terlibat dalam penyadapan tersebut. Skandal ini juga menyeret nama Howard Hunt yang diduga kuat terlibat dalam perintah penyadapan, yang mana Hunt sendiri merupakan staf dari Charles W. Colson, penasihat khusus Presiden. Pada 22 Juni, Nixon pertama kali muncul setelah terjadinya penyadapan dan menegaskan bahwa Gedung Putih tak terlibat dalam kasus penyadapan Watergate.
Pada 1 Juli, John Mitchell mengundurkan diri dari posisinya sebagai manajer kampanye Nixon dengan alasan karena istrinya. Editor Post, Harry Rosenfeld berkomentar, “orang seperti John Mitchell, tak mungkin melepaskan kekuasaan yang dipegangnya demi istrinya”. Ini menyiratkan bahwa pengunduran diri Mitchell adalah sesuatu yang mencurigakan dan patut diselidiki. Tugas Bernstein dan Woodward semakin menantang karena skandal ini akan melibatkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Nixon.
Deep Throat Sang Informan
Kedua wartawan bergerak gesit. Mereka tak henti-hentinya mencari informan untuk mengakses informasi di balik layar peristiwa Watergate. Salah satu informan yang amat penting perannya dan merupakan teman dekat Woodward, adalah tokoh yang dijuluki Deep Throat. Cara berhubungan mereka sangat berhati-hati, biasanya digunakan kode-kode seperti pot bunga yang dipindahkan di samping jendela, atau halaman koran yang dilingkari untuk menjanjikan sebuah pertemuan, hal ini untuk menghindari resiko dikuntit, disadap, atau bahaya yang bisa saja mengancam nyawa mereka.
Informasi yang didapatkan Woodward dari Deep Throat sangat penting. Dalam pertemuan malam hari, biasanya jam 2 atau 3 dini hari yang biasa mereka lakukan, Deep Throat selalu memberikan kisi-kisi atau petunjuk untuk Woodward agar bisa mencari lebih dalam lagi seluk-beluk skandal Watergate, terutama menyangkut keterlibatan aktor yang lebih besar dan berkuasa. Skandal ini menyeret nama tokoh-tokoh yang sangat dekat dengan Presiden Nixon, termasuk Maurice Stans, John Ehrlichman, Haldeman, dan Mitchell.
Seiring berkembangnya berita dan proses penggalian informasi, skandal Watergate telah menusuk tepat di depan pintu Gedung Putih. Muncul dugaan bahwa para pelaku penyadapan mendapatkan dana dari brankas besi milik Maurice Stans, yang menjabat sebagai kepala keuangan CRP sekaligus mantan Menteri Perdagangan Nixon. Juga menurut beberapa informan yang diwawancarai Bernstein dan Woodward, Harry Robinson Haldeman sebagai kepala staf Gedung Putih turut mengetahui dan merestui aksi di Watergate.
Dengan dugaan bahwa Haldeman kemungkinan terlibat, tentu Presiden Nixon tak luput dari sorotan kecurigaan. Namun kedua wartawan juga sempat melakukan kekeliruan dengan tergesa-gesa mendakwa Haldeman terlibat dengan konfirmasi dari informan yang masih samar-samar dan tidak pasti.
Bahkan salah satu informan yang dirujuk sempat memberikan bantahan melalui pengacaranya, bahwa kliennya tak pernah berkata kepada penyidik atas keterlibatan Haldeman sebagaimana yang diberitakan Post. Ini memberikan celah untuk Haldeman melalui sekretaris pers Gedung Putih, Ron Ziegler, menyerang balik Washington Post dengan mengkritiknya sebagai berita omong kosong dan tanpa bukti.
Kedua wartawan sempat hilang semangat karena peristiwa itu. Namun semangatnya bangkit kembali setelah diyakinkan Deep Throat bahwa Haldeman memang terlibat, namun kedua wartawan harus berhati-hati karena yang akan mereka hadapi adalah sosok berkuasa yang berbahaya. Mereka harus benar-benar menyusun fakta dan bukti yang sukar dibantah. Perlahan tapi pasti, kabut Watergate mulai tersingkap.
Akhir Sebuah Pesta
Richard Nixon berhasil memenangkan pemilihan dengan 61 persen suara, dan McGovern kalah telak. Namun jabatan kedua Nixon dibayang-bayangi skandal Watergate yang masih menghantui. Kasus skandal Watergate terus berkembang dengan Hakim John Sirica sebagai pemimpin sidang. Di senat, dibentuk juga komisi penyelidikan Watergate yang diketuai oleh Senator Sam J. Ervin dari North Carolina.
Dalam keterangan salah seorang senator kepada kedua wartawan, McCord mengakui dalam kesaksiannya bahwa operasi Watergate disetujui oleh Mitchell saat ia masih menjadi jaksa agung. Kesaksian ini amat menohok, seorang jaksa agung menjadi salah satu otak dari kejahatan politik berupa penyadapan. Fakta-fakta yang terus bermunculan ini membuat Gedung Putih terguncang hebat. Nixon tak lagi nyaman duduk di singgasana Oval Office-nya, saat orang-orang yang selama ini dekat dengannya satu-persatu dicurigai sebagai otak operasi Watergate.
Nixon melakukan langkah yang keliru dengan berusaha menutup-nutupinya. Kasus semakin memanas dengan keterangan dari ajudan senior Gedung Putih kepada Woodward, bahwa John Dean -mantan pengacara Presiden- akan mengatakan bahwa Presiden Nixon adalah penjahat yang kejam.
Kasus semakin terbuka, Gedung putih semakin bergejolak. Fakta bahwa Haldeman dan John Ehrlichman terlibat sebagai otak operasi Watergate, membuat dua orang kepercayaan Nixon tersebut mengundurkan diri pada 30 April 1973. John Dean juga dipecat, serta Jaksa Agung Richard Kleindienst mengundurkan diri. Ini bukti betapa kacaunya pemerintahan Nixon. Pada hari yang sama dengan pengunduran diri Haldeman dan Ehrlichman, Ron Ziegler meminta maaf kepada Washington Post. Ini sangat berdampak pada pulihnya kredibilitas Post dan akurasi berita-berita yang diterbitkannya.
Skandal ini juga menyeret ditemukannya fakta bahwa Nixon menyimpan alat rekaman penyadapan di Gedung Putih yang hanya diketahui segelintir orang yang dekat dengan Nixon, diantaranya Haldeman, Alexander Haig, Butterfield, dan beberapa agen secret service. Bobrok rezim Nixon terbuka secara telanjang. Pada 17 November 1973, dalam pidatonya di Disney World, Nixon berkata: “saya bukan penjahat”.
Pada 1 Maret 1974, Jaksa mendakwa para tersangka Watergate diantaranya, Haldeman, Ehrlichman, Colson, Mitchell, Strachan, Mardian, dan pengacara Kenneth Parkinson. Ada narasi di Kongres dan publik untuk memakzulkan Nixon, hal ini membuat Nixon mengundurkan diri dari jabatannya pada 8 Agustus 1974 dan digantikan oleh Wakil Presiden Gerald Ford. Ford mengampuni Nixon pada 8 September 1974. Pesta Richard Milhous Nixon sebagai presiden ke 37 AS purna, oleh perilaku anak buahnya sendiri.
Buku yang merupakan catatan petualangan Carl Bernstein dan Bob Woodward dalam menyelidiki skandal terbesar dalam sejarah Amerika ini, sangat direkomendasikan untuk dibaca. Terbit pertama kali pada 1974, namun buku ini masih memiliki daya tarik yang tinggi bagi siapapun yang ingin memahami skandal Watergate dalam bentuk cerita detektif. Pembaca akan dibawa pada fluktuasi emosi, mulai dari ketegangan, rasa kaget, kelegaan, ketakutan, dan ironi. Bukunya berjudul All President’s Men, Orang-Orang Presiden.
Ya, orang-orang inilah yang memiliki rasa haus kuasa yang membuat bosnya sendiri, Presiden Richard Nixon, harus menanggung malu dan kehilangan kekuasaan yang diperjuangkan sama-sama oleh mereka. Cerita detektif politik yang termasyhur dan layak dibaca kapanpun.