Politik kita hari-hari ini disibukkan oleh pemberitaan tentang pemilu, tentang pendaftaran calon legislatif, tentang bongkar pasang formasi ideal calon presiden dan calon wakil presiden. Pun tak ketinggalan pemberitaan tentang politisi-politisi “busuk” yang ditangkap KPK karena kasus korupsi masih amat hangat menghiasi layar kaca dan linimasa media sosial kita.
Tak terbayangkan, jika pemilu kita maknai hanya sebuah rutinitas 5 tahunan semata. Para politisi mulai kampanye dengan baliho-baliho “raksasa”, Pamflet visi-misi, retorika omong kosong yang diucapkan dengan indah dan mengajak rakyat beramai-ramai ke bilik suara pada hari pemilihan.
Tak sampai satu periode pula beberapa diantaranya kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK karena skandal korupsi. Lalu harus dikarantina untuk beberapa waktu di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ada yang divonis penjara 5 tahun, ada yang 10 tahun, ada yang 10 tahun, ada yang 20 tahun bahkan ada pula yang divonis seumur hidup.
Uniknya fenomena penyakit korup yang diidap banyak politisi, tak pula membuat efek jera partai-partai politik untuk mengusung kembali mereka mantan koruptor untuk maju kembali di pemilu.
Lihat saja data yang dirilis oleh Bawaslu RI kemarin (27/7/2018). Terdapat 199 orang bakal calon legislatif (bacaleg) yang merupakan eks napi korupsi. Terbanyak adalah Partai Gerindra yang mengusung 27 bacaleg eks koruptor, disusul Partai Golkar yang mengusung 23 eks koruptor, Partai Nasdem yang mengussung 17 eks koruptor dan partai-partai lainnya.
Hal paling unik diantara riuh pemberitaan terkait temuan Bawaslu RI tersebut adalah melipirnya nama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dari daftar partai politik yang mengusung eks napi korupsi. Pun PSI menjadi satu-satunya partai politik nasional peserta pemilu 2019 yang tidak mencalonkan bacaleg eks koruptor. Akhirnya.
Algoritma Kebajikan
Ada yang hilang dari terminologi politik kita dalam berbangsa dan bernegara sekarang ini. Budaya gotong royong yang sejatinya dihidupi dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari terkikis oleh sikap individualisme. Lebih lagi, penyakit persekongkolan jahat korupsi mulai mendiagnosis banyak politisi kita. Sikap egoisme kemudian tumbuh subur mengikutinya.
Kita bahkan mulai kehilangan teladan dalam politik. Kita kehilangan sosok panutan para founding father dalam politik kebajikan layaknya Soekarno yang dikisahkan pernah kehabisan uang untukmenutupi keperluan hidupnya pasca tak lagi menjabat presiden.
Sosok Mohammad Hatta yang tercatat bahkan tak mampu membeli sepatu bermerek Bally impiannya karena tak punya uang. Pun kita kehilangan sosok sederhana yang dimiliki Sutan Sjahrir. Dimana baik Soekarno, Hatta dan Sjahrir adalah tokoh bangsa yang mulai berpolitik saat masih muda. Usia milenial jika kita konversi dengan umur kita sekarang.
Lalu apa yang paling dibutuhkan politik kita saat ini? kita membutuhkan algoritma kebajikan yang ada pada tokoh-toh diatas. Pada pengertian yang sangat sederhana algoritma adalah susunan langkah-langkah logis untuk memecahkan suatu permasalahan politik kita korupsi saat ini. Algoritma yang diproses secara sistematis dari hulu sampai hilir politik kita.
PSI sebagai partai anak muda yang kepengurusannya dibawah umur 45 tahun telah memulainya dengan trilogi perjuangannya; “Menebar Kebajikan, Merawat Keragaman dan Mengukuhkan Solidaritas” dengan program utamanya sebagai partai; anti-korupsi dan anti-intoleransi.
Data dari Bawaslu RI bisa menjadi rujukan utama bahwa PSI sudah clear and clean secara politik dengan tidak ditemukannya bacaleg yang merupakan eks napi korupsi. Layaknya bila kita ingin berpetualang di dunia maya dengan pintu masuk world wide web (www). Algoritma kebajikan sudah menyebar dalam masyarakat jaringan (network society) didunia nyata dengan kata kunci (keyword) utama bernama Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Harapan politik kita
Jaringan kepungurusan PSI adalah anak-anak muda dari generasi milenial yang berjumlah 36-37 juta pemilih pada pemilu 2019 nanti. Dengan pengelompokan generasi milenial adalah anak-anak muda yang berumur 17-34 tahun. Maka terdapat setidaknya 36 persen potensi suara yang diperebutkan seluruh partai politik.
Potensi ini menjadi harapan dan peluang tersendiri bagi PSI yang berhasil mem-branding diri mereka sebagai partai anak muda. Pun algoritma kebajikan PSI yang sudah menyebar keseluruh pelosok tanah air akan bekerja secara mekanik jika sudah menjadi identitas generasi milenial Indonesia.
Apalagi ditengah kejengahan masyarakat kita akan pemberitaan korupsi para politisi-politisi lama. Membuat PSI mendapat tempat dan simpati tersendiri dari pemilih. Secara organik PSI juga telah tumbuh dan berbentuk menjadi representasi partainya orang-orang baik yang menginginkan perubahan yang nyata demi terciptanya politik kebajikan di Indonesia.
Pun tidak sulit pula membuktikannya eksistensi politisi-politisi PSI dalam perpolitikan nasional dalam pamflet yang mereka populerkan sebagai partai anti-korupsi. Sebab, di era digitalisasi sekarang ini pada jejak digital dan linimasa kita banyak menyaksikan bagaimana para pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI) secara bergantian tampil di layar kaca televisi dan media elektronik dalam konsistensi mereka mendukung penguatan KPK dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.
Jika memang demikian, bukankah kita harus mendukung perjuangan algoritma kebajikan PSI yang anti-korupsi itu?