Dalam era digital saat ini, influencer telah menjelma menjadi kekuatan yang tak tehindarkan. Mulai dari gaya hidup, rekomendasi produk hingga pembentukan opini publik. Kini jangkauan para influencer kian meluas dan dampaknya kian signifikan. Mereka adalah wajah baru dari kekuasaan budaya dan pasar lebih fleksibel dari selebritas, lebih dekat dengan audiens, dan lebih ditentukan oleh likes daripada lisensi.
Namun, di balik layar ponsel yang manampilkan gaya hidup “sempurna” dan caption motivasional, ada pertanyaan yang kian mendesak: siapa yang mengatur mereka? Apakah logaritma, audiens, atau etika? Dan mungkinkah kita menciptakan ruang digital yang lebih sehat di tengah pusaran viralitas dan kapital?
Ketika Algoritma Menentukan Panggung
Platform seperti instagram, Tiktok, dan Youtube tidak sekadar menyediakan ruang ekspresi, melainkan juga menjadi “sutradara diam-diam” yang menentukan siapa yang terlihat dan siapa yang tenggelam. Algoritma menjadi gerbang utama. Oleh karena itu influencer tak bisa lepas dari algoritma.
Inilah mengapa banyak influencer lebih fokus pada tren hunting ketimbang value sharing. Mereka mengamati jam terbaik untuk posting, panjang caption yang optimal, musik yang sedang tren, hastag yang viral, dan banyak hal yang disukai oleh algoritma. Algoritma mendorong logika performa: semakin banyak engagement, semakin tinggi jangkauan. Maka, muncul tekanan besar untuk membuat konten yang memancing emosi; seperti kontroversi, kesedihan, kemarahan atau sensasi.
Sayangnya, logika ini tak selalu sejalan dengan nilai. Banyak konten viral justru melanggar batas etika, menyebar hoaks, menormalisasi kekerasan verbal, atau menjadikan isu sensitif sebagai komoditas. Algoritma tidak memiliki nilai moral, ia hanya menghitung klik dan waktu tonton.
Audiens: Pengikut atau Penentu Arah?
Sering kali kita mendengar narasi bahwa kekuatan terbesar influencer adalah audiens/netizen. Dan benar saja, tanpa followers, seorang influencer hanyalah pengguna media sosial biasa. Tetapi apakah audiens bisa menjadi pengatur perilaku influencer? Tidak semudah itu.
Dalam teori komunikasi massa, dikenal istilah “khalayak aktif”, menekankan bahwa audiens tidak hanya menerima pesan secara pasif, tetapi juga secara aktif terlibat dalam proses komunikasi. Mereka memilih media, menafsirkan pesan sesuai konteks mereka, dan bahkan memengaruhi cara media beroperasi. Namun dalam praktiknya, banyak audiens yang tidak benar-benar sadar terhadap dampak dukungan mereka. Konten yang tidak sehat, seperti toxic positivity, body shaming, overclaim, dan lain sebagainya akan tetap tumbuh karena audiens terus memberikan tanggapan entah itu likes ataupun komentar.
Selain itu, audiens seringkali bersikap kontradiftif; menyerukan edukasi tapi lebih banyak menonton drama dan konten yang kontraversial. Menuntut kejujuran namun menyukai influencer yang memiliki citra yang hidup mewah dan glamor yang tidak realistis. Dalam banyak kasus, influencer justru mengikuti arus keinginan audiens, bukan membentuknya secara bertanggung jawab.
Etika: Pilar yang Masih Kabur
Jika algoritma tak punya moral dan audiens cenderung ambivalen, maka hanya satu hal yang bisa menjadi penyeimbang kekuasaan influencer, yaitu etika. Namun di sinilah letak permasalahan, etika influencer masih menjadi ranah yang abu-abu.
Berbeda dengan profesi seperti jurnalis, dokter, dosen atau arsitek yang memiliki kode etik yang jelas dan institusi pengawas, influencer tidak diatur secara ketat. Siapa pun bisa menjadi influencer selama mempunyai pengikut yang cukup. Tidak ada syarat uji kelayakan, tidak ada pelatihan moral, dan tidak ada lisensi etik. Maka jangan heran jika ada influencer yang menjual produk ilegal, mempromosikan judi online, mempromosikan gaya hidup konsumtif atau ikut menyebarkan disinformasi politik.
Beberapa negara memulai mengatur ranah ini. Negara Inggris mewajibkan label “iklan” pada konten berbayar, sementara Norwegia mewajibkan label utnuk foto tubuh yang telah diedit secara digital. Di Indonesia, pengawasan masih bersifat reaktif, konten ditindak setelah viral dan diprotes, bukan dicegah dari awal.
Membangun Ekosistem yang Bertanggung Jawab
Pertanyaannya kemudian bukan hanya “siapa yang mengatur influencer”, tetapi “bagaimana” kita bisa membentuk ekosistem digital yang etis dan berkelanjutan Jawabannya tidak dapat diserahkan pada satu pihak saja. Platform digital perlu bertanggung jawab terhadap algoritmanya. Mereka perlu transparan dan memberi ruang bagi konten yang mendidik dan membangun, bukan sekadar sensasi. Pemerintah perlu merancang regulasi yang berpihak pada keamanan digital publik tanpa menjadi alat pembungkam kebebasan berekspresi. Brand perlu lebih selektif dalam bekerja sama, bukan hanya memilih berdasarkan jumlah pengikut, tetapi juga nilai yang dibawa oleh influencer.
Dan tentu saja, para influencer sendiri perlu sadar bahwa mereka bukan sekadar seleb intermet. Mereka memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku, opini, bahkan pola pikir masyarakat. Profesi ini tak hanya butuh kreativitas, tetapi juga tanggung jawab sosial.
Akhirnya, publik; kita semua, perlu menjadi audiens yang lebih cerdas. Tidak mudah terpancing, tidak cepat percaya, dan berani bersuara ketika batas dilanggar. Kita bukan hanya konsumen, tetapi juga bagian dari ekosistem yang menentukan kualitas ruang digital ke depan.
Menjadi terkenal di era digital saat ini sangat mungkin. Tapi menjadi teladan? Itu jauh lebih langka. Dalam dunia yang digerakkan algoritma dan pasar, tantangan terbesar influencer bukanlah soal menambah pengikut, malainkan menjaga nilai di tengah pusaran arus. Dan itu, hanya bisa dilakukan jika etika kembali ditempatkan sebagai fondasi utama dalam membangun pengaruh. Karena pada akhirnya, pertanyaan ini bukan hanya soal siapa yang mengatur influencer, tetapi apakah kita masih peduli bahwa ruang digital ini layak dihuni bersama.